NusantaraKini.com, Jakarta–
Ada satu ayat yang memiliki akar kata yang sama dengan Iblis, yaitu:
وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu bajui yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu , sedang kamu mengetahui”.(QS.Al Baqarah (2):42)
Yudi Latif gundah gulana dengan perhelatan Pilkada DKI kali ini. Bukan karena apa, tapi gara-gara menurutnya akal sehat sedang memasuki ruang gawat darurat di negeri ini. Lebih lanjut dia menyebutkan, “Ibukota sebagai ibu teladan telah menjelma menjadi ibu kesesatan.
Pada mulanya, nalar lurus mempertanyakan keputusan PDI-Perjuangan memilih Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Rekam jejak Ahok dinilai tidak sejalan dengan garis ideologis Marhaenisme-pembela wong cilik.
Tak lama kemudian, nalar terpelanting lebih jauh mendapati keputusan poros “Cikeas” dan “Kertanegara” dalam menetapkan pasangan yang diusungnya. Seorang Jenderal purnawirawan dengan getir menyatakan, “Penunjukan Agus Yudhoyono merupakan preseden buruk bagi TNI; menjadi contoh negatif yang bisa merusak atmosfir pembinaan di lingkungan TNI. Seorang prajurit ditempa untuk menjadi tentara sejati, bukan menjadi politisi.”
Menurut dia, pilkada telah menjelma menjadi pentas ketidakwarasan jalan berpikir. “Kepentingan jangka pendek mengorbankan kesehatan nalar publik. Urusan negara dipandang sebagai pertaruhan harkat keluarga. Popularitas menepikan integritas. Modal uang menjatuhkan modal moral.
Kebebesan demokratis sebagai buah reformasi belum kunjung menghadirkan kehidupan politik yang lebih sehat dan bermakna. Kebebasan sebagai negative right (bebas dari) mengalami musim semi. Bangsa ini telah bebas dari berbagai bentuk represi, sensor, bahkan pembatasan. Namun, kebebasan sebagai Positive right (bebas untuk) mengalami musim paceklik. Kita tidak memiliki kapasitas dalam menggunakan kebebasan itu untuk memperbaiki kehidupan negeri dengan memberdayakan daulat rakyat.
Berbagai bentuk pilihan dan kebijakan publik tidak menggunakan asas-asas nalar publik yang sehat. Kebijakan dan pilihan politik dengan nalar publik yang sehat setidaknya harus memenuhi empat prinsip utama suatu politik yang responsif: prinsip kemasukakalan, efisiensi, keadilan dan kebebasan. Dengan keempat prinsip ini, politik yang responsif harus mempertimbangkan rasionalitas publik tanpa kesemena-menaan mengambil kebijakan/keputusan; adaptabilitas kebijakan dan institusi politik terhadap keadaan; senasib sepenanggungan dalam keuntungan dan beban; serta persetujuan rakyat terhadap pemerintah. Ketika arena politik lebih mewadahi konflik kepentingan ketimbang konflik visi-ideologi, watak politik menjadi narsistik, mengecilkan harapan banyak orang.”
Pendeknya Yudi Latif menyumpahi semua pihak yang mempertontonkan pengrusakan terhadap nalar. Menurut kita, memang begitulah adanya politik praktis. Kalau tidak menjambani nalar lurus, bukan politik lagi namanya.
Politik praktis itu hakikatnya cara kerja iblis. Iblis itu satu akar kata dengan ‘libas’ atau pakaian/baju. Membajui atau mengenakan pakaian batil kepada kebenaran/yang hak, adalah pekerjaan Iblis. Allah memperingatkan manusia supaya jangan membajui yang hak dengan yang batil dan jangan pula menyembunyikan yang, padahal mengetahui yang sebenarnya.
وَلاَ تَلْبِسُواْ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُواْ الْحَقَّ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu campur adukkan yang haq dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu , sedang kamu mengetahui”.(QS.Al Baqarah (2):42)
Dalam politik, yang dikerjakan seperti itu. Tahu bahwa itu salah dan sesat, namun dibajui seolah-olah benar dan disembunyikan hakikat tujuan yang sebenarnya, tetapi karena politik dan kepentingan, hal itu tetap dilakukan.
Demikianlah dalam perhelatan Pilkada atau pun pemilu pada lazimnya, yalbisunal haqq bil bathil wa yaktukumunal haqq merupakan perbuatan rutin dan massal. Akibatnya, gembiralah Iblis karena banyak yang mengikuti cara kerjanya. Mungkin saja Iblis akan istirahat sebentar selama pilkada berlangsung karena banyak yang mengambil alih pekerjaannya. (sed)