Satire

Peristiwa Tian An Men 4 Juni 1989: Gerakan Subversif oleh Amerika Serikat?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Meninggalnya Ketua Mao Zadong yang merupakan pimpinan tertinggi di Tiongkok (presiden) dari tahun 1949 hingga September 1976, membuat Deng Xiao Ping akhirnya kembali dari pengasingan. Dan pada tahun 1978 Chairman Deng terpilih sebagai Perdana Menteri yang akhirnya menjadi Perdana Menteri seumur hidup.

Chairman Deng berhasil menyakinkan Presiden Huo Guo Fung. sebagai pewaris tahta dari Ketua Mao untuk bersama sama menjadi pelopor politik pintu terbuka (Gai Ge Kau Fang).

Awal dalam era keterbukaan yang berimplikasi terhadap masuknya pemikiran-pemikiran dan budaya Barat termasuk Demokrasi Liberal ciptaan Amerika Serikat. Sehingga hal ini memicu terjadinya serangkaian demonstrasi yang panjang oleh mahasiswa dan para pekerja yang mengguncangkan dunia.

Gerakan ini adalah hasil cuci otak dari NED (National Endowmer for Democracy) yang merupakan agenda dari Amerika Serikat untuk merubah Tiongkok menjadi negara demokrasi liberal ciptaannya.

Diawali pada bulan Desember 1986 ketika secara serentak terjadi demonstrasi di 15 kota besar di Tiongkok.

Pencetus demonstrasi ini adalah mahasiswa Chinese University of Science and Technologi di Kota He Fei Provinsi An Hui. Termasuk mahasiswa dari Shanghai, Beijing ,Tian Jing dll. Bahkan kemudian ratusan ribu pekerja ikut dalam rangkaian demonstrasi yang berlangsung selama 2,5 tahun ini.

Hingga pada puncaknya mereka beramai ramai menuju ke Lapangan Tian An Men, Ibu Kota Negara Tiongkok, Kota Beijing.

Para demonstran itu sangat teroganisir, masif dan terencana dengan dukungan logistik yang sangat memadai. Mereka menuntut demokratisasi, pemilu yang demokratis, kebebasan pers dan berorganisasi dan lebih jauh lagi mereka menuntut dibentuknya aliansi demokrasi seluruh mahasiswa perguruan tinggi. Sambil membakar bundalan surat kabar yang dianggap sebagai corong pemerintah Beijing Daily.

Sikap pemerintah di tubuh petinggi Partai Komunis China (PKC) saat itu terpecah menjadi 2 kelompok dalam upaya mengatasi kericuhan demontrasi tsb.

Yaitu Sekjen PKC waktu itu Hu Yao Bang menghendaki pendekatan yang lunak, bernegosiasi dengan mahasiswa yang dianggap bisa diarahkan menuju satu tujuan yang sama.

Sedangkan di tubuh konservatif berpendapat bahwa dalang dibalik semua ini yang telah meracuni pemikiran para mahasiswa dan pemuda adalah liberalisme Barat/dukungan Barat. Oleh karena itu harus ditindak keras. Beda pendapat dalam penanganan para demonstran ini menyebabkan Hu dipecat dan diganti dengan Zhao Zi Yang.

Namun ternyata Zhao pun memiliki sikap yang sama dengan Hu, bahkan Zhao Zi Yang menemui para demonstran di Tian An Men.

Namun justru hal ini memicu demonstrasi yang lebih besar, sehingga kelompok konservatif yang diwakili Li Peng yang menginginkan demonstran itu ditindak dengan kekerasan.

Sehingga pada tanggal 4 Juni 1989 pasukan tentara People’s Liberation Army (PLA) 27 dan 28 dari Shan Dong dikirim ke Beijing beserta kendaraan lapis bajanya untuk memadamkan demonstrasi tersebut.

Demontrasi yang teroganisir, masif terencana dengan baik selama bertahun-tahun dapat diselesaikan hanya dalam 1-2 hari saja.

Namun peristiwa 4 Juni 1989 menyebabkan generasi kita merasa sedih dan marah terhadap PKC dan merupakan pengalaman dan memori kolektif generasi kita.

Membuat semua semua orang yang belum pernah berhubungan dengan PKC atau bahkan belum pernah mengunjungi TIONGKOK pada waktu itu, mendapatkan pengalaman nyata karena peristiwa sejarah semacam itu sehingga dengan demikian menjadi anti komunis.

Kesan terhadap PKC bagi generasi kita adalah jahat, kejam bagaikan iblis, diktator, tertutup sebagai Negara Tirai Bambu.

Sehingga membuat generasi kita menjadi anti dan menolak terhadap komunis, karena dianggap bencana yang mengancam kebebasan beradab bagi umat manusia di era itu.

Namun kini sepenuhnya kita menyadari dan mengerti bahwa 4 Juni adalah tindakan subversif oleh Amerika Serikat, setelah upayanya gagal, lalu menciptakan krisis separatis di Tiongkok.

Amerika Serikat terus mencari jalan untuk memecah Tiongkok, menyakiti dan mendzolimi. Mulai dari Xin Jiang, Tibet, Hongkong maupun Taiwan dengan mengarang serangkaian cerita hoax.

Tidak terbayangkan apabila demonstrasi 4 Juni 1989 berhasil merubah sistem Pemerintahan Tiongkok menjadi negara demokrasi liberal dengan lebel HAM-nya dalam kebebasan berpendapat, berekspresi dan berorganisasi. Maka dapat dipastikan Tiongkok yang kacau tidak terkendali dan sudah tidak ada lagi di peta dunia. Dan itulah strategi dari Amerika Serikat untuk memecah belah kemudian menguasainya (Neo Liberal).

Karena dengan 56 suku, 56 partai politik dan beragam agama dengan luas wilayah 9.6 km yang kurang lebih seluas benua Eropa. Mengelola 1,4 milliar manusia dan memiliki perbatasan dengan 21 negara tetangga. Betapa tidak terkendalinya Negara Tiongkok dan kemungkinan besar akan pecah seperti Eropa.

Oleh karena itu saat ini tidak peduli seberapa besar generasi kita tidak menyukai Partai Komunis Tiongkok, akan tetapi PKT telah menggunakan kemampuan dan prestasinya untuk menampar generasi kita yang anti komunis.

PKT berhasil tetap mempersatukan Tiongkok Raya dan membawa kembali Tiongkok menjadi negara adi daya.

Mewujudkan pemerintahan yang demokratis dalam arti yang sesungguhnya dan menghargai Hak Asasi manusia yang paling mendasar (bukan untuk politis). Yakni hadirnya pemerintah yang sanggup memberikan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan untuk rakyatnya dan menjadi negara teraman di dunia (hak rakyat yang paling hakiki).

Sehingga tingkat patriolisme rakyatnya mencapai titik tertinggi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Bahkan kelompok seniman Hongkong yg menentang PKT pada insiden 4 Juni kembali mendukung PKT untuk memimpin dan membangun Tiongkok.

Demikian juga para Demonstran yang sempat melarikan diri ke Amerika Serikat, kini menyadari kesalahan mereka dan kembali menjadi pendukung PKT.

Maka dapat dikatakan tanpa ketegasan PKT tidak ada Tiongkok Baru. Tanpa Tiongkok Baru tidak ada Tiongkok yang kuat dan damai.

Sehingga menjadi pertanyaan untuk generasi kita apa yang kita tolak, apa yang kita anti-kan dan apa yang kita anggap kejam dan jahat. Justru insiden 4 Juni 1989 menjadi titik balik untuk perjuangan melawan kemiskinan dan keterbelakangan di Tiongkok.

Era Kegemilangan Amerika Serikat

Generasi kita juga hidup di era paling gemilangnya Amerika Serikat berada pada puncak dunia dan kita menyaksikan AS menjadi polisi dunia sebagai negara super power.

Dan kita juga menyaksikan kebrutalan AS dengan sistem Demokrasi Liberal ciptaannya, berkonspirasi menghancurkan negara lain dan merampok pemimpin negara yang telah dijatuhkan.

Dan atas nama demokrasi, kebebasan hak azasi manusia, jutaan manusia tidak berdosa dibunuhnya, jutaan anak-anak menjadi yatim piatu. Menciptakan teroris, memelihara teroris, memerangi teroris, mengancam perdamaian dunia dan menyebabkan krisis peradaban manusia di dunia.

Memanipulasi seluruh dunia dan selalu bersembunyi di bawah nilai-nilai universal yang mereka sebut demokrasi dan HAM.

Namun waktu cepat berlalu, dunia pun cepat berubah. Setelah insiden 4 Juni 1989 kini Tiongkok telah berhasil meraih kembali status Kaisar-nya yang telah hilang hingga ratusan tahun.

Saat ini Tiongkok telah berdiri tegak menantang hegemoni Barat/AS. Merubah nasib negara Timur yang telah lama diperbudak bangsa Barat.

Membangun bersama dengan komunitas dunia dengan damai, kemakmuran bersama dengan mengembalikan hakekat paradaban manusia di dunia.

Dan hanya Tiongkok yang bisa memberitahukan kepada bangsa Barat: bahwa bangsa Barat tidak bisa lagi melakukan apapun yang diinginkan dengan memperbudak bangsa Timur.

Hanya Tiongkok yang bisa melakukannya. Bahkan Tuhan pun tidak ingin menghentikannya.

Tiongkok hanyalah kembalinya Raja yang tidak diperlukan persetujuan siapapun. Inilah yang disebut siklus sejarah.

Dan inilah situasi internasional yang generasi kita saksikan saat ini setelah 3 dekade insiden 4 Juni 1989. [mc]

*Chen Yi Jing, Pemerhati Geopolitik dan Ekonomi. 

Terpopuler

To Top