Kelakuan Si Joko

Cerita Joko bukan cerita satu orang. Ia adalah refleksi zaman, ketika realita kalah dari sensasi, dan pemimpin lahir bukan dari integritas, tapi dari algoritma.
Nusantarakini.com, Surabaya –
Joko sejak kecil bukan anak sembarangan. Bukan karena pintar, tapi karena dia ahli menghindari kerja kelompok, jago ngeles, dan kalau disuruh baca buku malah jualan fotokopian ringkasan.
“Ngapain baca buku? Yang penting lulus, bukan cerdas,” begitu semboyannya sejak kelas dua SD, saat dia mencontek PR anak guru dan tetap dipuji karena “inisiatif.”
Ketika teman-temannya daftar beasiswa, Joko justru daftar jadi admin grup alumni, supaya tahu siapa yang sukses dan bisa dia ‘dekatin’. Dia percaya pada ilmu nebeng aura kesuksesan, jurusan yang tak ada di kampus manapun, tapi lulusannya banyak jadi pejabat.
Hingga suatu malam, Joko bermimpi didatangi sesosok kakek tua berjubah toga, berjenggot panjang, membawa selembar ijazah emas bertuliskan: “Kepada Joko, yang mampu menipu kenyataan, diberikan gelar S.H – Sarjana Halu.”
Ia bangun dengan senyum penuh ambisi. Esoknya, ia pesan ijazah palsu via marketplace gelap. Lengkap dengan transkrip nilai dan piagam “Lulusan Terbaik Se-Asia Tenggara.”
Tak butuh waktu lama, Joko mulai mengenakan jas almamater palsu tiap pergi ke pasar. Saat ditanya kerja apa, dia menjawab, “Konsultan strategis pembangunan masyarakat pinggiran.” Yang sebenarnya cuma bantu Pak RT bikin banner lomba Agustusan dan selfie sambil pegang cangkul.
Pemilu Mini di Warung Kopi
Warung Kopi Bu Sarti mendadak jadi pusat demokrasi kampung Gagal Fokus. Bukan karena warga mendadak melek politik, tapi karena wifi gratis dan kopi sachet dua ratus lima puluh perak. Di sinilah ide-ide besar lahir dari mulut-mulut berminyak gorengan.
Dan di antara semua mulut itu, ada satu yang paling lincah: Joko.
Dengan gaya duduk setengah nyender ke galon kosong, Joko mulai orasi:
“Warga Gagal Fokus yang budiman, kampung kita ini butuh perubahan! Butuh sosok berijazah, berwawasan, dan—yang paling penting—berani tampil beda!”
“Beda gimana, Jo?” tanya Pak Raji, pensiunan Hansip yang lebih suka tidur daripada ribut.
“Beda itu… ya kayak aku ini. Yang lulusan Harvard Cabang Lintas Alam. Ilmu luar negeri, tapi kaki tetap nyeker.”
Warga tepuk tangan. Entah karena kagum, entah karena geli. Yang jelas, Joko mencium aroma kemenangan.
Tak lama, poster pun mulai bermunculan:
“Joko: Dari Harvard ke Hati Rakyat!”
“Coblos Joko! Karena Yang Asli Belum Tentu Pasti!”
“Ijazah Itu Formalitas, Yang Penting Modal Bacot!”
Lawan terkuatnya, Pak Min, calon petahana, hanya bisa geleng-geleng. “Saya ini guru ngaji, Jo. Apa pantas dilawan pake kampanye meme TikTok?”
Tapi Joko bukan pemain lama. Ia tahu medan. Ia bawa jurus pamungkas: endorse tukang sate, giveaway mie instan, dan talkshow dadakan bareng dukun setempat yang bilang aura Joko mirip Bung Karno campur Dilan.
Hari pemilihan pun tiba. Warga mencoblos di balai desa, sambil dikasih stiker Joko dan sebungkus kripik rasa janji manis. Hasilnya?
Joko menang telak.
Bukan karena visi, bukan karena prestasi, tapi karena di belakang kertas suara, ada tulisan:
“Coblos aku. Kalau enggak, nanti wifinya tak gembok.”
Dan begitulah, Joko resmi jadi Ketua RT, lengkap dengan selempang bertuliskan “RT Kekinian – Anti Ribet, Pro Receh.”
Program Unggulan Ketua RT Joko
Baru seminggu duduk di kursi Ketua RT, Joko sudah bikin gebrakan. Bukan gebrakan kerja nyata, tapi gebrakan live Instagram dengan filter kuping kelinci sambil berkata,
“Warga Gagal Fokus, siap-siap! Revolusi kampung dimulai! Gue bukan RT biasa, gue RT influencer!”
Warga bingung. Tapi karena Joko sering bagi-bagi pulsa dan undangan arisan pakai e-voucher, mereka manut saja.
Program pertama: Gerakan Warga Estetik.
Joko mengubah seragam ronda jadi crop-top dan celana kargo warna neon. “Biar kalau maling lihat, dia minder duluan,” katanya sambil selfie.
Program kedua: Gali Potensi, Tutup Got.
Setiap got di kampung ditutup dengan catwalk mini. Katanya, ini langkah awal menuju RT Fashion Week. Air got mengalir ke mana? “Biar ngalir kayak rejeki,” jawab Joko.
(Nota: Beberapa warga mulai batuk karena nyamuk demam berdarah naik daun.)
Program ketiga: Sertifikasi KTP Palsu.
Joko bilang, kalau ijazah bisa palsu, kenapa KTP nggak bisa lebih fleksibel? Maka lahirlah KTP-KTP baru dengan profesi nyeleneh:
– Sutarjo: “Ahli Peretasan Hati Mantan”
– Bu Sarmi: “Content Creator Infak Harian”
– Pak Min: “Veteran Peperangan Status Facebook”
Program keempat: RT GO DIGITAL.
Joko bikin aplikasi bernama JokoRT. Isinya cuma dua fitur:
1. Pengaduan warga (yang langsung dihapus)
2. Galeri foto Joko tiap hari, dengan caption motivasi seperti:
“Kalau kamu ragu padaku, itu artinya kamu belum mengenalku di dimensi lain.”
Malam harinya, saat warga berkumpul untuk evaluasi program, Joko naik ke podium darurat dari galon kosong dan dus Indomie.
“Saudara-saudaraku… aku sadar, mungkin programku belum sempurna. Tapi percayalah, ini baru permulaan. Kita sedang membangun kampung berbasis impian, bukan kenyataan!”
Warga tepuk tangan. Kali ini sambil nangis. Entah karena terharu, atau karena got mampet dan rumahnya kebanjiran.
Blunder Agung dan Dosa Kolektif
Setelah sekian lama bikin gaduh dan gaya-gayaan, akhirnya langit murka. Bukan lewat petir atau hujan batu, tapi lewat netizen berkedok mahasiswa skripsi yang menemukan keganjilan pada ijazah Joko.
“Lha ini cap kampusnya kebalik, Pak. Harusnya ‘Universitas Luar Negeri’, ini malah ‘Negeri Luar Universitas’. Ini beneran kampus apa toko fotokopi?”
Begitu tulis si netizen dalam thread panjang yang viral tiga jam setelah diunggah.
Tak butuh waktu lama, jurnalis lokal ikut menggonggong. Joko panik. Ia bikin video klarifikasi sambil nangis-nangis:
“Saya dijebak! Saya cuma korban sistem! Saya pikir Harvard itu singkatan dari Harapan Warga RT!”
Sayangnya, rakyat sudah muak. Proyek got estetika berubah jadi sarang tikus, RT Fashion Week cuma nyisain warga masuk angin, dan aplikasi JokoRT diam-diam narik data warga buat jualan asuransi.
Maka muncul pertanyaan penting: Siapa yang angkat Joko?
Jawabannya: Para pengusungnya.
Pak Dul, si ketua karang taruna, ngaku dulu dibayar indomie dan janji jadi Sekretaris RT.
Bu Sri, mantan calon RT yang kalah, ngaku ikhlas mendukung Joko asal anaknya diangkat jadi “Staf Ahli Bagian Upload Story.”
Dan Dukun Sugih, yang pernah bilang aura Joko mirip Bung Karno-Dilan, akhirnya ngaku cuma nyari klien buat buka praktek lagi setelah dukun laris di TikTok.
Akhirnya, aparat turun tangan. Joko ditangkap. Ijazah palsunya jadi barang bukti. Sialnya, saat dibuka-buka, terkuak lebih parah:
Nama kampusnya “University of Wakanda Raya”—lengkap dengan watermark Thanos lagi tos sama Soekarno.
Kampus fiktif itu pun ditelusuri. Ternyata hanyalah kios fotokopi di pinggiran kota yang nyambi bikin ijazah dan piagam pramuka. Langsung disegel, pemiliknya kabur naik bus malam.
Di hari terakhir sebelum sidang, Joko menulis status Facebook dari dalam tahanan:
“Kalau saja dulu kalian memilih pemimpin jujur, mungkin kampung kita tak sekacau ini. Tapi kalian memilih aku. Maka kita semua berdosa bersama.”
Dan status itu viral. Dapat 24 ribu like dan ribuan komentar.
Ironisnya, sebagian komentar malah minta Joko nyalon lagi… setelah bebas.
Jeruji, Janji, dan Jebakan
Di balik jeruji besi, di ruang lembap beraroma kenistaan, Joko duduk bersila. Di hadapannya cuma selembar kertas, pulpen curian dari petugas, dan sisa harga diri yang perlahan menguap.
Ia mulai menulis, bukan untuk dibaca orang, tapi untuk menertawakan dirinya sendiri:
“Namaku Joko. Mantan Ketua RT, mantan lulusan kampus fiktif, dan mantan harapan palsu warga Gagal Fokus.
Dulu aku pikir dunia bisa ditaklukkan dengan modal bacot, poster warna-warni, dan ijazah hasil laminating kios pojokan.
Tapi ternyata… kebodohan massal itu seperti api unggun—hangat di awal, membakar di akhir.
Aku bukan satu-satunya penipu. Yang ikut mengangkatku, yang percaya mentah-mentah tanpa tanya, yang lebih suka viral daripada fakta—mereka semua bagian dari kebohongan ini.
Demokrasi kita bukan rusak karena pemimpin bodoh. Tapi karena rakyatnya lebih suka pemimpin yang lucu, yang bisa joget di TikTok sambil janji surga.
Kini aku di sini. Di ruang pengakuan tanpa pendeta. Di penjara yang lebih jujur dari panggung politik.
Dan kalian di luar sana… masih sibuk pilih pemimpin karena mukanya mirip artis.”
Ia berhenti menulis. Matanya menatap jeruji. Dan untuk pertama kalinya, Joko sadar:
Yang palsu bukan cuma ijazahnya, tapi seluruh cerita sukses yang ia ciptakan.
Dari kejauhan, terdengar tawa para napi. Satu dari mereka nyeletuk:
“Eh, Jo! Katanya dulu lulusan luar negeri? Sekarang lulusan Lapas mana, Jo?”
Joko tersenyum.
“Lapas Negeri Gagal Fokus, jurusan Penyesalan Sambil Ngetik Status.”
—
TAMAT
(Tapi kisah seperti ini selalu bisa di-reboot… tiap lima tahun sekali.)
…Ngupas Bawang.”
Dan semua tertawa. Bukan tawa kemenangan, tapi tawa pahit yang hanya bisa lahir dari luka kolektif yang disadari telat.
Cerita Joko bukan cerita satu orang. Ia adalah refleksi zaman, ketika realita kalah dari sensasi, dan pemimpin lahir bukan dari integritas, tapi dari algoritma. [mc]
Surabaya, 2 Mei 2025.
*Pak Sayuh, Sopir Trailer.
