Nusantarakini.com, Jakarta-
KESAKSIAN 20 HARI
Minggu yangg lalu dan bahkan sejak awal September 2016 beredar berita dan kesaksian tentang betapa dalam 20 hari antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016, Pemerintah kita telah berhasil menyelamatkan uang negara milyaran dollar dari industri migas dan beberapa keputusan revolusioner telah dikeluarkan oleh Pemerintah dalam 20 hari itu sehingga bisa menggerakkan industri migas/energi di Indonesia. Klaim-klaim itu terutama menyangkut 4 hal yaitu: 1. Blok Masela, 2. Proyek IDD Selat Makassar, 3. Blok Migas Natuna Timur, dan 4. PP79/2010. Anehnya sampai sekarang tidak ada konfirmasi ataupun bantahan resmi dari pihak-pihak terkait tentang benar-tidaknya klaim-klaim tersebut.
Sebagai bagian dari pertanggung-jawaban moral atas pengetahuan dan akal budi yang dianugerahkan oleh Allah swt, saya terpanggil untuk menuliskan hal-hal berikut untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat dan juga penguatan kepada sahabat-sahabat saya dari Houston yang kebetulan mendapatkan cobaan masuk ke dalam pusaran karut marut pengelolaan energi kita. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai kontribusi dan sekaligus dukungan kepada Pemerintah dan Negara untuk bersama-sama memperbaiki tata kelola enegi/migas Indonesia melalui sharing penjelasan-penjelasan sebagai berikut:
- Setahu saya, sampai saat ini tidak ada satu pun dari pihak Inpex (sebagai pihak yang akan mengerjakan proyeknya) yang mengiyakan/ setuju bahwa anggaran Masela yang 22 Milyar dollar sudah bisa diturunkan sampai 14 Milyar dollar, dan sama sekali tidak ada pertemuan khusus yang membahas dan mengambil kesepakatan tentang hal itu antara ESDM dengan Inpex maupun dengan SKK Migas yang nantinya mengawasi pelaksanaan proyek itu. Bedakan antara “Punya pendapat bahwa biaya bisa diturunkan sampai 14 Milyar” dengan “Bisa menurunkan biaya Masela sampai 14 Milyar”. Siapapun (dengan pengetahuan dan pengalaman bahkan kurang dari 20 tahun dan lokalan dalam negeri saja) bisa saja membuat hitung-hitungan, tapi masalahnya, apakah hitung-hitungan itu nantinya bisa dilaksanakan oleh pelaksana proyeknya atau tidak? Selama belum dilakukan persetujuan – negosiasi : klaim bahwa seseorang bisa menurunkan biaya dari 22 menjadi 14 milyar itu jadi klaim yg menggelikan!! (Kawan-kawan wakil rakyat yang percaya begitu saja dengan klaim itu akhirnya jadi nampak menggelikan juga).
- Klaim bahwa dalam 20 hari seorang individu (juga) telah berjasa menurunkan harga proyek IDD dari 12 Milyar dollar menjadi 9 Milyar dollar juga klaim yang absurd dan mengada-ada, karena -sama dengan klaim soal Masela – sampai saat ini tidak ada satu pun pihak Chevron yang merasa sudah pernah bicara dan negosiasi dengan ESDM maupun SKK Migas MEMBAHAS tentang dan SETUJU dengan penurunan biaya IDD project tersebut. Bahwa proyek yang seolah “ditinggalkan” oleh Chevron 2 tahun lalu karena ketidakberanian pemerintah memutuskan naik dari 9 ke 12 Milyar dollar itu sekarang direevaluasi sehingga kemungkinan bisa “masuk” dengan harga tetap 9 Milyar dollar : itu wajar-wajar saja karena 2-3 tahun lalu harga minyak masih diatas 100 dollar sementara sekarang sudah berkisar 35-45 dollar per barrel. Jadi, sekali lagi, siapapun yang re-evaluasi harga IDD proyek pasti juga akan keluar dengan harga yang relatif lebih rendah dari harga 2-3 tahun yang lalu, karena services juga sudah “turun” harganya mengikuti turunnya harga minyak dunia. Tetapi apakah bisa turun sampai 9 Milyar dollar lagi, itu masih harus didiskusikan dengan pihak Chevron sebagai pelaksana. Dan tentunya dalam 20 hari dari akhir Juli sampai pertengahan Agustus 2016 kita sama-sama tahu: tidak ada negosiasi meeting itu dilakukan oleh pemerintah dengan Chevron. Sekali lagi, itu adalah klaim yang menggelikan. (Dan lagi-lagi, yang percaya dengan klaim itu kalau memang dia paham dengan urusan migas pasti dia hanya bercanda saja – karena lucu, atau memang yang percaya itu gak ngerti dengan urusan migas sama sekali).
- Soal klaim bahwa dalam kurun waktu 20 hari antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016 sudah terjadi 1 kali pertemuan antara ESDM, Pertamina, dan partner-partnernya di Blok Natuna Timur yang MENYEPAKATI PSC CONTRACT-nya juga adalah klaim yang mengada-ada. Yang jelas, Selasa 23 Agustus ada perintah mendadak dari ESDM untuk menyelesaikan PSC Contract East Natuna paling lambat 1 September 2016, yang kemudian pada Rabu 24 Agustus 2016, tim-tim dari Pertamina, Exxon, SKK Migas dan lain-lain, tergopoh-gopoh datang ke Yogyakarta diundang oleh petinggi-petinggi Ditjen Migas untuk merundingkan PSC Contrat tersebut; dan lagi-lagi – tentunya – perundingan itu gak beres juga dalam sehari itu. Kalau memang beneran antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016 sudah disepakati PSC Contract East Natuna, ngapain juga ada perintah dari ESDM supaya diselesaikan 1 September dan ngapain juga semua tergopoh-gopoh meeting di Yogyakarta 24 Agustus itu. Lagi-lagi klaim bahwa East Natuna PSC sudah diselesaikan dalam 20 hari antara 27 Juli – 15 Agustus merupakan klaim yang menggelikan, dan anehnya tidak ada satu pun tulisan terbuka yang mempertanyakannya. Ajaib.
- Yang lebih bombastis lagi adalah klaim bahwa PP 79/2010 (yang selama 5 tahun terakhir ini menjadi hantu penyebab menurunnya minat eksplorasi dan eksploitasi investor-investor migas di Indonesia) TELAH DISEPAKATI REVISINYA dan tinggal tanda tangan Presiden Jokowi saja nampaknya sampai sekarang hanya jadi klaim angin surga saja. Masih diperlukan usaha negosiasi politik birokrasi inter departemen terutama dengan Kementrian Keuangan untuk bisa keluar dengan pasal-pasal revisi PP 79/2010 yang disetujui dua belah pihak (ESDM dan Kemenkeu). Bahwa Kementrian Keuangan mulai ambil langkah serius untuk duduk bersama ESDM membahas revisi PP79/2010 itu pun sebenarnya hasil kerja keras dari ESDM dari Mei 2015 sampai Juli 2016 yang lalu dimana lewat Komite Eksplorasi Nasional secara resmi ESDM tak henti-hentinyanya menyuarakan “Cabut PP 79/2010 supaya usaha E&P Migas Indonesia bisa bangkit kembali”.
Kemenko Ekonomi-nya Pak Darmin Nasution mulai bikin Tim Khusus revisi PP 79/2010 setelah pidato Pak Darmin di IPA Convention Mei 2016. BKF nya Kementrian Keuangan juga mulai serius membahas tentang kemungkinan revisi tersebut setelah FGD-FGD Komite Eksplorasi Nasional pada kurun waktu Jan-Jun 2016. Itu pun sampai sekarang (12 Sep 2016) belum ada kata sepakat dari Kementrian Keuangan untuk penghapusan pasal-pasal krusial dalam PP 79/2010 itu, meskipun berkali-kali (hampir tiap minggu dalam 3 minggu terakhir ini) selalu diumumkan bahwa “minggu depan insyaallah revisi PP 79/2010 sdh diteken presiden”. Industri Migas Indonesia harap-harap cemas menunggu realisasi janji klaim ini dari ESDM dan Kemenkeu.
Mudah-mudahan tulisan di atas bisa dijadikan penyemangat oleh para eksekutif (maupun legislatif, wakil rakyat) dalam membangun industri energi/migas Indonesia ke depan. Dalam hal ini, paling tidak, para penyelenggara negara kita itu jadi lebih waspada dan kritis dengan klaim-klaim sepihak yang belum tentu benar adanya. Kalaupun klaim-klaim itu benar, paling tidak dimohonkan untuk segera mengumumkan hasil akhir resminya dalam bentuk dokumen-dokumen negara maupun perjanjian-perjanjian yang mengikat dan bisa disaksikan oleh dan meyakinkan seluruh rakyat Indonesia.
Bekasi, 12 Sep 2016, Andang Bachtiar, Geologist Merdeka