Internasional

Peristiwa Tiananmen 4 Juni 1989 di Tiongkok: Gerakan Subversif oleh Amerika Serikat?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Tahun 1978 Deng Xiao Ping terpilih sebagai perdana menteri dan berhasil meyakinkan presiden Tiongkok pada saat itu, Huo Guo Fung, untuk bersama-sama menjadi pelopor politik pintu terbuka. Awal dalam era keterbukaan yang berimplikasi terhadap masuknya pemikiran-pemikiran dan budaya barat termasuk demokrasi ciptaan Amerika. Sehingga memicu terjadi serangkaian demonstrasi yang panjang oleh mahasiswa dan mengguncangkan dunia.

Ini tentunya merupakan agenda dari Amerika Serikat untuk menjadikan Tiongkok sebagai negara demokrasi ciptaannya. Diawali pada bulan Desember 1986 ketika secara serentak terjadi demonstrasi di 15 kota besar di Tiongkok.

Pencetus demonstrasi ini adalah mahasiswa Chinese University of Science and Technology di kota He Fei Provinsi An Hui. Termasuk mahasiswa dari Shanghai, Beijing dan ratusan ribu pekerja ikut dalam rangkaian demonstrasi yang berlangsung selama 2,5 tahun ini.

Hingga pada puncaknya mereka beramai-ramai menuju ke lapangan Tiananmen, Beijing, ibu kota Tiongkok.

Para demonstran itu sangat teroganisir, masif dan terencana dengan dukungan logistik yang sangat memadai. Mereka menuntut demokratisasi, pemilu yang demokratis, kebebasan pers dan berorganisasi. Dan lebih jauh lagi mereka menuntut dibentuknya aliansi demokrasi seluruh mahasiswa perguruan tinggi. Sambil membakar bundalan surat kabar yang dianggap sebagai corong pemerintah Beijing Daily.

Sikap pemerintah di tubuh petinggi Partai Komunis China (PKC) saat itu terpecah menjadi 2 kelompok dalam upaya mengatasi kericuhan Demontrasi tersebut. Yaitu Sekjen PKC waktu itu, Hu Yao Bang, menghendaki pendekatan yang lunak, bernegosiasi dengan mahasiswa yang dianggap bisa diarahkan menuju satu tujuan yang sama.

Sedangkan di tubuh konservatif berpendapat bahwa dalang di balik semua ini yang telah meracuni pemikiran para mahasiswa dan pemuda adalah liberalisme Barat/dukungan barat. Oleh karena itu harus ditindak keras.

Beda pendapat dalam penanganan para demonstran ini menyebabkan Hu dipecat dan diganti dengan Zhao Zi Yang. Ternyata Zhao pun memiliki sikap yang sama dengan Hu, bahkan Zhao Zi Yang menemui para demonstran di Tiananmen.

Tapi hal ini justru memicu demonstrasi yang lebih besar, sehingga kelompok konservatif yang diwakili Li Peng yang menginginkan demonstran itu ditindak dengan kekerasan. Sehingga pada tanggal 4 Juni 1989 pasukan tentara PLA 27 dan 28 dari Shan Dong dikirim ke Beijing beserta kendaraan lapis bajanya untuk memadamkan demonstrasi tersebut.

Demontrasi yang teroganisir, masif dan terencana dengan baik selama bertahun-tahun dapat diselesaikan hanya dalam sehari saja. Namun peristiwa 4 Juni 1989 menyebabkan generasi kita merasa sedih dan marah terhadap PKC dan merupakan pengalaman dan memori kolektif generasi kita.

Membuat semua orang yang belum pernah berhubungan dengan PKC atau bahkan belum pernah mengunjungi Tiongkok pada waktu itu. Mendapatkan pengalaman nyata karena peristiwa sejarah semacam itu sehingga dengan demikian menjadi anti-Komunis.

Kesan terhadap PKC bagi generasi kita adalah jahat, kejam bagaikan iblis, diktator, tertutup sebagai negara tirai bambu. Sehingga membuat generasi kita menjadi anti dan menolak terhadap Komunis, karena dianggap bencana yang mengancam kebebasan beradab bagi umat manusia di era itu.

Namun kini sepenuhnya kita menyadari dan mengerti bahwa 4 Juni 1989 adalah tindakan subversif oleh Amerika Serikat, setelah upayanya gagal lalu menciptakan krisis separatis di Tiongkok.

Amerika Serikat terus mencari jalan untuk memecah Tiongkok, menyakiti dan menzolimi mulai dari Xin Jiang, Tibet, Hongkong maupun Taiwan dengan mengarang serangkaian cerita hoax.

Tidak terbayangkan apabila demonstrasi 4 Juni 1989 berhasil merubah sistem pemerintahan Tiongkok dengan menjadi negara Demokrasi Liberal dengan embel-embel hak asasi manusia (HAM), kebebasan berpendapat, berekspresi dan berorganisasi. Dapat dipastikan Tiongkok yang kacau dan sudah tidak ada lagi di peta dunia. Dan itulah keinginan dari Amerika Serikat.

Karena dengan 56 suku/56 partai politik dan beragam agama dengan luas wilayah 9.6 juta km2 yang kurang lebih seluas benua Eropa. Mengelola 1,4 milliar manusia dan memiliki perbatasan dengan 21 negara tetangga. Betapa tidak terkendalinya negara Tiongkok dan kemungkinan besar akan pecah seperti Eropa.

Oleh karena itu saat ini tidak peduli seberapa besar generasi kita tidak menyukai Partai Komunis Tiongkok (PKT). Akan tetapi PKT telah menggunakan kemampuan dan prestasinya untuk menampar generasi kita yang anti komunis. PKT berhasil tetap mempersatukan Tiongkok Raya dan membawa Tiongkok menjadi negara adi daya.

Mewujudkan pemerintah yang demokratis dalam arti yang sesungguhnya dan menghargai hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu hadirnya pemerintah yang sanggup memberikan kesejahteraan, kemakmuran untuk rakyatnya dan menjadi negara teraman di dunia. Sehingga tingkat patriolisme rakyatnya mencapai titik tertinggi yang belum terjadi sebelumnya.

Bahkan kelompok Seniman Hongkong yang menentang PKT pada insiden 4 Juni 1989 kembali mendukung PKT untuk memimpin dan membangun Tiongkok. Demikian juga para Demonstran yang sempat melarikan diri ke Amerika Serikat, kini menyadari kesalahan mereka dan kembali menjadi pendukung PKT.

Maka dapat dikatakan tanpa PKT tidak ada Tiongkok Baru. Tanpa Tiongkok Baru tidak ada Tiongkok yang kuat dan damai.

Sehingga menjadi pertanyaan untuk generasi kita apa yang kita tolak, apa yang kita anti-kan dan apa yang kita anggap kejam dan jahat. Justru insiden 4 Juni 1989 menjadi titik balik untuk perjuangan melawan kemiskinan dan keterbelakangan di Tiongkok.

Era Kegemilangan Amerika Serikat

Generasi kita juga hidup di era paling gemilangnya Amerika Serikat (AS) berada pada puncak dunia dan kita menyaksikan AS menjadi polisi dunia sebagai negara super power. Dan kita juga menyaksikan kebrutalan AS dengan sistem demokrasi ciptaannya, berkonspirasi menghancurkan negara lain dan merampok pemimpin negara yang telah dijatuhkan.

Dan atas nama demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia, jutaan manusia tidak berdosa dibunuhnya, jutaan anak-anak menjadi yatim piatu. Menciptakan teroris, memelihara teroris, memerangi teroris, mengancam perdamaian dunia menyebabkan krisis peradaban manusia di dunia. Memanipulasi seluruh dunia dan selalu bersembunyi di bawah nilai-nilai universal yang mereka sebut Demokrasi dan HAM.

Namun waktu cepat berlalu, dunia pun cepat berubah. Setelah insiden 4 Juni 1989, kini Tiongkok telah berhasil meraih kembali status Kaisar-nya yang sempat hilang ratusan tahun.

Saat ini Tiongkok telah berdiri tegak menantang hegemoni Barat/AS, merubah nasib negara timur yang telah lama diperbudak bangsa barat. Membangun bersama dengan komunitasnya dunia yang damai, kemakmuran bersama dengan mengembalikan hakekat paradaban manusia di dunia.

Dan hanya Tiongkok yang bisa memberitahukan kepada bangsa barat, bahwa bangsa barat tidak bisa lagi melakukan apapun yang diinginkan dengan memperbudak bangsa timur. Hanya Tiongkok yang bisa melakukannya, bahkan Tuhan pun tidak ingin menghentikannya.

Tiongkok hanyalah kembalinya Raja yang tidak diperlukan persetujuan siapapun. Inilah yang disebut SIKLUS SEJARAH. Dan inilah situasi internasional yang generasi kita saksikan saat ini setelah 3 dekade pasca insiden 4 Juni 1989. [mc]

Jakarta, 3 Juni 2023.

*Chen Yi Jing, Pemerhati Sosial Politik dan Internasional.

Terpopuler

To Top