Nusantarakini.com, Jakarta-
Meski diwarnai dengan kontroversi dan perdebatan alot, akhirnya sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak menjadi UU Pengampunan Pajak.
Dalam banyak kesempatan, Menteri Keuangan meyakinkan bahwa Pengampunan Pajak adalah keniscayaan yang harus diambil oleh pemerintah di tengah ketidakstabilan ekonomi global dan seretnya sumber penerimaan negara untuk membiayai proyek-proyek ambisius pemerintah. Pengampunan Pajak menjadi opsi paling mudah bagi pemerintah, setelah tak lagi bisa “memainkan” re-alokasi subsidi bahan bakar minyak.
Pemerintah begitu berharap ada dana segar dari pembayaran tarif tebusan dan repatriasi untuk menambal defisit anggaran. Pemerintah seolah lupa bahwa ada banyak alasan mengapa orang kaya lebih krasan memarkirnya uang di negeri orang dari pada di negeri sendiri. Ironinya, Pemerintah berdalih Pengampunan Pajak adalah momentum terutama pasca terungkapnya berbagai skandal penggelapan pajak, pencucian uang, dan korupsi di Panama Papers.
Apakah memang kondisi fiskal kita “lampu merah”? Kami, Forum Pajak Berkeadilan (FPB) berkeyakinan tidak! Defisit anggaran dikarenakan pemerintah (birokrasi) terlalu boros dan tidak punya sistem perencanaan-penganggaran yang efektif. Artinya, jika efisiensi-efektifitas anggaran bisa dilakukan secara menyeluruh di Kementerian/Lembaga dan di pemerintah daerah, maka defisit akan sangat rendah.
Apakah Pengampunan Pajak satu-satunya jalan untuk meningkatkan penerimaan negara? Kami berkeyakinan tidak! Ada banyak cara: tutup kebocoran penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang jumlahnya puluhan triliun, tutup kebocoran bea-cukai, tagih piutang pajak yang juga puluhan triliun, optimalisasi keberanian-kemampuan Dirjen Pajak dalam memungut pajak dan lain-lain.
Pengampunan Pajak memperlihatkan bahwa pemerintah dan DPR justru terserang pragmatisme jangka pendek, panic attack, dan mengorbankan kepentingan jangka panjang yang lebih fundamental, seperti: reformasi perpajakan dan fiskal, penghormatan terhadap prinsip rule of law, equality of law, dan keadilan sosial. Padahal kasus kejahatan perpajakan sudah terbuka (Panama Papers, Lux Leaks dan lainnya). Alih-alih mengusut elit Indonesia yang tersangkut, pemerintah malah mempercepat Pengampunan Pajak.
Pemerintah justru berbalik badan dan berharap kebaikan hati para pengemplang pajak untuk membawa kembali uangnya mudik ke Indonesia melalui pembayaran tarif tebusan dan repatriasi. Terang bahwa pemerintah lebih memihak warga negara super kaya yang tidak patuh pajak dibanding ke warga negara menengah (kaum salariat) yang patuh bayar pajak.
RUU Pengampunan Pajak sudah menjadi UU Pengampunan Pajak, nasi telah menjadi bubur. Apakah kebijakan ini akan efektif? Kami yakin tidak! Apalagi kita berhadapan dengan kondisi:
Pertama, pemerintah tidak atau belum membangun inovasi sistem keuangan domestik. Perbankan nasional memiliki dominasi yang cukup kuat pasar keuangan domestik, tapi tidak dapat memberikan banyak pilihan dan insentif untuk menarik dana asing untuk masuk ke dalam industri keuangan. Investasi sektor riil masih minim menunya dan skema untuk informal-underground economy masih kabur.
Kedua, ada potensi ketidakstabilan ekonomi yang sangat tinggi. Hal ini terutama terkait dengan komposisi kepemilikan Surat Utang Negara (SUN) dan SUKUK yang masih didominasi oleh investor asing, pun dengan tenor pendek. Lock-up period dana repatriasi dalam UU Pengampunan Pajak selama tiga tahun cukup pendek dan akan terjadi capital in-out-flow dalam waktu cepat. Hal ini berpotensi guncangan terhadap kondisi moneter dan fiskal Indonesia.
Ketiga, belum terjadinya perbaikan sistem hukum nasional khususnya di bidang perpajakan. Pemerintah dan parlemen yang harusnya memprioritaskan revisi RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang sudah masuk Prolegnas 2016 justru malah terkesan “ogah-ogahan” mensegerakan pembahasan. UU KUP, UU PNBP, UU PPn, UU PPh dan peradilan pajak harus segera direvisi agar loop-hole policy perpajakan makin sempit dan mempersempit ruang gerak praktik tax avoidence dan tax evasion.
Keempat, Pengampunan Pajak menunjukkan negara kalah dan tunduk pada para pengemplang pajak. Jika banyak negara menjadikan momentum Panama Paper, Automatic Exchange of Information (AEoI), dan transparansi pengendali utama perusahaan (transparency beneficial ownership) sebagai gerakan politik dan gerakan penegakan hukum, Indonesia justru memulai gerakan pemaafan.
Keempat kondisi di atas adalah kunci bagi Indonesia, jika tidak segera dilakukan di tengah adanya Pengampunan Pajak, maka akan makin menjerumuskan sistem perpajakan Indonesia dalam jurang kekacauan dan makin kontra-produktif terhadap agenda reformasi perpajakan. Sehingga, bukan berkah yang didapat, tapi petaka yang menimpa.
Atas hal ini, Forum Pajak Berkeadilan (FPB) meminta hal-hal:
1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur implementasi Pengampunan Pajak disusun secara terbuka dan melibatkan stakeholders yang lebih luas. Pengampunan Pajak harus inklusif, tidak hanya dapat diakses kelompok super kaya namun juga kelompok menengah-bawah.
2. Adanya “ear-marking” pendapatan dari Pengampunan Pajak yang dialokasikan untuk mendukung sektor riil (UMKM dan usaha rakyat lainnya), pembangunan infrastruktur dasar dan peningkatan belanja sosial. Sehingga, dapat menjadi instrumen redistribusi kue ekonomi secara konkrit dan menurunkan ketimpangan antar golongan dan antar daerah.
3. Pengampunan Pajak harus menjadi alat yang mampu meningkatkan keberanian pemerintah untuk memaksa wajib pajak super kaya dan menengah membayar pajak. Otoritas pajak harus benar-benar aktif “mengejar” wajib pajak sampai ke berbagai belahan dunia.
4. Pengawasan pelaksanaan Pengampunan Pajak harus dilakukan dan melibatkan para pihak. Pemerintah harus membentuk “Tim Nasional Pengawasan Pengampunan Pajak” yang terdiri dari wakil organisasi masyarakat, praktisi, tokoh masyarakat dan stakeholders lainnya. Sehingga menutup peluang terjadinya korupsi baru dan “kong-kalikong” antara petugas pajak dengan wajib pajak.
Jika hal di atas tidak dipenuhi oleh pemerintah-parlemen dalam waktu satu bulan ini, maka Forum Pajak Berkeadilan (FPB) akan terus menyerukan penolakan terhadap UU Pengampunan Pajak dan akan melakukan judicial-review ke Mahkamah Konstitusi! (*mc/sumber&foto: Ah. Maftuchan/Perkumpulan Prakarsa)