Nusantarakini.com, Jakarta – Islam sudah nyata bagian yang tak terpisahkan dari agama orang pribumi di Indonesia. Mengakar dalam dan merata di seluruh nusantara. Sejarahnya lama dan dinamikanya panjang dan dalam. Untuk itu, menjadi tantangan yang berat untuk merenggut massa Islam agar masuk ke dalam agama lain. Beragam strategi dan taktik dimainkan. Baik dengan cara halus, kasar hingga kekerasan. Salah satu strategi yang hingga kini dikenang monumental dan berimbas besar dengan migrasinya massa Islam, khususnya orang Jawa eks PKI dan sebagian besar orang China ke agama Kristen dan Katolik, yaitu dengan menciptakan streotip Islam yang mengancam kelompok minoritas, seperti China, pada pra G30S/PKI. Berpindahnya orang-orang China secara besar-besaran setelah peristiwa G30S/PKI merupakan strategi yang jitu dari para ahli strategi Kristen dan Katolik. Saat itu, kampanye menggambarkan Islam sebagai pihak yang tidak ramah terhadap orang China berjalan sukses serentak dengan kampanye Kristen dan Katolik sebagai wadah yang tepat bagi orang China jika ingin terlindungi dari imbas G30S/PKI. Pada kenyataan memang, banyak orang China terutama yang bergabung dengan Baperki terlibat dengan jaringan PKI. Ketika itu, tahun setelah 1965, para tokoh Islam sama sekali tidak punya strategi antisipasi bagaimana sekiranya jika terjadi para eks PKI maupun yang tidak, bergelombang menyatakan diri sebagai pemeluk agama tertentu sebagai dalih untuk mendapatkan perlindungan dari tuduhan sebagai PKI yang anti Tuhan. Absennya para strategis gerakan Islam untuk mengantisipasi hal itu dapat dipahami karena prioritas mereka adalah membasmi PKI untuk melindungi diri. Pada saat mereka bertindak seperti itu, mereka tak bisa mengelak untuk tidak terlihat ganas terhadap pihak-pihak yang dituduh PKI, termasuk kepada orang China. Walhasil, wajarlah jika akhirnya orang-orang China tidak mungkin mendekati dan memilih Islam sebagai pelindung mereka. Pilihan yang tepat adalah selain Islam, terutama Katolik dan Kristen. Sebab, di awal-awal pasca G30S/PKI, Kristen dan Katolik muncul berpengaruh di lingkaran pemerintahan serentak dengan berpalingnya pemerintahan Indonesia di bawah Soeharto ke Barat. Saat itu, Club of Rome dan AS mendudukkan diri sebagai pendukung internasional bagi Soeharto. Di dalam negeri, tokoh-tokoh Katolik dan Kristen seperti Frans Seda dan Jenderal Maraden Panggabean salah satu contohnya, menempati posisi strategis. Sebagai gambaran keberhasilan strategi mereka untuk memanen massa tersebut, tulisan berjudul ”Transformasi-Kairos Bagi Indonesia”, dari Dr. Jeff Hammond, pemimpin Gerakan Sekota Berdoa, dapat dipetik di sini: ”Setelah peristiwa G30S/PKI, terjadi masa kairos di Indonesia sehingga dalam enam tahun (1965-1971) ada lebih dari tujuh juta orang di Pulau Jawa yang menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Tuaian itu telah berjalan terus dan banyak gereja di mana-mana telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dan berbagai gerakan yang mulai lahir telah berdampak selama tahun 1970-1980-an. Pada tahun 1997, suatu masa kairos baru di Indonesia telah mulai dan sekarang sedang berjalan dan sedang menuju suatu klimaks dan ledakan besar kuasa Tuhan yang akan membawa transformasi besar bagi seluruh bangsa Indonesia.” Sekali lagi, ada enam juta orang yang masuk Kristen. Untuk memahami keberhasilan mereka, penting memandang bahwa Katolik maupun Kristen tidak kekurangan informasi intelijen tentang situasi yang berkembang di dalam masyarakat. Tokoh Peter Baek, seorang aktivis gerakan Katolik di Indonesia, tentu sudah mengetahui jalannya cerita pasca G30S/PKI ketimbang tokoh-tokoh Islam dikarenakan networking orang Katolik yang bersifat internasional. Sekarang, iktibar dari sejarah itu harusnya dapat dipetik agar jangan sampai umat Islam sengaja diprovokasi untuk maksud tereskalasinya anti China yang muaranya untuk menguntungkan pihak tertentu dan merugikan kepentingan umat Islam sendiri. (sed)
Streotiping Islam, G30S/PKI & Lonjakan Populasi Kristen
By
Posted on