Nusantarakini.com, Jakarta –
Dulu ketika SBY masih menjabat presiden, Putri Maxima yang belum jadi ratu itu datang ke Indonesia. Dia datang untuk pertama kalinya dalam suatu misi yang diembannya dari PBB.
Putri Maxima, menantu Ratu Beatrix, kepala negara Belanda, bekas penjajah Indonesia, menjelaskan misi kedatangannya ke Indonesia pada 9 April 2012 yang diterima dengan ramah oleh SBY, “Saya di sini sebagai utusan Sekjen PBB untuk pengembangan keuangan, dan juga G-20. Saya ingin mengadvokasi keuangan inklusif. Jadi kunjungan saya ke Indonesia fokus berbicara dengan beberapa tokoh pemerintah, BI, Bank Swasta, dan telekomunikasi soal mobile banking untuk bagaimana supaya membawa agenda ini ke depan dan potensi apa lagi untuk dipelajari di negara lain.
Setelah semua ini, saya ingin mengawali dengan mengatakan, Indonesia sudah menjadi pemimpin regional dalam pembiayaan inklusif dengan prmbiayaan mikro dengan pengalaman panjang mengembangkan sektor pembiayaan keuangan mikro. (Lihat: Eggi Sudjana, Manifesto Revolusi Fungsional, Jalan Penyelamatan Indonesia Raya, hlm 321)
Pada 1 September 2016 dia datang lagi. Perempuan cantik tersebut tentu tidak sembarangan datang ke Indonesia. Jelas dia ingin mengetahui perkembangan misi pertamanya pada era SBY tersebut.
Sekilas, misi financial inclusion menguntungkan bagi rakyat miskin. Tetapi sebenarnya hal itu menotalkan kekuasaan bank kepada setiap lapisan masyarakat. Masyarakat miskin di manapun berada harus terhubung dengan jari-jemari institusi bank. Sehingga dengan demikian setiap orang terkontrol dan terekam oleh bank.
Kelihatan manis bunyi kampanyenya, padahal ini adalah jalan menuju totalitarianisme bank.
De Javasche Bank
Pertanyaan muncul, kenapa Ratu Maxima dari Belanda yang inspeksi ke Jakarta? Adakah kepentingan terselubung?
Sebagaimana diketahui, induk segala bank yang existing di Indonesia hari ini ialah BI. BI sebenarnya masih punya kait- mengait dengan mendiang De Javasche Bank.
Ketika Jepang tiba di Indonesia pada 1942, seluruh kolateral berupa barang berharga seperti emas, surat berharga dan aset-aset lainnya dikapalkan oleh De Javasche Bank ke Australia dan Afrika Selatan. Kita tidak tahu berapa jumlahnya nilai barang-barang tersebut. Hingga De Javasche Bank diakuisisi Indonesia pasca manuver Natsir dengan mosi integralnya pada awal 1950-an. Kemudian De Javasche Bank difungsikan sebagai bank sentral dan sirkulasi, namun aset-aset di Australia dan Afrika Selatan tersebut tidak praktis ditarik ke Indonesia. Padahal sesungguhnya, aset itulah kekayaan nyata dari bank tersebut, bukan paper money.
Oleh karena itu, timbul rasa penasaran, apakah kedatangan Ratu Maxima untuk merevitalisasi kekuasaan pemegang saham De Javasche Bank yang tentu di antaranya ialah kerajaan Belanda dan pihak-pihak swasta Belanda dan asing di masa lalu?
Seperti biasanya, semua hal terkait politik internasional di negeri ini, penuh kesamaran seperti samarnya sikap para penguasa yang silih berganti. (sed)