Nusantarakini.com, Jakarta – Sudah lama saya bertanya-tanya, mengapa sebatang Ahok dapat mengobrak-abrik ketenangan wacana politik di Indonesia? Mengapa seonggok Ahok tidak dapat ditumbangkan di tengah jalan oleh masyarakat Jakarta, padahal mereka sudah tersakiti dan sudah pula bergerak sana kemari, tuntut sana tuntut sini. Mengapa sebintik Ahok yang jelas bisa diproses sebagai terduga korupsi baik pada kasus reklamasi maupun sumber waras, tapi tiba-tiba mesin KPK, Polisi dan Jaksa yang biasanya penuh oli dan kencang kalau soal urusan basah, mendadak macet dan mogok? Mengapa desakan rakyat yang bertubi-tubi kepada elit partai agar tidak memilih Ahok, tiba-tiba yang biasanya mereka bekerja atas dalil popularitas di mata rakyat, blas memcampakkan dalil itu dan memotong arus untuk menunggingkan pantat untuk disodok Ahok? Ada apa? Ada apa PDIP juga harus terombang-ambing, timbang sana timbang sini, hanya urusan menjatuhkan pilihan: Ahok atau bukan?
Ada apa semua elit kekuasaan nyaris koor tidak bisa berkutik di hadapan Ahok atau setidaknya membisu dan buang badan. Paling ada satu dua batang politisi, yang bersungut-sungut di belakang rumah bagaikan emak-emak nggak dikasi uang belanja. Ada apa ini? Saya penasaran dengan semua gejala yang tidak biasa ini.
Setelah saya renungkan, buahhhh … ternyata Ahok ini adalah muara yang mempertemukan kepentingan Pan Americana dan China Raya.
Secara roh politik dan visi sebenarnya Ahok itu lebih intim dengan gagasan Amerika yang liberal dan anti afirmatif terhadap latar belakang pribumi atau tidak. Sebagaimana ideal Amerika terhadap politik, keberadaan Ahok juga merefleksikan tidak pentingnya perbedaan SARA dalan suatu kontestasi politik. Dan untuk urusan tatanan Indonesia dibentuk seperti itu ke depan, figur Ahoklah yang tepat memainkan orkestra itu.
Namun di sisi lain, casing Ahok dan afinitas budayanya sebagai China tentu tidak luntur begitu saja. RRC memiliki harapan pada Ahok untuk dapat menggenapkan wilayah pengaruh RRC di Asia Tenggara.
Barangkali, baik Amerika maupun China akan berdamai kepentingan pada figur Ahok. Tapi entah setelahnya. Sekarang kedua raksasa itu berdamai sementara dan tidak saling bersikut-sikutan dalam percaturan menentukan penguasa di Indonesia. Toh kedua negara tersebut sudah dapat jatahnya masing-masing di Indonesia.
Mungkin sudut pandang ini berat untuk diungkapkan oleh banyak pengamat, tapi tidak bagi saya. Plot tatanan universal yang mengesampingkan fakta-fakta perbedaan afinitas kultural dan latar belakang SARA merupakan manifesto politik khas Amerika khususnya, dan kaum penganjur Dunia Baru dari Barat umumnya.
Tren ini tidak spesial di Jakarta, tapi juga sudah berlangsung di Amerika dengan munculnya Obama sebagai orang kulit hitam yang memerintah kulit putih dan berwarna. Terakhir Shadiq Khan yang Muslim di London sebagai Walikota di tengah penduduk yang mayoritas Kristen. Tetapi tampaknya belakangan terjadi upaya koreksi, baik pada fenomena Brexit (keluarnya Inggris dari UE) maupun munculnya figur Donald Trump yang menginginkan Amerika yang distingtif.
Di arus bawah Indonesia, masih tidak menghendaki plot seperti itu yang dibebankan kepada figur Ahok. Namun bukan berarti arus bawah tidak menghargai perbedaan. Arus bawah menginginkan fakta dan kenyataan alamiah yang terdapat pada umat manusia. Tidak boleh dihilangkan perbedaan-perbedaan itu untuk suatu plot politik mencapai tatanan baru yang melihat manusia hanyalah persoalan hubungan konsumen – produsen.
Jadi, inilah agaknya yang menyebabkan Ahok demikian perkasa seolah-olah. Karena figur dia diinginkan oleh Pan Amerikana dan China Raya. (sed)