Nusantarakini.com, Jakarta-
Wakil Ketua Ombudsman Republik Indonesia, Lely Pelitasari Soebekty menyayangkan ketidakhadiran perwakilan dari Kemendikbud dalam paparan temuan maladministasi dalam pelaksanaan PBDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) nasional 2016 oleh Ombudsman RI. Ombudsman RI melakukan pertemuan dengan tiga (3) Kementerian yaitu Kemendagri, Kemenag dan Kemendikbud di kantor Ombudsman RI Jl. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Pusat. Hal ini terkait hasil pemantauan nasional Ombudsman RI di tiga puluh tiga (33) Provinsi, namun utusan dari Kemendikbud tidak hadir tanpa pemberitahuan.
Sesuai dengan kewenangan Ombudsman RI dalam Pasal 8 UU 37 Tahun 2008, yaitu, “Ombudsman RI dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, berwenang menyampaikan saran kepada penyelenggara layanan publik untuk perbaikan dan penyempurnaan pelayanan publik.”
Dalam kesempatan tersebut Ombudsman RI diwakili oleh Ahmad Suaedy (anggota Ombudsman RI), Ninik Rahayu (anggota Ombudsman RI), dan Adrianus Meliala (anggota Ombudsman RI) memberikan evaluasi dan saran perbaikan nasional secara menyeluruh terhadap pelaksanaan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB).
Ahmad Suaedy yang menjadi pengampu dalam kegiatan tersebut mengatakan, dalam PPDB 2016 terjadi berbagai penyimpangan yang lebih canggih, dari rekayasa online hingga tekanan dari para pejabat daerah dan kalangan aktivis untuk memaksa panitia PPDB melanggar aturan. Pungutan liar juga masih marak dalam pelaksanaan PPDB kali ini.
Menurut Suaedy, berbagai maladministrasi tersebut hanya bisa diselesaikan dengan cara sinergi antar tiga instansi tersebut sehubungan dengan otonomi daerah. Kepala daerah memiliki peran penting dan kebijakan dalam pelaksanaan dan pencegahan maladministrasi PPDB tersebut.
“Namun kuncinya tetap ada di Kemendibud. Jika Kemendikbud tidak peduli dengan maraknya maladministrasi, berupa penyimpangan, pungutan liar dan KKN, maka bisa dikatakan mereka tidak punya niat baik untuk memperbaiki PPDB berikutnya,” jelas Suaedy.
Bentuk maladministrasi yang ditemukan Ombudsman antara lain berupa rekayasa PPDB Online. Yaitu, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota patut diduga telah merubah nilai PPDB Online dari beberapa siswa yang ingin melanjutkan pendidikan dari SMP ke SMA dengan cara bekerjasama dengan provider yang mendapatkan pekerjaan dari dinas tersebut.
Di samping itu, siswa yang sudah masuk dalam PPDB Online hasil seleksi terakhir, seharusnya melakukan daftar ulang, namun ada beberapa siswa yang tidak melakukan daftar ulang karena diterima di sekolah lain, namun namanya tidak dihapus tetapi digantikan oleh siswa lain secara tidak resmi dengan cara membayar atau atas pengaruh pejabat tertentu. Pengaruh dari desakan dan kedekatan membuat Kepala Sekolah/Pihak Dinas/Kepala Daerah tidak berani menolak siswa titipan seperti dari Anggota Legislatif, Aparat Penegak Hukum dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). (*mc)