Nusantarakini.com, Jakarta – Yusril menghadapi dilema atas pencalonannya sebagai Gubernur DKI. Meskipun memiliki kendaraan Partai yaitu PBB, tapi karena tidak lolos electoral treshold, mau tak mau, dia harus mencari dukungan dari partai lain. Masalahnya, tidak mudah mendapatkan dukungan dari partai yang ada di zaman serba tidak gratis ini. Tentu saja partai lain lebih memilih kader sendiri ketimbang orang lain. Bargaining yang mungkin dapat dieksploitasi oleh Yusril agar dapat diterima partai lain ialah memastikan elektabilitas dan popularitasnya meningkat hari demi hari di mata masyarakat pemilih sekaligus menggunakan hubungan personalnya dengan patron-patron partai yang dia harapkan dapat mengajukan pencalonannya untuk Calon Gubernur DKI. Tentu hal itu juga tidak mudah.
Dilema yang dihadapi Yusril dapat dikatakan cerminan dari dilema umat Islam di Indonesia yang menghadapi kesulitan kendaraan politik.
Selain Ahok, nama yang sudah muncul ke permukaan ialah Sandiaga Uno, Djarot yang saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI, Sjafrie Sjamsoeddin dan Yusril sendiri. Terdetik kabar, nama walikota Surabaya, Risma, juga dijagokan maju untuk DKI 1, sekalipun tersiar bantahan dari Risma sendiri.
Dalam hubungannya dengan nasib politik umat Islam di Jakarta sekaligus nasional, sorotan kita akan tertuju pada dua nama, yaitu Sjafrie Sjamsoeddin dan Yusril Ihza Mahendra. Sebab kedua nama inilah yang memiliki hubungan sentimen keislaman yang kental. Jadi tidaknya salah satu dari kedua nama ini dicalonkan, khususnya oleh Gerindra, akan membuka peta baru dalam lanskap Pilkada DKI nanti. Sederhananya, jika Yusril dicalonkan dan Sjafrie tidak jadi dicalonkan, maka jelas Ahok sebagai incumbent bertarung langsung dengan kekuatan politik umat Islam tanpa dibayang-bayangi pertarungan antara jenderal-jenderal sisa-sisa pertarungan politik di masa Orba. Jelas realita politik semacam itu lebih menguntungkan umat Islam. Umat Islam dapat langsung menjadi aktor determinan.
Sebaliknya jika Sjafrie Sjamsoeddin yang jadi sebagai calon mewakili aspirasi umat Islam, maka umat Islam harus rela di bawah kendali operasi (BKO) sang patron Partai Gerindra, Letjend (purn) Prabowo Subianto. Dan tentu jika ini yang terjadi, jenderal-jenderal kontra Prabowo akan bangkit dari kuburnya bersatu di bawah bendera Ahok. Sudah tergambar blok politik seperti apa yang terjadi. Situasi akan berlangsung persis seperti Pilpres 2014 yang lalu. Tentu dengan kondisi demikian, diprediksi Ahok akan menang.
Sebaiknya perlu dipikirkan matang oleh Prabowo sebelum dia menentukan pilihan cagubnya. Aliansi politik Islam di lapangan seperti Gubernur Muslim Jakarta (GMJ) pimpinan Habib Rizieq Shihab mulai gamang dengan munculnya nama kandidat Sjafrie Sjamsoeddin ke permukaan. Harus diakui, komunikasi politik yang dimainkan oleh Sjafrie Sjamsoeddin untuk menyentuh hati GMJ, jauh lebih unggul dari pada Yusril, sehingga ulama kharismatik Betawi, KH. Abdul Rasyid Abdullah Syafi’ie sampai memuji Sjafrie sebagai calon yang dapat diandalkan untuk menandingi Ahok. (Suara Islam, edisi 216, hal. 4). "….saya sudah tiba di masjid agung Al-Azhar kebayoran baru sejak ashar, dan ternyata banyak teman-teman yang sudah kumpul di masjid bersejarah ini. Terus terang saya deg-degan hendak bertemu Sjafrie kali ini," ungkap Kyai tersebut dalam satu pertemuan dengan Sjafrie.
Bukan rahasia lagi, pembawaan Yusril kerap kurang menyentuh saat berkomunikasi dengan yang bersangkutan. Kesan dingin, tidak ngayomi dan care banyak dialami oleh orang. Perkara yang dianggap ringan semacam itu jika diabaikan, seringkali menimbulkan implikasi politik. Misalnya hanya karena tidak yakin akan dapat mengayomi, maka sebagian pihak pemilih beralih ke calon lain, sekalipun dengan risiko politik yang sudah terprediksi, akan menangnya Ahok. Kita tidak berharap GMJ mengalami apa yang kita maksudkan.
Waktu masih tersedia bagi Yusril untuk koreksi diri. Sebab akan sia-sia jadinya seluruh energi dan waktu yang sudah terbuang demi mendapatkan tiket calon DKI 1. (sed)