Nusantarakini.com, Jakarta-
Zeng Wei Jian, Ahok dan “Urban Guerrilla”: Menatap Masa Depan Jakarta
(By: Dr. SYAHGANDA NAINGGOLAN, Asian Institute for Information and Development Studies)
Nama Zeng Wei Jan telah muncul dalam papan atas pertarungan wacana Ahok dan pembangunan Jakarta. Zeng dengan tulisan-tulisannya berhasil menjadi sumber inspirasi gerakan anti Ahok, yang terindikasi dari seringnya portal-portal media anti Ahok merujuk pada tulisannya. Di sisi lain, kelompok pro Ahok telah menjadikan Zeng sebagai musuh dan mencaci maki dengan berbagai cara.
Ada tiga (3) hal penting dari berbagai tulisan Zeng yang perlu diketengahkan sebagai berikut:
Pertama, Zeng telah menulis dengan tajam bahwa Ahok adalah seorang diktator. Ketajaman ini diperlihatkan dengan pembahasannya yang dalam dengan fakta argumentatif seperti keinginan Ahok mengisi bensin di “water canon” untuk menghadapi demonstran. Sesuatu bentuk sadisme membungkam oposisi. Zheng, juga menunjukkan sikap sikap Ahok yang anti dialog dan barbar dalam setiap penggusuran. Dalam analisa ini, Ahok menurutnya masih Proto Diktator, yang bisa nantinya seperti Hitler, jika semakin banyak pendukung fanatiknya, cinta buta. Menjadi seperti Hitler, memanfaatkan jalan demokrasi untuk menjadi diktator besar.
Kedua, Zeng berhasil membongkar isu rasisme dalam kasus Ahok. Menurut Zeng, Ahok adalah pemimpin rasis itu sendiri, yang berlindung dibalik isu “minority complex”. Untuk hal ini Zeng mencari istilah yang tepat, yakni “revert racism”. Berbagai hambatan sosial yang diterima Ahok dalam menjalankan programnya di lapangan selalu diupayakan sebagai hambatan yang bersumber dirinya sebagai “orang cina”.
Ketiga, Zeng telah memasukkan isu ideologis dalam dukungan terhadap Ahok dan cara Ahok menggusur. Isu ideologis itu adalah ungkapannya bahwa ada Serikat Taipan Rasis di belakang Ahok. Dalam kaitan penggusuran, selain menunjukkan keterkaitan kepentingan bisnis properti para taipan, Zeng juga masuk dengan terminologi pembangunan tokoh-tokoh kiri di berbagai penjuru dunia, yakni “Pembangunan bukan Penggusuran”; atau istilah Adi Sasono (alm), “Membangun tanpa Menggusur”.
Di sini Zeng kental dengan nuansa ideologis. Berbeda dengan jejak tulisan Zeng dalam blog Andreas Harsono, 15 Juni 2009 terkait patung NAGA di Singkawang. Sebagai tangan kanan Andreas, tokoh HAM kaliber dunia, Zeng berusaha netral atas ketegangan sosial di Singkawang dalam kasus patung Naga tersebut.
Berbeda dengan 7 tahun yang lalu, Zeng jelas melakukan perlawanan tegas terhadap kapitalisme yang memangsa rakyat kecil.
Seberapa pentingkah pikiran-pikiran Zeng ini bagi masa depan Jakarta?
Pertama, sebagai sosok orangnya sendiri, seorang Cina atau Tionghoa, Zeng jelas telah menghancurkan stereotip yang diciptakan Ahok, bahwa anti Ahok adalah ummat Islam, Arab, atau kelompok Prabowo dan lain-lain. Memang bukan hanya Zeng dari warga Tionghoa berada di front depan anti Ahok. Ada Wawat Kurniawan dengan keahliannya dibidang IT dan Media, ada Liem Siok Lan alias Justiani ahli IT, alumni ITB dan Kanada, mantan advisor PM Thaksin, dan bersahabat dekat sebelumnya dengan keluarga Ahok, ada Lieus Sungkharisma, tokoh pemuda Budha beberapa dekade lalu, ada Jaya Suprana, pendiri MURI, dll. Namun, Zeng sebagai jurnalis dan mantan aktifis HAM kaum minoritas, lebih artikulatif dalam menyampaikan kritikannya.
Kehadiran Zeng sedikitnya telah menghilangkan keraguan kelompok kelompok Anti Ahok melakukan aksi-aksi radikal tanpa dihinggapi perasaan takut SARA atau rasis. Radikalisme ini pertama diorganisasikan AMJU (Aliansi Masyarakat Jakarta Utara) dengan gerakan “Ganyang Cina”, melempar kepala Ahok ketika kunjungan kerja ke Jakarta Utara, Melumpuhkan KPK agar memproses kasus Rumah Sakit Sumber Waras , dll. ( Isu “Ganyang Cina” sendiri tidak berkembang, yang mungkin karena kehadiran Zeng, mewakili aktifis Tionghoa lainnya tadi, dengan penetrasi pikiran-pikiran perjuangannya terhadap Ahok kepada semua elemen radikal.)
Tentu masalah radikal dan militansi di sini tidak perlu membandingkannya dengan radikalisme FPI, yang sudah radikal sejak berdirinya. Atau Hizbut Thahir yang sejak awal sudah ideologis. Militansi dan radikalisme di sini muncul dalam sebab akibat anti Ahok itu sendiri.
AMJU kemudian berkembang. Kehadiran seniman Ahmad Dhani, yang masuk dalam Trio Ratna Sarumpaet, Ahmad Dhani dan Said Iqbal, mengembangkan AMJAS (Aliansi Masyarakat Jakarta Selatan). Selain di wilayah Utara dan Selatan, kelompok- kelompok dalam skala kelurahan juga membangun ikatan perjuangan melawan Ahok. Belum terhitung Forum RT RW se-Jakarta. Jaringan-jaringan ini merupakan jaringan massa militan dan radikal yang sedang tumbuh subur.
Kedua, pikiran pikiran Zeng mempunyai kualitas substansi dan bahasa yang tinggi. Dalam “Membangun bukan Menggusur”, pikiran Zeng setara dengan kuliah-kuliah magister studi pembangunan atau sosial welfare studies. Ketajaman ini bak tinta ulama yang membakar spirit perjuangan anti Ahok.
Ketiga, kehadiran tulisan Zeng dengan mengetengahkan isu Syarikat Taipan Rasis sebagai tokoh-tokoh sentral di belakang Ahok, Zeng menggeser isu 9 Naga yang sering didengungkan selama ini sebagai pendukung Ahok. Dan Zeng berusaha agar pertarungan terhadap Ahok bukan pertarungan ras. Sebab, kata Zeng, keuntungan bisnis properti bagi para Taipan tetap meninggalkan kisah kemiskinan yang sama bagi si Aheng, si penjual mie.
Ahok dan Urban Guerrilla
Ahok telah di stempelkan sebagai pemimpin kafir. Puluhan ribu massa di Tugu Monas yang dikumpulkan Hizbut Tahrir dan KOBAR, elemen “Intifadah AMJU” telah mencap itu pagi tadi. Ini tentu merupakan sebuah cap yang lebih dalam, dibandingkan forum ulama-ulama Jakarta yang saat sebelumnya lebih banyak mencap di majelis-majelis. Dalam teori aksi massa, sebuah gerakan itu mengalami ideologisasi bila dilakukan dengan aksi.
Pencapan ini tentu berjalan dalam arah yang berbeda dengan rencana demokrasi. Dalam demokrasi pertarungan perebutan kepemimpinan dilakukan dengan kontestasi dari calon-calon yang dipilih partai pendukung.
Gerakan hari ini mungkin disebabkan situasi politik saat ini, di mana rakyat sangat percaya bahwa mengalahkan Ahok melalui demokrasi, hanya mungkin dengan penolakan Megawati terhadap Ahok. Namun, perkiraan “politik dagang sapi” telah kadung dipercaya rakyat bahwa Mega akan mendukung Ahok dengan barter Jokowi mendukung Budi Gunawan menjadi kepala BIN.
Harapan terhadap Megawati dan jalan demokrasi sudah terasa kandas. Maka, jalan satu satunya mungkin melalui konfrontasi.
Dalam perjuangan konfrontasi, gerakan-gerakan anti Ahok yang radikal akan mengalami metamorfosa sesuai dengan situasi ke depan. Apakah Ahok akan kembali menjadi gubernur?
Skenario pertama adalah, Ahok jadi gubernur, luapan kebencian massa akan melumpuhkan Jakarta. Lumpuh dalam skala provinsi atau lumpuh dalam skala nasional. Hal ini tergantung konsolidasi berbagai kekuatan yang bersinergi, yang melihat Ahok sebagai persoalan lokal atau Ahok sebagai bagian agenda regional RRC. Kelompok yang terkahir ini, seperti Letjen (purn) Johannes Suryo Prabowo, melihat peristiwa Ahok dan proxy war dengan RRC adalah sebuah agenda yang berhimpitan.
Skenario kedua adalah Ahok menjadi gubernur, kelompok-kelompok strategis melokalisir persoalan Ahok hanyalah masalah Jakarta. Jika hal ini terjadi,maka di sinilah muncul gerilyawan kota (Urban Guerrilla). AMJU, AMJAS, Kobar, Forum RT RW, gerakan pribumi dll akan melanjutkan perjuangannya melawan Ahok dalam skala kota Jakarta. Namun, pencapan Kafir dan diktator, akan melahirkan perlawanan yang lebih keras dan anarkis. Sebuah gerilyawan kota seperti The Squad, IRA di Irlandia, atau Hamas di Palestina atau Hezbollah di Libanon. Atau lainnya. Jakarta akan menjadi kota yang lumpuh.
Jika skenario kedua ini terjadi, Zeng memberikan inspirasi yang besar dalam pertarungan skala kota ini. Sehingga masalah Ahok tidak menjalar menjadi masalah persaingan dan kebencian ras dalam skala bangsa, tapi fokus pada perjuangan melawan Ahok. (*mc)