Nusantarakini.com, Jakarta-
Pemerintah harus tetap fokus pada upaya utk meningkatkan kinerja penerimaan pajak. Bukan malah sebaliknya. Dalam konteks itu, RUU Pengampunan Pajak semestinya lebih tepat ditempatkan sebagai pengaturan tentang pelaporan dan repatriasi dana. Jadi bukan pada pengampunan pajaknya. Dengan begitu nama RUU ini yang lebih pas adalah RR tentang pelaporan dan repatriasi dana.
Dalam konteks itu pula, siapapun bisa mengajukan tetapi terbatas hanya untuk kekayaan yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPH.
Insentif tarif tebusan hanya berlaku untuk pelaporan dan repatriasi dana. Tapi tidak berlaku untuk tunggakan pajak yang sudah terhitung menunggak menurut ketentuan perpajakan yang ada. Tarif yang berlaku harus bisa mencerminkan rasa keadilan. Kisaran yang bisa memenuhi unsur itu di angka 25-40 persen. Dengan tarif tersebut, pelapor masih dapat discount 60-75 persen. Tata cara penyelenggaraannya disusun sedemikian rupa sehingga memenuhi unsur efektifitas dan akuntabilitas.
Guna mengoptimalkan tata cara tersebut perlu melibatkan BPK dan BPKP dalam penyusunan sistem pelaksanaan kebijakan terkait pelaporan dan repatriasi dana. Kemudian perlu dibentuk tim monitoring dan supervisi supaya menghindari terjadinya penyalahgunaan kewenangan dalam menjalankan kebijakan terkait pelaporan dan repatriasi dana.
Namun jika nanti pembahasan RUU PENGAMPUNAN PAJAK jauh melenceng dari gambaran diatas, maka negara akan mengalami kerugian yang kesekian kalinya dalam potensi penerimaan pajak. Bahkan jika pengampunan juga diberikan pada tunggakan pajak yang sudah dilaporkan maka kewibawaan hukum perpajakan nasional menjadi hilang.
Kondisi ini bisa saja memicu pembangkangan oleh warga negara yang selama ini patuh dalam memenuhi kewajiban perpajakan sesuai hukum yang berlaku.
Kusfiardi
Direktur Kajian Ekonomi dan Bisnis Puspol dan Analis Ekonomi Politik AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia)*mc