Nusantarakini.com, Jakarta –
Pensiun dini merupakan hak karyawan. Kriteria untuk seorang karyawan bisa mengajukan pensiun dini, seperti yang biasa diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama, hanya dua. Pertama, syarat usia, yakni berapa tahun selisih antara pengajuan pensiun dini dengan pensiun normal, misalnya 5 atau 10 tahun; Kedua, syarat masa kerja, misalnya 10 atau 20 tahun. Jika dua kriteria itu sudah dipenuhi, syarat-syarat lain tidak diperlukan.
“Kalau karyawan sudah memenuhi kedua kriteria itu dan mengajukan permohonan pensiun dini, ya, itu memang haknya,” kata Profesor DR Payaman Simanjuntak di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Jakarta Pusat, Senin (23/5) sore. Dosen tetap Universitas Krisnadwiyana, yang juga pernah menjabat sebagai staf ahli Menteri Tenaga Kerja ini, menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan yang diajukan wartawan Tempo, Dwi Wiyana, kepada tempatnya bekerja, PT Tempo Inti Media Harian Tbk. Sidang perdana digelar akhir Maret lalu.
Dalam kasus ini, Dwi Wiyana menunjuk LBH Pers sebagai kuasa hukumnya. Gugatan disampaikan setelah Tergugat menolak permohonan pensiun dini yang diajukan Penggugat, pada Oktober 2014. Padahal, secara legal formal, Penggugat sudah memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Bersama antara Serikat Pekerja dengan manajemen PT Tempo. Kriteria itu adalah saat pengajuan pensiun dini, usia Penggugat sudah 45 tahun atau 10 tahun dari pensiun normal, dan Penggugat sudah bekerja selama 16 tahun di tempat Tergugat, melebihi ketentuan minimal masa kerja 10 tahun.
“Hubungan Kerja adalah kesepakatan dua belah pihak dan apabila salah satu pihak atau karyawan sudah berkeberatan untuk bekerja, terlebih dia sudah memenuhi syarat pengajuan pensiun dini maka sudah seharusnya Perusahaan mengabulkan pensiun dini yang diajukan karyawan” kata Sugeng Susilo S.H, M.H Advokat LBH Pers.
Menurut Payaman, pensiun dini bisa diajukan dengan beberapa alasan. Misalnya, merasa tidak puas atau punya keperluan pribadi. Oleh karena pensiun dini merupakan hak karyawan, maka manajemen tidak boleh menolaknya. Yang boleh adalah manajemen menunda keputusan pensiun dini untuk menyiapkan pengganti karyawan yang pensiun dini tersebut. Waktunya, bisa 6 bulan, maksimal 12 bulan, tidak lebih dari itu. “Alangkah begitu rendahnya kualitas manajemen kalau tidak bisa mencari pengganti sampai satu tahun,” kata peraih gelar PhD di bidang Labour Economics, Development Economics and Urban and Regional Economics dari Boston University ini.
Apabila syarat umur dan masa kerja sudah dipenuhi, anggota Dewan Pengarah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)-Profesi Hubungan Industrial/Asesor itu melanjutkan, maka syarat atau hal-hal lain tidak diperlukan. Oleh karena pensiun dini sudah menjadi hak, maka pengabulan permohonan pensiun dini tidak ada kaitannya dengan prestasi kerja, juga tidak ada kaitan bahwa tenaga karyawan tersebut masih dibutuhkan atau tidak. Tak hanya itu, pensiun dini juga tidak ada hubungannya, apakah karyawan tersebut mengurus rumah tangga atau tidak, punya usaha sendiri atau tidak, atau pindah kerja atau tidak.
“Kalau sudah menjadi hak karyawan, maka tidak ada lagi yang bisa menolak hak,” kata pria kelahiran Siborong-borong, Tapanuli Utara, 17 Juli 1939 itu, menjawab pertanyaan ketua majelis hakim Dr. H. Syahrul Mahmud, S.H, M.H. Jika manajemen masih bisa menolak, berarti pensiun dini bukan hak karyawan. “Kalau pensiun dini dianggap bukan hak karyawan, kenapa aturannya dibuat di PKB? Kenyataannya kan pensiun dini diatur dalam PKB karena itu merupakan hak karyawan,” kata Payaman. (*mc)