Nusantarakini.com, Jakarta – Hari minggu(18/9/2916), berkumpullah bintang-bintang lawas dari dunia gerakan Islam Indonesia. Tempatnya bukan main-main. Di mesjid terbesar, tidak jauh dari tempat bersemayamnya tahta Ahok dan juga pelindungnya, Jokowi. Siapa mereka. Tersebutlah Amien Rais, KH Didin Hafiduddin, Hidayat Nur Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Bachtiar Nasir, dan tentu saja, Habib Rizieq Syihab. Tuntutan mereka jelas: jangan pilih Ahok. Pilih gubernur Muslim. Pertanyaan kita, sudah tepatkah metode aksi politik yang mereka terapkan di dalam mengalahkan Ahok yang Kristen dan Cina itu? Ya…Kristen sekaligus Cina, itulah dua perkara yang bikin dada mereka sesak.
Lantas apa yang mereka kerjakan di mesjid yang menampung ribuan jamaah tersebut? Intinya mereka sedang melancarkan kampanye kepada jamaah yang dimobilisir agar tidak memilih calon pemimpin DKI bernama Ahok. Sejauh mana hal itu akan berhasil dan efektif, waktulah nanti yang menjawabnya.
Kampanye semacam ini, mengingatkan kita dengan cara-cara kampanye kuno yang tidak kunjung berubah. Dimulai dengan seruan massal untuk mobilisasi pada satu titik yang dirangkai dengan suatu ritus ibadah. Umat yang teragitasi, berbondong-bondong datang. Lalu layaknya hadirin konser, umat menunggu dengan seksama dimulainya konser pidato. Bintang-bintang pidato satu per satu tampil di panggung layaknya kontes. Semakin panas aksi dan kandungan pidatonya, semakin antusiaslah umat menyambutnya. Apakah yang terjadi pada umat seusai pagelaran pidato pembakar semangat itu berlangsung?
Umat kembali kepada habitusnya masing-masing. Sebagian ada yang menularkan semangat itu di warung-warung kopi. Sebagian lagi, buyar setelah mendapati kenyataan di rumah, beras dan lauk-pauk tetap mahal, anak-anak butuh ongkos dan jajan.
Bagi umat yang sudah membawa hawa panas dari konser pertunjukan pidato para bintang itu, dapat meledak menjadi peristiwa KDRT di rumah jika sedikit saja timbul masalah sebagai pelampiasan emosi yang tertekan selama jam-jam mengikuti pertunjukan pidato itu. Ibarat kata, karena Ahok tak ada di tempat, sasaran lampias amarah beralih kepada anak atau istri.
Apakah hal itu terpikir bagi bintang-bintang umat yang menggelar kontes pidato tadi? Tidaklah. Biasanya, seusai pagelaran pidato itu terlaksana, selesai pulalah urusan mereka. Mereka kembali normal dan tenang. Sebab perasaan yang dipendam toh sudah dilampiaskan ke ribuan telinga umat.
Lain halnya dengan lawan mereka. Lawan mereka cukup bertemu beberapa orang di Singapura atau Macao, lalu rembukan dan urunan. Siapa menggarap anu, siapa membayar anu. Selesai urusan. Senyap, tepat dan efektif, tak perlu adu keras pidato. Tak perlu diketahui siapa bertemu dengan siapa.
Karena metode aksi politik bintang-bintang politik umat ini masih tetap kuno, mungkin tak perlu berharap banyak kepentingan umat akan menang terhadap Ahok. Lalu bagaimana harusnya?
Bintang-bintang umat itu cukup bermufakat diam-diam di antara mereka. Lalu dengan massif menggabungkan sayap masing-masing untuk terbang bersama-sama menggapai angkasa. Tentu mungkin saja informan Ahok leluasa memantau pergerakan bintang-bintang tersebut jika caranya masih kuno dan gebyar-gebyar seperti tadi itu. (sed)