NusantaraKini.com, Jakarta – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bersikap bahwa tax amnesty tidak akan berhasil tanpa perbaikan sistem perpajakan dan penegakan hukum. Apalagi melihat perkembangan bahwa keterbukaan informasi melalui AEoI (Automatic Exchange of Information) pada 2018 akan secara otomatis merepatriasi dana. Dengan demikian, menurut PKS, pemerintah tidak perlu terburu-buru.
Fraksi PKS menegaskan sikap keberatan dan belum sependapat terkait pasal-pasal krusial di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak.
Fraksi PKS, sebagaimana pandangan Fraksi yang disampaikan oleh Ecky Awal Mucharram, memberikan catatan terkait RUU Pengampunan Pajak sebagai berikut:
1. Objek pengampunan pajak PPh, PPN, PnBM, itu tidak lazim dalam tax amnesty di negara lain. Lazimnya hanya PPh. Hal ini juga sejalan karena basisnya adalah deklarasi aset yang belum dilaporkan dalam SPT.
Kami usulkan objek PPh saja. Terkait utang pokok pajak juga tidak diampuni, yang diampuni adalah sanksi administrasi dan pidana perpajakan.
2. Tarif. Pemerintah mengobral tarif yang sangat murah. Menciderai rasa keadilan.
Kami memperjuangkan tarif disesuaikan dengan UU yang berlaku saat ini yaitu maksimal 30%.
3. Terkait harta yang tidak dideklarasikan, RUU tax amnesty mengatur data tidak bisa dijadikan dasar tuntutan.
Pasal itu rawan dan tidak sejalan dengan penegakan hukum.
4. Dana repatriasi harus masuk ke sektor riil dan infrastruktur.
Fraksi PKS mendorong dana tax amnesty tidak hanya berbentuk instrumen pasar uang yang bisa tiba-tiba keluar dan mengganggu pasar keuangan. Holding period seharusnya minimal 5 tahun.
5. Batas waktu 31 Maret 2017 tidak sejalan dengan cut off APBN.
Dalam APBNP sudah dimasukkan penerimaan Rp. 165 triliun, semakin menambah ketidakpastian penerimaan 2016 bisa tercapai.
Untuk itu menegaskan bahwa selanjutnya menyerahkan pengambilan keputusan di tingkat paripurna pada selasa ini. (*mc/foto: dpr.go.id)