Jika PSI Jadi Oposisi

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Gemerlap popularitas Joko “esemka” Widodo belum mampu dinikmati partai partai pembelanya. Padahal pemilu serentak secara langsung mempertemukan trah presiden dengan trah calon legislatifnya. Yang artinya, kecenderungan voters untuk memilih siapa paslon signifikan sebagai dasar dalam memilih partai.

Sejauh menyimak hasil lembaga survei hingga bulan oktober 2018, hanya PDIP yang merasakan tuah karisma petugas partainya dengan perolehan suara diatas dua puluh persen.Jika dikomparasi dengan pemilu sebelumnya, angka diatas dua puluh persen bagi PDIP juga terjadi. Walaupun ironisnya saat pileg 2014, PDIP gagal meraih angka dua puluh persen minus margin error.

Tidak ketinggalan disorot adalah nasib PSI sebagai partai yang sangat aktif tampil dalam pertarungan memenangkan opini, baik di media massa, maupun medsos. Berbekal inovasi dan tagline partai milenial, mereka hanya mendapat antara 0,2-0,4 persen suara yang artinya jauh dari ambang batas parlemen. Sebuah kabar baik tentunya bagi partai partai yang kurang greget di dunia maya.

Banyak hal yang bisa ditelaah dari nestapa PSI. Pertama, koalisi nomor urut satu jelaslah tidak menutup adanya persaingan internal didalamnya. PKB yang juga banyak diisi figur muda terbukti mampu meraih hasil positif. Artinya, PSI kalah telak dari PKB dalam mengemas brand sebagai partai milenial.Melihat PKB mampu jauh meninggalkan nasdem dan hanura, berarti kehadiran prof Makruf Amin juga memiliki efek elektoral bagi kalangan milennial.

Dengan kata lain, partai bergaya milennial tidak selalu laku dan menarik bagi milennial. Karena politik adalah perebutan, bukan casting sinetron, maka penempatan posisi menjadi penting. Ibarat terdapat dua perusahaan di area yang sama yang menjual produk yang sama pastilah terjadi perebutan pengaruh. Boleh dicoba, elektabilitas PSI akan lebih baik jika tidak mendukung rezim. [mc]

*Ziyad Falahi, Pengamat Sosial Politik Milenial.