Nusantarakini.com, Depok –
Penangkapan dan penahanan Dr Syahganda Nainggolan, Mohammad Jumhur Hidayat, Dr Anton Permana, dan kawan-kawan, serta upaya penangkapan dan pemeriksaan atas Dr Ahmad Yani, Deklarator KAMI, yang juga adalah Inisiator Masyumi Reborn dan Mantan Anggota DPR Komisi III itu,
dapat dianggap sebagai tekanan Rezim Jokowi untuk membendung dan mematikan Demokrasi.
Rezim juga Jokowi terlihat semakin kalang kabut dan kalap menghadapi kritikan dan perlawanan Rakyat atas sejumlah langkah yang di ambil oleh Jokowi sebagai Petugas Partai PDIP ini.
Kritikan dan perlawanan Rakyat atas UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU HIP terus saja bergulir. Dan Jokowi semakin tidak bergeming atas semua itu. Artinya suara Rakyat sudah tidak di dengar lagi. Prilaku dan sikap Rezim seperti ini adalah tindakan Otoriter dan Diktator. Jokowi harus mendengar Rakyat karena dia dipilih oleh Rakyat.
Belakangan Jokowi menggulirkan RUU Omnibus Law. Lalu di sahkan menjadi UU Cilaka. Protes dan perlawanan Rakyat terjadi di sematero Negeri. Jokowi tetap tidak berheming. Maka Rakyat yang terdiri dari Kaum Buruh dan Mahasiswa dan dari berbagai elemen akan terus melakukan perlawan dengan aksi damai yang terus menerus.
Saat aksi yang merebak di berbagai Kota di Negeri ini. Aparat melakukan penangkapan terhadap sejumlah Aktifis KAMI. Tuduhan nya pelanggaran UU ITE. Padahal UU ITE yang lahir tabun 2008 di Era Pemerintah SBY itu terkait transaksi Elektronik. UU ITE itu urus soal Bisnis dan Transaksi Elektronik. Tapi kenapa dipakai untuk membungkam pikiran, perasaan dan suara-suara aktifis KAMI?
Penangkapan Aktifis KAMI dengan memakai UU ITE itu jelas-jelas perlihatkan penyalahgunaan Undang-undang. Tidak bisa membendung suara-suara kritikan dan kritis dengan UU Soal Bisnis dan Dagang. Terlihat Rezim Jokowi mau bunuh dan matikan Demokrasi. Cuman tidak ada instrumen hukum nya untuk lakukan pembungkaman. Makanya UU ITE yang jadi alat Gelotine Demokrasi nya.
KAMI lahir sebagai alat check and balancing atas ketimpangan di Negeri ini. KAMI memaang patut lahir karena suara-suara Rakyat yang seharusnya bergema di Parlemen Senayan. Dalam sejumlah isu-isu besar kepentingan Rakyat. Malah DPR bungkam dan bersekutu dengan Istana. DPR yang makan gaji dari Rakyat mesti nya bela Rakyat. Bukan jadi pegawai Istana. Bukan jadi Office Boy Istana. Tragis Parlemen di Negeri ini.
Sikap Parlemen yang bungkam atas suara-suara Rakyat itu juga simbol matinya demokrasi.
Suara keras saat Aksi menentang UU Omnibus law dengan teriakan di jalanan “DPR Goblok” adalah cermin matinya Nurani dan Demokrasi di DPR.
Di saat Rakyat menaruh harapan terhadap KAMI yang dianggap independen untuk menjadi saluran suara-suara Rakyat. Para Aktifis KAMI dipersekusi dengan penangkapan dan penahanan. Penangkapan ini sebuah pelanggaran HAM dan kezaliman yang luar biasa.
Dunia Internasioanal perlu dengarkan KAMI dan Suara-suara Rakyat Indonesia. Demokrasi telah mati di Negeri ini. Tolong KAMI dan selamatkan Kami. Jika tidak, Kediktatoran dan Otoriter semakin marajalela di era Rezim Jokowi ini. Rakyat dibuat takut bersuara.
Kedatangan Menlu AS, Mike Pompeo dengan sejumlah agendanya ke Jakarta beberapa hari lalu, perlu mendengar rintihan ini. Jika Pemerintah AS lakukan perjanjian apa pun dengan rezim Jokowi, tolong pertimbangkan Nasib Demokrasi di Negeri ini. Pemerintahan Presiden Trump agar tidak mendukung kediktatoran dan Otoriter oleh Jokowi di Negeri ini. Tolong bebasakan Aktifis KAMI yang di tangkap dan akan di tangkap.
Negeri kami, semakin menuju ke suraman demokrasi yang nyata. Kediktatoran dan otoritarianisme semakin marajalela di bawah Rezim Jokowi.
Jika ingin Demokrasi hidup kembali. Segera bebaskan segera Dr Syahganda dkk. Dan stop upaya penangkapan atas Dr Ahmad Yani dan lainnya. Merdeka!!!
Sawangan, 1 Nopember 2020.
*Muslim Arbi, Deklarator KAMI dan Direktur Gerakan Perubahan.
