Oleh: Jimmy H Siahaan, Pemerhati Sosial Poltik.
Nusantarakini.com, Jakarta –
Awalnya menggunakan nama Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang dibuat pada saat dikeluarkannya Dekrit Presiden No. 241 Tahun 1958. Gelar pertama dianugerahi pada 30 Agustus 1959 kepada politikus yang menjadi penulis bernama Abdul Muis, yang meninggal dunia pada bulan sebelumnya.
Pahlawan Nasional
Pahlawan Nasional adalah gelar penghargaan tingkat tertinggi di Indonesia. Gelar anumerta ini diberikan oleh Pemerintahan Indonesia atas tindakan yang dianggap heroik didefinisikan sebagai “perbuatan nyata yang dapat dikenang dan diteladani sepanjang masa bagi warga masyarakat lainnya atau berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.”
Daftar Pahlawan Nasional Indonesia (per 2014)
Sebanyak 191 pria dan 16 wanita telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional, yang paling terbaru adalah Ida Dewa Agung Jambe, Bataha Santiago, M Tabrani, Ratu Kalinyamat, Abdul Chalim dan Ahmad Hanafiah, pada tahun 2023. Pahlawan-pahlawan tersebut berasal dari seluruh wilayah di kepulauan Indonesia, dari Aceh di bagian barat sampai Papua di bagian timur; Untuk kali pertama Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah memiliki Pahlawan Nasional pada tahun 2021.
Mereka berasal dari berbagai etnis, meliputi pribumi-Indonesia, peranakan Arab, Tionghoa, India, dan orang Eurasia. Mereka meliputi perdana menteri, gerilyawan, menteri-menteri pemerintahan, prajurit, bangsawan, jurnalis, tokoh keagamaan, pendidik dan seorang uskup.
Gelar ini digunakan saat pemerintahan Sukarno. Ketika Suharto berkuasa pada pertengahan 1960-an, gelar tersebut berganti nama menjadi Pahlawan Nasional. Gelar khusus pada tingkat Pahlawan Nasional juga dianugerahkan.
Pahlawan Revolusi & Pahlawan Proklamator
Pahlawan Revolusi diberikan pada tahun 1965 oleh Presiden Soekarno (dalam kapasitasnya sebagai Panglima Komando Operasi Tertinggi/KOTI) kepada sepuluh korban peristiwa Gerakan 30 September, sementara Sukarno dan mantan wakil presiden Mohammad Hatta diberikan gelar Pahlawan Proklamator pada 1988 karena peran mereka dalam membacakan Proklamasi Kemerdekaan.
Pahlawan Reformasi
Pahlawan Reformasi merujuk pada empat mahasiswa Universitas Trisakti yang gugur dalam insiden penembakan pada 12 Mei 1998, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hertanto, dan Hendriawan Sie. Pengorbanan mereka dianggap sebagai simbol perjuangan untuk perubahan di era Reformasi dan pemerintah mengakui jasa mereka melalui penghargaan seperti Bintang Jasa Pratama pada tahun 2005. Empat mahasiswa tersebut adalah mahasiswa yang tertembak saat mengikuti aksi demonstrasi menuntut reformasi pada 12 Mei 1998. Mereka adalah Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan, Heri Hertanto, dan Hendriawan Sie.
Mengapa mereka disebut pahlawan: Mereka gugur sebagai martir dalam memperjuangkan perubahan besar di Indonesia. Tragedi penembakan yang menimpa mereka memicu gelombang protes yang lebih besar dan pada akhirnya menyebabkan mundurnya Presiden Soeharto.
Untuk mengenang jasa-jasa mereka, pemerintah menganugerahkan Bintang Jasa Pratama kepada keempat mahasiswa tersebut pada 15 Agustus 2005.
Nama mereka diabadikan di berbagai tempat, seperti Gedung Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti yang diberi nama Gedung Hendriawan Sie dan sebuah jalan di Balikpapan yang juga dinamai jalan Hendriawan Sie.
Sejarah yang disembunyikan
Kepahlawanan dan peristiwa sejarah tidak terpisahkan. Beberapa peristiwa sejarah Indonesia, seperti tragedi 1965 atau kehidupan masyarakat biasa pada masa lalu, mungkin dianggap sebagai “sejarah yang di sembunyikan” jika tidak banyak dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan formal atau perbincangan publik.
Laut Bercerita karya Leila S. Chudori, yang menceritakan kembali peristiwa penghilangan aktivis mahasiswa pada tahun 1998 dari sudut pandang para korban dan keluarganya.
Buta Sejarah vs Mungkar Sejarah
“Buta sejarah” berarti ketidakpedulian atau ketidaktahuan seseorang terhadap sejarah. Orang yang “buta sejarah” tidak memahami masa lalu, tidak mempelajari peristiwa-peristiwa penting, dan sering kali tidak melihat dampak sejarah terhadap masa kini atau masa depan.
Ketidakpedulian terhadap sejarah dapat membuat seseorang buta terhadap pelajaran dari masa lalu dan cenderung mengulangi kesalahan yang sama.
Banyak generasi muda yang tidak menyukai pelajaran sejarah dan hanya melihatnya sebagai mata pelajaran untuk ujian, tanpa menyadari relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah “buta sejarah” sering disamakan atau dikontraskan dengan “mungkar sejarah,” yaitu seseorang yang sebenarnya tahu sejarah tetapi sengaja tidak menghormati atau menyangkalnya demi kepentingan tertentu.
Penolakan Gelar Pahlawan
Pada hari Minggu, 2 November 2025, YLBHI mengeluarkan konpres, tentang, sederet alasan: “Soeharto Tak Pantas Sandang Gelar Pahlawan.”
YLBHI sebut Soeharto menampilkan wajah kekuasaan yang otoriter dan basah dengan jejak pelanggaran HAM berat.
Demikian juga, sejumlah warga berunjuk rasa menolak pemberian gelar pahlawan kepada mantan Presiden Soeharto di depan kantor Kementerian Sosial (Kemensos). Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai usulan pemberian gelar pahlawan nasional bagi Presiden RI ke-2, Soeharto, sebagai indikasi bahwa pemerintah “buta sejarah” dan membangkangi aturan. Pasalnya, saat Soeharto berkuasa selama 32 tahun, YLBHI menyoroti banyaknya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi.
“Soeharto menampilkan wajah kekuasaan yang otoriter dan basah dengan jejak pelanggaran HAM berat,” tulis YLBHI dalam keterangan pers resmi yang diterima Tirto pada Minggu (2/10/2025).
YLBHI merinci berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di rezim Soeharto, salah satunya dimulai pada 1965, saat terjadi pembunuhan dan kekerasan massal.
Salah satu korban dari kekerasan massal 1965 menurut catatan YLBHI adalah Nani Nurani, yang dipenjara oleh rezim Orde Baru selama tujuh tahun tanpa menjalani proses hukum.
“Kemudian berlanjut dengan rentetan pelanggaran HAM berat lainnya, di antaranya Peristiwa Talangsari, Lampung, 1989. Berdasarkan Laporan Keadaan HAM di Indonesia 1989, menyebut peristiwa tersebut menewaskan 31 orang dan beberapa orang lainnya dipenjara karena dituduh subversif,” beber YLBHI.
Selanjutnya, terdapat Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998 yang menyeret aktivis pro-demokrasi hingga 13 orang masih dinyatakan hilang hingga kini.
Berlanjut ke Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1989-1998 yang mana di pertengahan 2023, pemerintah malah menghancurkan saksi bisu Rumoh Geudong yang dianggap sebagai tempat penyiksaan oleh militer selama konflik bersenjata di Aceh.
“Selanjutnya Kerusuhan Mei 1998. Berdasarkan Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta mengungkapkan temuan adanya pelanggaran HAM yakni peristiwa 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus perkosaan.”
Sejarah Kekuasaan
“Sejarah yang berkuasa” dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi “the powerful history” atau, tergantung konteksnya, bisa juga merujuk pada konsep “history” (sejarah kekuasaan) yang kuat secara pengaruh, seperti “sejarah pengaruh Kerajaan Inggris” atau “sejarah pengaruh Amerika Serikat”. Ternyata konsep sejarah yang berhimpit dengan kekuasaan sangat kuat mempengaruhi sejarah setiap rezim yang berkuasa. Dimensi ini sebagai bagian dari kita sebut sebagai “manipulasi sejarah atau monopoli.” Hal itu disebabkan kekuasaan Soekarno dan Soeharto, berkuasa lebih dari setengah abad.
Menolak Lupa Sejarah
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan nasional.
Gerakan mahasiswa tahun 1977/1978 ini tidak hanya berporos di Jakarta dan Bandung saja namun meluas secara nasional meliputi kampus-kampus di kota Surabaya, Medan, Bogor, Ujungpandang (sekarang Makassar), dan Palembang. 28 Oktober 1977, delapan ribu anak muda menyemut di depan kampus ITB. Mereka berikrar satu suara, “TURUNKAN SUHARTO.” Besoknya, semua yang berteriak, raib ditelan terali besi. Kampus segera berstatus darurat perang. Namun, sekejap kembali tenteram.
Sejak pertemuan 28 Oktober di Bandung, ITS didaulat menjadi pusat konsentrasi gerakan di front timur. Hari pahlawan dianggap cocok membangkitkan nurani yang hilang. Kemudian disepakati pusat pertemuan nasional pimpinan mahasiswa di Surabaya. Tanggal, 10 November 1977, di Surabaya dipenuhi tiga ribu jiwa muda. Sementara di kota-kota lain, peringatan hari Pahlawan juga semarak. Di Jakarta, 6000 mahasiswa berjalan kaki sejauh lima kilometer dari Rawamangun (kampus IKIP) menuju Salemba (kampus UI), membentangkan spanduk, “PADAMU PAHLAWAN KAMI MENGADU.”
Tuntutan agar Soeharto turun masih menggema jelas, menggegerkan semua pihak. Banyak korban akhirnya jatuh. Termasuk media-media nasional yang ikut mengabarkan, dibubarkan paksa. Peringatan 12 tahun Tritura, 10 Januari 1978, peringatan 12 tahun Tritura itu jadi awal sekaligus akhir. Memasuki awal 1978, 200 aktivis mahasiswa ditahan tanpa sebab. Bukan hanya dikurung, sebagian mereka diintimidasi lewat interogasi.
Melawan “lupa sejarah” berarti upaya untuk mencegah dan melawan hilangnya memori kolektif suatu bangsa melalui pengumpulan arsip, penyebaran informasi, dan pembelajaran sejarah. Hal ini penting untuk mempertahankan identitas, mempelajari pelajaran dari masa lalu, dan membangun masa depan yang lebih baik. [mc]

