Nusantarakini.com, Jakarta –
Cerita ini nyata. Dan mungkin sudah lumrah. Tapi cerita ini menggambarkan hubungan psikologis antara Cina dan Pribumi di Indonesia.
Ada seorang teman bekerja pada sebuah keluarga Cina. Keluarga Cina tersebut punya usaha jual-beli barang-barang elektronik. Teman ini bekerja pada keluarga tersebut oleh ajakan temannya. Mungkin Cina tersebut lagi membutuhkan tenaga kerja. Kerjanya mengantar pesanan pembeli.
Dia pernah mengantar sejumlah televisi pesanan Ahok. Padahal toko elektronik tersebut jauh berada di pelosok Bekasi. Dapat diduga, karena koneksilah sehingga pesanan Ahok mampir ke toko Cina tersebut. Jumlah pesanan tersebut lumayan besar. Uang sejumlah Rp 300 jutaan mereka terima hasil dari pesanan tersebut. Waktu itu belum terbit pikirannya untuk membawa kabur uang majikannya itu.
Hingga suatu ketika timbullah niat pada dia untuk membawa kabur sejumlah uang. Kesempatan pun tersedia. Akhirnya dia dan temannya larikan uang orang Cina tersebut sejumlah puluhan juta dan langsung pulang kampung ke Jawa.
Mereka meninggalkan mobil toko Cina tersebut yang biasa mereka pakai di tempat pencucian mobil. Maksudnya, supaya mereka tidak bisa dilacak.
Nah, ternyata mereka punya jalan pikiran bahwa bos Cina mereka itu tidak akan mungkin menghubungi polisi. Mereka memperkirakan, lebih baik lenyap puluhan juta ketimbang lapor ke polisi. Kenapa?
Di sinilah bermain psikologis huhungan Cina dengan pribumi. Bagi orang Cina yang tidak punya “piaraan polisi”, melaporkan kasus pencurian atau pun tindak kriminal, sama saja bunuh diri. Nanti bukannya uang yang dicuri, kembali, malahan uang keluar lebih banyak dari pada yang dicuri. Bisa-bisa polisi yang pada umumnya pribumi itu menjadikan pelapor Cina sebagai mangsa perasannya.
Kalau aparat belum dapat diasuh jadi piaraan, sebaiknya hindari berhubungan kasus hukum dengan mereka. Demikian jalan pikiran yang berlaku. Jadi…betapa orang Cina menanggung dua risiko sekaligus ketika berhubungan dengan pribumi: dirampas dan diperas. Punya anak buah di toko, sewaktu-waktu dapat merampas harta; berhubungan dengan aparat, kalau belum dapat diasuh, bisa-bisa jadi sasaran perasan. Akhirnya, orang Cina memandang pribumi sebagai ancaman bagi mereka dalam bentuk perampas dan pemeras.
Lain halnya dengan psikologis pribumi kepada orang Cina. Terutama yang punya usaha seperti pemilik toko elektronik tadi.
Pribumi yang membawa kabur uang orang Cina tersebut dengan ringannya memandang perbuatannya tersebut bagaikan suatu tindakan yang pantas. Menurut jalan pikirannya, uang tersebut wajar dibawa kabur. Sebab, toh orang Cina tersebut memperlakukan mereka kadang-kadang jauh dari rasa belas kasihan.
Suatu ketika, temannya tanpa sengaja menjatuhkan televisi. Akhirnya televisi itu pecah. Oleh bos Cina mereka, dipaksalah temannya itu mengganti rugi televisi tersebut dengan memotong per bulan gajinya. Perlakuan-perlakuan kejam seperti ini lazim bagi mereka yang bekerja pada keluarga Cina. Didorong oleh dendam membalas perlakukan tersebut, akhirnya mereka bawa kaburlah uang puluhan juta itu.
Mencermati kasus yang nyaris massal seperti ini, sebenarnya tersembul suasana psikologis antara Cina dan pribumi yang saling tidak percaya dan saling memangsa. Psikologis seperti ini tentu harus diputuskan agar tidak bertahan di dalam masyarakat. Caranya antara lain dengan menggalakkan adaptasi dan peleburan identitas Cina ke dalam adat dan kultur pribumi. Orang Cina tidak boleh bertahan mengekalkan keterpisahan jarak psikologis mereka dengan psikologis pribumi. Di pihak lain, pribumi juga harus dapat memahami kesulitan yang dihadapi orang Cina menyangkut kelakuan jahat pribumi terhadap Cina, terutama dari aparat seperti polisi yang suka mengeksploitir kelemahan orang Cina.
Tulisan ini sebenar-benarnya ditujukan mengungkap secara jujur apa yang terjadi. Tidak perlu disangkal dan ditutup-tutupi. Sebab, hubungan psikologis yang kurang positif ini telah merusak ekosistem kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia. (sed/foto tribun)