Nusantarakini.com, Jakarta – Belakangan cukup beruntun juga orang-orang sinting memojokkan orang Islam melalui permainan berita. Belum selesai seruan agar menghormati yang tidak puasa, kemudian Ahok membuat pernyataan bertendensi kuat mendiskreditkan jilbab kaum muslimah.
Kemudian muncul lagi di TVRI dua perempuan berpakaian gambar salib pada acara tayangan sahur ramadlan. Namun yang paling mengundang perhatian yaitu kisah seorang ibu penjual warteg yang dirazia Satpol PP di Serang.
Razia semacam itu lumrah saja. Yang membuat tidak lumrah ialah dramatisasi oleh khususnya media Katolik Kompas. Media tersebut mengunci isunya bahwa ada yang salah dengan cara orang Muslim memperlakukan momen ramadlan. Pesan yang disampaikan dari dramatisasi itu ialah puasa orang Muslim di bulan ramadlan meminta korban, menderitanya seorang penjual makanan.
Tiba-tiba dikipasi pula oleh aliran simpati dari para pejabat termasuk Jokowi terhadap ibu tersebut. Sehingga lengkaplah cap bahwa ramadlan membawa derita bagi si ibu tersebut yang digambarkan sebagai rakyat kecil.
Sebenarnya ini hanya konstruksi yang dibangun oleh media Katolik seperti Kompas. Jelas sasarannya menyudutkan orang muslim yang berpuasa. Padahal si ibu itu salah, berjualan tanpa rasa toleransi di siang hari ramadlan. Satpol PP sudah benar menertibkan ibu penjual nasi tersebut. Yang salah adalah media yang mengkonstruk peristiwa itu menjadi panah beracun bagi orang-orang muslim. Banyak sekali penertiban oleh Satpol PP yang jauh lebih keras ketimbang yang menimpa si ibu itu. Boleh jadi pihak yang mengkonstruk berita itu bermaksud mengundang orang-orang Muslim yang disudutkan agar menyelesaikan perkara yang mereka ciptakan itu dengan cara yang bikin kapok mereka selamanya.
Tapi terlepas dari itu, orang Islam sekarang yang suka sensitif dan impulsif mesti bercermin kepada Haji Agus Salim (1884-1954), pendiri Republik ini sekaligus konseptor Pembukaan UUD 1945 dalam hal bagaimana mematahkan percobaan pendiskreditan.
Ceritanya seperti berikut. Dalam sebuah rapat Sarekat Islam (SI), Haji Agus Salim diejek oleh Muso, tokoh SI yang belakangan menjadi orang penting dalam Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada awalnya Muso memulai ejekan itu ketika dia berada di podium untuk berbicara.
“Saudara saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa?” ujar Muso.
“Kambing!” jawab hadirin.
“Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa?” sambungnya.
“Kucing!”
Agus Salim tahu dialah sasaran ejekan Muso. Agus Salim memang memelihara jenggot dan kumis. Begitu tiba gilirannya berpidato, dia tak mau kalah.
“Saudara-saudara, orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” kata Agus Salim.
Hadirin berteriak riuh, “Anjiiiing!”
Agus Salim tersenyum, puas, lalu melanjutkan pidatonya.
Lain waktu ada sebuah muktamar. Beliau menjadi juru bicara di tengah para hadirin. Karena kecintaan pada sunnah Nabi, Salim memanjangkan dan memelihara jenggotnya. Bagi orang Belanda, jenggot merupakan sebuah tradisi yang aneh, maka para kolonial itu menirukan suara kambing saat Agus Salim berpidato. "Mbeekk," kata mereka untuk maksud mengejek. Dengan penuh bijaksana Salim menyahut, “Kambing-kambing yang mengembik, silahkan keluar! Rapat ini tidak pantas dihadiri oleh kambing-kambing."
Akhirnya orang Belanda itu pun merasa malu dan serba salah. Harusnya sekarang kaum Muslimin Indonesia yang lagi geregetan karena merasa dibully, dapat mencontoh cara Agus Salim tersebut. Bukan marah-marah dan reaksioner. (sed)