Nusantarakini.com, Jakarta – Dari jam 10.00 wib saya dan teman saya sudah berada di Mesjid Istiklal. Massa dari berbagai daerah mengalir ke mesjid terbesar di Indonesia itu. Bis-bis dari berbagai daerah yang membawa para pendemo yang kebanyakan santri dan masyarakat umum merengsek ke lingkungan parkir Istiklal yang berada di depan gereja katedral.
Waktu berjalan. Warga yang sebenarnya tak terorganisir itu memgalir terus ke Istiklal yang memang diumumkan sebagai start reli demo tersebut.
Kehadiran warga yang penuh antusias memang suatu hal yang menarik. Mereka hanya bersandar pada informasi dari mulut ke mulut, dari info media sosial seperti WA dan Facebook. Lalu apa yang membangkitkan puluhan ribu–sebagian ada yang memperkirakan ratusan ribu–massa tersebut untuk bergabung dengan massa tersebut?
Inilah rahasia sentimen Islam. Siapa pun tak dapat membantah, hadirnya remaja hingga orang-orang tua dalam demonstrasi terbesar di era reformasi ini disulut oleh ketersinggungan harga diri dan aqidah.
Apa itu harga diri dan aqidah? Jangan tanya hal ini kepada para penganut liberalisme dan obsesi tentang suatu masyarakat sekular, mereka akan gagal memahami hal dan jalan pikiran tersebut. Sebab hal ini suatu hal fenomenologis. Tak akan dapat dipahami jika Anda tak menganut dan menghayatinya secara langsung.
Seorang nenek-nenek yang saya tanya langsung kenapa dia tergerak untuk unjuk rasa, dia jawab, ini soal agama. Saya boleh dikatakan orang tak baik. Tapi kalau agama saya dilecehkan, urusannya lain. Katanya dengan nada emosional.
Alam pikiran semacam inilah yang menggedor-gedor puluhan ribu kaum muslimin yang berdemo pada Jum’at yang bersahabat itu. Biar diketahui, cukup sekali panggilan untuk datang ke Jakarta untuk membela Islam, maka dari remaja hingga orang tua, perempuan laki-laki, kaya miskin, jawa, madura, minang hingga batak, arab, pribumi, habaib dan ulama, petani, buruh hingga pengusaha, lebur merata dalam barisan massa.
Yang ada hanya massa dan korlap yang berada di mobil komando. Ini…bukan festival-festivalan, karnaval-karnavalan yang happy-happy tanpa muatan emosional keagamaan dan harga diri. Ini adalah unjuk rasa dan unjuk kekuatan. “Saksikan, bila kami tersinggung dan Anda wahai Ahok melunjak terus di negeri kami, kami bisa bersatu untuk menindakmu. Lihatlah, kami semua dapat bersatu dan tertib. Kami tidak terlalu hirau dengan kotak-kotak sosial kami selama ini. Kami satu dalam satu urusan: hukum Ahok. Kami senang habib dan ulama memandu dan memimpin kami dalam unjuk rasa ini..bahkan siapa pun yang memimpin selaras dengan semangat kami, kami akan senang. Karena kami hanya butuh komando, semangat sudah meluap-luap. Tinggal tumpah saja.”
Demikianlah alam pikiran pada umumnya para pengunjuk rasa di Jum’at yang berkah itu. Betapa berkahnya demo itu, tak satu nyawapun melayang, tak setetes darah pun menetes..Bahkan Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya ikut bergabung dalam lautan massa.
Di balik situasi massa seperti itu, wartawan-wartawan yang dikenal sebagai penyokong Ahok dan konglomerat, nervous dan mengkerut. Wajah kecut dan sesal mencekam muka-muka sempit mereka. Kalau ingat kuda yang lagi nyengir, seperti itulah penampakan nyengir mereka.
Mereka terdesak secara moral. Apalagi tatkala Pangdam Jaya dan Kapola Metro Jaya ikut larut mengerjakan sholat ashr sebagai penutup unjuk rasa tersebut. Dalam hati mereka mungkin mengumpat kenapa Pangdam Jaya harus ikut bertakbir dan melaksanakan sholat dengan orang-orang penekan Ahok tuan mereka itu? Apapun jalan pikiran para pendukung Ahok itu, kemarin di Jum’at yang bersahabat dengan para demonstran paling dahsyat sejak era reformasi ini, Ahok dan pendukung kezaliman dan kekufurannya TELAH DIKALAHKAN. Dikalahkan secara moral. Sekarang situasi berbalik. Ahok berada sebagai TERTEKAN. Sebab, proses hukum akan merenggut kenyamanan yang dia nikmati seperti selama ini. Kini mereka para pendukung Ahok hanya bisa mengais-ngais kerikil opini yang dapat dilemparkan kepada kaum Muslimin yang telah berhasil menunjukkan solidaritas, persatuan dan kedaulatan mereka. Tapi tentu kerikil semacam itu tak ada pentingnya lagi. Rasa berdaulat dan mampu untuk bergerak sudah melekat di hati kaum Muslimin. Dan itulah esensi kemenangan yang diberikan oleh Jum’at yang berkah kemarin. (sed)