Jakarta, NusantaraKini.com ~
Di bulan ramadhan, ada 2 hal yang terasa. Kedamaian dan keberlimpahan makanan. Karena damai, maka dapat dikatakan kualitas keamanan meningkat diraskan. Karena makanan berlimpah untuk berbuka puasa, maka dapat diklaim juga bahwa kuantitas ancaman kelaparan menyurut.
Di masjid-masjid, makanan untuk berbuka puasa hampir tidak ada yang kosong. Apalagi mesjid besar dan mesjid di perumahan perkotaan. Pernahkan Anda bertanya kenapa dan bagaimana hal itu terjadi? Apakah hal itu settingan pemerintah dan merupakan kebijakan nasional? Tidak. Itu hanya faktor suasana akibat kepatuhan pada kewajiban religius dan turunan amal saleh dari puasa.
Terkait fenomena melimpahnya akses makanan di masjid-masjid di bulan ramadhan, dapat ditafsirkan sebagai berikut. Ini berarti, selama ini stok makanan sebenarnya melimpah, tapi akses si miskin dan si musafir tidak seperti di bulan ramadhan.
Satu, memang diatur sedemikian rupa agar jamaah masjid menyalurkan sedekahnya ke masjid secara bergiiran. Akibatnya masjid mempunyai persediaan makanan untuk buka puasa, malahan sahur, terjamin kesediaannya melalui praktik sukarela, partisipatif dan bottom up. Di perumahan tempat kami tinggal, begitu adanya.
Dua, suasana mendorong banyak orang secara sukarela menyalurkan sedekahnya ke mesjid dengan pengertian, pihak mesjidlah yang diletakkan menjadi amil distribusi sumbangan makanan itu. Lagi pula, mesjid menjadi meeting point bagi orang-orang yang berpuasa untuk berbuka. Sementara itu, si penyumbang merasa bahagia bila sumbangannya dinikmati oleh orang-orang yang berpuasa. Demikian juga, orang yang berpuasa, terutama yang sedang dalam perjalanan, sangat senang jika berbuka di mesjid karena sekalian dapat shalat berjamaah.
Iktibar apa yang Anda dapat dari itu? Jadi sebenarnya jika religiusitas dalam pengertian seperti suasana ramadhan berlaku, maka kedamaian dan akses keberlimpahan pangan akan berlangsung secara otomatis. Orang-orang miskin dapat mencicipi makanan yang enak-enak dan tidak terancam kelaparan, karena ramainya orang menyumbang untuk memperoleh pahala dari Allah. Saat yang sama, orang-orang berpunya berlomba menyumbang dan bersedekah. Saya melihat hal ini di beberapa tempat dan bahkan di jalanan. Implikasinya hubungan dua golongan (kaya – miskin) tidak tegang.
Di sini saya menyesalkan mengapa di Indonesia populasi orang-orang super kayanya malah bukan yang berpuasa dan berzakat alias bukan muslim? Coba kalau mereka muslim, bukankah lebih banyak akses terhadap makanan dan uang dapat menyebar akibat tradisi dan implikasi puasa ramadhan?
Jadi dari peristiwa ramadhan kita dapat menangkap bahwa gap kesejahteraan dan keterbatasan akses terhadap makanan pada masyarakat miskin dapat diatasi manakala beredarnya akses-akses kesejahteraan hidup itu tidak terkonsentrasi dan ditutup. Karena sebenarnya, kemiskinan dan ketimpangan itu persoalannya terletak pada tertutupnya akses kepada kesejateraan akibat konsentrasi kekayaan. Bukan semata-mata karena malas, bodoh dan rendah pendidikan.
Walhasil dari peristiwa ramadhan kita belajar, suasana akan menciptakan kesejahteraan bersama. Bila suasana ketaatan pada agama diterapkan secara serentak, ternyata dapat dengan meyakinkan menciptakan kesejahteraan. Ramadhan membuat uang beredar menembus si miskin. Mengisi kantong para pelayan agama di masjid-masjid. Dan mengenyangkan perut para pekerja OJOL. Sementara, membuat penyembahan terhadap materi dan uang oleh para pemburu kekayaan, sedikit lebih kendur, perlahan dan tidak stress.
Walhasil iktibar implikasi ramadhan itu mengonfimasi kebebaran firman Allah yang sering dikutip berikut ini:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (Q.S. Al-A’rof: 96)
Ayat ini jika dibaca dengan mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya), yaitu “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tidak beriman dan tidak bertakwa, pastilah Kami tidak akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.”
~ Syahrul Efendi Dasopang, Sekjen Ikatan Sarjana al-Qur’an Indonesia (ISQI)