Nusantarakini.com, Jakarta – Siaran pers dari Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud pada 8 Agustus 2016 menyatakan fullday school bukan berarti belajar penuh di sekolah. Menteri Muhadjir menyatakan bahwa hal itu merupakan arahan dari Presiden.
Joko Widodo berpesan supaya peserta didik pada jenjang Sekolah Dasar (SD) mendapatkan pendidikan karakter 80 persen dan pengetahuan umum 20 persen. Sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) terpenuhi 60 persen pendidikan karakter dan 40 persen pengetahuan umum.
Jadi intinya pendidikan karakter kembali diimplementasikan lagi dengan cara fullday school atau belajar seharian di sekolah dengan menambah jam-jam kegiatan pada siswa seperti ekstrakurikuler.
Masalahnya, apa betul fullday school menjadi solusi bagi pendidikan karakter? Sebagai menteri yang mengetahui seluk-beluk pendidikan, mestinya Mendikbud dapat memberi pengertian kepada presiden bahwa kebijakan fullday school tersebut keliru.
”Merujuk arahan Presiden Joko Widodo, kita akan memastikan bahwa memperkuat pendidikan karakter peserta didik menjadi rujukan dalam menentukan sistem belajar mengajar di sekolah,” demikian disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy, di Jakarta, Senin (08/08/2016).
”Kami akan mengkaji masukan-masukan dari masyarakat, termasuk kondisi sosial dan geografis mana saja yang memungkinkan sistem belajar tersebut diterapkan. Misalnya di daerah mana saja yang orangtuanya sibuk, sehingga tidak punya banyak waktu di rumah,” jelas Mendikbud.
Sekarang tidak hanya soal fullday school yang diributkan para orang tua murid. Dikabarkan, karena arah anginnya menuju pendidikan karakter, kurikulum 2013 dengan segala buku dan panduan pengajarannya itu kembali diterapkan. Alhasil, ganti menteri ganti pula kebijakan. Ganti juga buku dan kurikulumnya.
Bayangkan, pada kelas 1 seorang anak dicekoki gaya dan muatan pelajaran berdasarkan Kurikulum 2013, kelas 2 saat Mendikbud-nya Anies Baswedan, kembali kepada KTSP, sekarang saat menterinya Muhadjir, balik lagi ke Kurikulum 2013.
Memang anak Indonesia untuk coba-coba, apa? (sed)
[9/8 10.45] Hmi Sahrul Wa: Mas Joko, Pilih Mana: Sri atau Rini?
Nusantarakini.com, Jakarta – Hari-hari ini, kabinet tengah menjalani suasana yang benar-benar baru. Semenjak kedatangan Sri (Sri Mulyani), keseimbangan lama yang condong ke Tiongkok terkoreksi sudah. Rini (Rini Soemarno) yang dipandang person in charge (pic)-nya kepentingan investasi China di Indonesia harus mulai hitung-hitungan. Pasalnya, Sri sudah kasi alarm bahwa anggaran harus diperketat. Nggak boleh lagi belanja sana belanja sini.
Rini sebagai Menteri BUMN yang sebelumnya suka belanja, pasti nggak senang dengan sinyal bendahara Mas Joko itu.
Ibarat perang internal keluarga, Sri dan Rini kini saling bersaing. Masing-masing tentu punya bargaining sendiri di hadapan Mas Joko, sang presiden pengendali rumah tangga Indonesia.
Tapi apa boleh buat. Biasanya yang muda lebih menggoda. Sri tentu lebih menarik bagi Mas Joko. Karena itu ia diberi peran bendaharanya negara. Rini ibarat istri tua yang suka belanja, kudu lapor dulu pada istri muda, jika ingin belanja. Semuanya harus dicatat rapih biar rumah tangga tidak ambruk. Pasti sebel-lah Rini yang suka belanja. Apa boleh buat, ya Mas Joko?
Tapi sebagai pengendali rumah tangga negara, ibarat suami, Mas Joko kudu pintar bermain hati pada wanita. Jangan sampai istri tua ngambek, dan jangan sampai istri muda ganjen karena terlalu dikasih hati.
Pintar-pintarlah Mas Joko membagi hati. Supaya kita seisi Indonesia selamat dunia akhirat. Sebab petaka kadang-kadang dimulai dari kecemburuan para wanita. (sed)