Nusantarakini.com, Jakarta-
Bola panas berbagai kasus terus bergulir menerpa Gubernur DKI Jakarta Basuki Thahaja Purnama alias Ahok, kandidat petahana dalam pilkada DKI 2017 mendatang. Rupanya tidak hanya RS Sumber Waras yang terindikasi adanya kerugian negara atas pembelian lahan tersebut, bahkan pembelian lahan untuk Rumah Susun yang berada di Cengkareng Barat, Jakarta Barat juga terindikasi adanya kerugian negara.
Indikasi kerugian negara untuk pembelian lahan Cengkareng tersebut, menurut Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat lebih besar dibandingkan dengan pembelian lahan Rumah Sakit (RS) Sumber Waras.
“Kami minta BPK untuk melakukan audit investigasi, karena diduga kuat ada permainan di situ. (Pembelian lahan Cengkareng Barat) itu jauh lebih merugikan dibandingkan dengan (pembelian) RS Sumber Waras,” katanya kepada Pos-metro, Senin (27/6).
Namun ketika ditanya oleh wartawan mengenai jumlah kerugianya, Djarot enggan berkomentar secara terurai. Untuk diketahui bahwa dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK mengenai kerugian dari pembelian lahan RS Sumber Waras pada APBD Perubahan 2014 sebesar Rp 191 miliar.
Ketika dikonfirmasi, Ahok mengaku tidak mengetahui bahwa pembelian lahan di Cengkareng, Jakarta Barat, menggunakan harga lebih tinggi dari nilai jual obyek pajak di wilayah itu. “Makanya saya enggak tahu,” kata Ahok kepada Tempo di Balai Kota DKI Jakarta, Senin, 27 Juni 2016.
Pemerintah DKI Jakarta membeli tanah seluas 4,6 hektare milik mereka sendiri sebesar Rp 648 miliar, di Jalan Lingkar Luar Cengkareng pada November 2015. Dinas Perumahan dan Gedung sepakat membeli lahan yang diperuntukkan untuk pembangunan rumah susun itu dengan harga Rp 14,1 juta per meter persegi. Padahal NJOP di wilayah itu sebesar Rp 6,2 juta.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas Perumahan dan Gedung salah beli lahan. Lahan 4,5 hektare di Cengkareng Barat, Jakarta Barat, dibeli DKI dari seorang pengusaha. Usut punya usut, lahan itu ternyata milik DKI sendiri.
Lahan yang dijadikan Rumah Susun Cengkareng Barat itu adalah lahan milik Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan Pemprov DKI. Namun terkait pembelian lahan itu, Kepala Dinas Kelautan mengaku tak diberitahu sebelumnya.
“Mereka beli (lahan) tidak melibatkan kami sama sekali. Tahunya sudah terjadi, mereka dengan orang lapangan,” kata Kepala Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan, Darjamuni, kepada Detik, Senin (27/6/2016).
Sebenarnya, Darjamuni sendiri juga baru tahu bahwa Pemprov DKI salah beli tanah, saat BPK melakukan audit aset pada bulan April 2016 kemarin. Pembelian lahan itu sendiri dilakukan pada November 2015.
“Memang itu tercatat sebagai aset DKI. Dokumennya ada di BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah). Pengelolanya adalah Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan,” kata Darjamuni.
Dia menjelaskan, lahan itu sudah menjadi milik DKI sejak 1957, kemudian dilakukan pengembangan pada 1967. Sengketa kemudian terjadi seiring perkembangan tahun, namun DKI memenangkan gugatan di tingkat Mahkamah Agung pada 2010. “Kemudian ada grup yang mengklaim, terjadilah pemalsuan dokumen,” kata dia.
Tersebutlah nama Toeti Noezlar Soekarno yang menyatakan punya sertifikat. Dinas Perumahan dan Gedung DKI membeli lahan dari pihak Toeti ini, meski sebenarnya Dinas Kelautan juga punya sertifikat.
“Nah itu dia yang mengaku-aku. cuma yang agak bingung, kenapa mereka punya sertifikat? BPK Jakarta Barat juga belum berani mengeluarkan keterangan. Tapi kelihatannya semua dokumen itu dua-duanya asli. Punya kami asli, punya dia juga asli,” tutur Darjamuni.
Kini, Darjamuni telah menyerahkan semua dokumen ke Biro Hukum Pemprov DKI. Perkara ini dilaporkan ke KPK dan kepolisian.
Mencuatnya kasus pembelian lahan milik sendiri yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta senilai Rp648 miliar pada bulan November tahun lalu, Ahok merasa ditipu.
“Kita gak tahu sebenarnya, justru itu kan ada penipuan. Itu kan digarap belasan tahun dari mafia tanah saya kira,” katanya di Balai Kota Jakarta, Senin (27/06/2016).
Kepala Inspektorat DKI, Mery Erna Harni saat menjelaskan mengatakan bahwa tanah tersebut dimiliki pemerintah sejak 1967. Namun, fatal akibatnya karena pemerintah tak langsung membuatkan sertifikat hingga pada akhirnya PT Sabar Ganda mengklaim lahan tersebut pada 2007.
Empat tahun kemudian muncul Toety Noezlar Soekarno, warga Bandung yang mengabarkan memiliki sertifikat sah atas lahan tersebut lalu menawarkannya kepada Dinas Perumahan hingga pada akhirnya terjadi kesepakatan harga Rp648 miliar.
“Makanya saya minta mesti ditelusuri duitnya ke mana saja. Masalahnya waktu lapor ke luar dia menyebutkan (lahan) bukan (milik DKI), atau oknum lurah juga terima duit,” ungkap Ahok kepada Rimanews.
Kisruh pengadaan lahan untuk pembangunan Rumah Susun Cengkareng Barat itu sebelumnya menjadi salah satu temuan yang tercantum dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi DKI 2015. (*mc/foto:jasajasa.com)