Nusantarakini.com, Jakarta –
Bismillah,
Saya mengawali tulisan ini dengan ungkapan rasa prihatin dan kesedihan yang mendalam, atas diabaikannya seluruh ikhtiar dan perjuangan untuk melawan kecurangan, atas diabaikannya seluruh fakta persidangan, atas diabaikannya segala harapan untuk masa depan negeri agar mewujud keadilan dan kesejahteraan melalui upaya perubahan yang diikhtiarkan. Saya juga merasa turut berbelasungkawa, atas matinya nurani dan kenegarawanan, atas matinya keadilan dan makin jumawa serta kokohnya tirani dan kezaliman.
Memang benar, sejak awal saya sudah berulangkali memprediksi bahwa putusanĀ Mahkamah Konstitusi (MK) hanya akan melegitimasi kecurangan. Namun, saya berharap salah, saya lebih suka memiliki prediksi yang salah namun melegakan, ketimbang tepatnya sebuah prediksi tapi berakhir dengan ironi dan kepiluan.
Ditolaknya permohonan di MK, bukanlah sesuatu yang aneh apalagi mengejutkan. Karena sejak awal, kekuasan sudah berpihak pada kecurangan.
Putusan MK sejatinya bukanlah tanda kematian demokrasi. Malahah, putusan MK mengonfirmasi hakekat busuk demokrasi.
Tidak ada kedaulatan hukum, tidak ada kedaulatan rakyat, yang ada kedaulatan kapital. Kedaulatan kekuasan yang bisa menuliskan putusan apapun, di atas berbagai kontroversi ketidakadilan. Karena faktanya, dalam sistem demokrasi kekuasan adalah panglima, bukan hukum. Jargon hukum adalah panglima adalah sihir yang menipu, sama seperti sihir kedaulatan rakyat.
Secara faktual, yang menjadi panglima adalah politik, yang menjadi panglima adalah kekuasan, bukan hukum. Hukum hanyalah pelayan kekuasaan.
Sejatinya, yang berdaulat bukanlah rakyat, melainkan kapital. Rakyat hanya melegitimasi kedaulatan kapital, seolah representasi kedaulatan rakyat.
Jadi, demokrasi secara ide dan fakta berbeda. Secara ide, kedaulatan di tangan rakyat, faktanya kedaulatan ditangan kapital. Secara ide, hukum menjadi panglima, faktanya yang menjadi panglima adalah kekuasaan.
Hal ini sangat berbeda dengan Islam. Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Syara’, bukan di tangan Khalifah. Bahkan, Khalifah harus tunduk pada hukum Syara’. Karena itu, Khalifah tidak berwenang untuk menghalalkan apa yang Allah SWT haramkan, atau mengharamkan apa yang Allah SWT halalkan.
Berbeda dengan demokrasi, idenya kedaulatan rakyat, tapi kenyataannya penguasa yang menghalalkan dan mengharamkan, penguasa semaunya membuat perintah dan larangan. Kedaulatan rakyat hanya jargon yang menjadi mantra sihir untuk menipu rakyat.
Dalam Islam, hukum Syara’ benar-benar menjadi panglima. Karena itula, Khalifah Umar RA membatalkan UU pembatasan mahar hanya karena dikritik oleh seorang wanita. Khalifah Ali RA kalah bersengketa baju zirah di pengadilan, karena kesaksian anaknya tertolak oleh pengadilan.
Berbeda dengan Demokrasi. Seluruh rakyat mengkritik UU Cipta Kerja, menentang Proyek IKN, tapi penguasa tutup mata. Bukti kecurangan di MK ceta wela wela (kontras), tapi hakim MK mengabaikan hukum dan melegitimasi kecurangan.
Hukum benar-benar menjadi alat politik. Hukum menjadi sarana untuk melindungi kekuasaan. Hukum menjadi budak politik, sehingga setiap rakyat yang mencari keadilan melalui hukum di pengadilan, yang didapat bukan keadilan, malah kezaliman yang makin parah.
Lapor kecurian ayam, hilang kambing. Lapor kemalingan kambing, hilang sapi. Lapor kecurangan Pemilu, malah kecurangan itu dilegitimasi oleh pengadilan.
Dalam proses Pemilu, suara rakyat tidak menentukan kemenangan. Suara kapital lah, yang menentukan Kemenangan. Karena itu, dalam doktrin politik demokrasi, curang halal asal menang.
Pada faktanya, semua politisi dalam demokrasi curang. Tidak ada yang jujur dalam proses, apalagi saat mengelola kekuasaan. Mereka, hanya menganggap suara rakyat sebagai tumbal kekuasan. Suara rakyat hanya diambil saat di TPS. Suara rakyat hanya digaungkan untuk kepentingan kampanye dan demo besar. Suara rakyat hanya digunakan untuk perang medsos.
Apakah umat Islam, akan terus menjadi budak politik? Membebek pada politisi demokrasi? Taklid buta, pada narasi perubahan yang mereka gaungkan?
Episode kekalahan di MK ini bukan akhir. Masih akan banyak pengkhianatan demokrasi lainnya yang menyusul. Diawali dengan merapatnya sejumlah partai yang berteriak curang, menawarkan narasi perubahan, namun pada akhirnya berkoalisi dengan kezaliman.
Puncaknya, rakyat akan kembali dikhianati oleh pemerintahan demokrasi. BBM naik, listrik naik, pajak naik, pengangguran naik, kemiskinan naik, pesta tambang oligarki dan bagian kerusakan lingkungan untuk rakyat, serta sederet pengkhianatan terhadap rakyat lainnya, yang prinsipnya selalu terjadi berulang, dari tahun ke tahun, dari satu musim kampanye ke musim kampanye lainnya.
Sampai kapan ini akan berakhir?
Sampai umat ini mencampakan demokrasi, dan membangun visi perubahan sendiri, yakni untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan menerapkan syariah secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah. Visi perubahan yang ditempuh hanya dengan jalan dakwah, bukan dengan Pemilu, bukan dengan people power, bukan dengan kudeta atau pemberontakan.
Dakwah yang memiliki sifat pemikiran dan politik. Bukan sekedar dakwah Islahiyyah maupun maslahiyah, melainkan siyasah. Dakwah yang bertujuan menegakkan kekuasan Islam dan menerapkan hukum Islam.
Dakwah sebagaimana yang ditempuh oleh Rasulullah Saw, hingga akhirnya beliau menegakkan Daulah Islam di Madinah. Dakwah, yang mengkondisikan dukungan umat dan penjagaan militer, agar bisa dilakukan bai’at kepada Khalifah, sebagai tanda berdirinya Daulah Khilafah.
Dakwah yang tak terikat dengan musim kampanye. Dakwah yang tidak bisa disetir oleh oligarki, parpol dan kapital. Dakwah, yang semata menyadarkan pertolongan Allah SWT untuk meraih Kemenangan.
Inilah alternatif perjuangan, bahkan kewajiban berjuang yang syar’i, yang mengikuti Sunnah Nabi dan menyelelisihi Yahudi. Dakwah, yang akan menjadikan Indonesia Daulah Khilafah, dan menjadikan negeri ini mercusuar dunia dengan mengemban risalah Islam ke seluruh penjuru alam. [mc]
*Ahmad Khozinudin, Sastrawan Politik.