Nusantarakini.com, Jakarta –
Suatu ketika, di kantin kampus kita dikejutkan kedatangan “Mahasiswa Legend,” namanya dikenal luas dan sering jadi rujukan ketika diskusi atau namanya disebut-sebut saat berkelakar konyol mojok di kantin. Mahasiswa jomblo seperti saya memang selalu menghabiskan waktu di kantin sama teman-teman mapala, beliau masuk legenda karena kuliah yang tak kunjung lulus. Masa studinya dihabiskan tiga periode presiden dan empat periode rektor, ya sebelas tahun lamanya kawan, dia begitu menyukai statusnya sebagai mahasiswa.
Begitu legendanya, mahasiswa di generasiku, adik tingkat dan di para seniorku pasti kenal nama beliau, walau tak pernah melihatnya. Termasuk aku, hanya kenal nama tapi belum pernah bertemu.
Kedatangannya kali ini sebuah anugrah, selain ingin mengenalnya, bulan ini kami juga lagi ada kegiatan rekonsiliasi di kali urang. Kami bergegas ke kantin, tentu tak lupa proposal kegiatan sudah siap ditanganku.
Sesampainya di kantin, saya masih menebak-nebak orangnya, mencari apa yang menarik dari salah satu tiga tamu ini. Ada seorang yang sangat vokal, baju dilipat setengah lengan, bicaranya semangat, tangannya mengepal sambil menegaskan intonasinya, bicaranya runtut, tutur katanya seperti orator ulung, nadanya seperti marah tapi gampang tertawa ngece. Ah, tak salah lagi, pasti ini orangnya batinku.
Langsung saya memperkenalkan diri:
“Saya Lay Bang, Ketua BEM sekarang”.
Dia terima salaman menjabat tanganku erat sekali, terkesan tegas sambil digoncang²:
“Salman Dianda Anwar” jawabnya singkat.
Beliau menatapku dalam, kontan semua langsung diam, dan fokus ke saya. Inilah ciri khasnya beliau, selalu menatap dan penuh seksama memperhatikan lawan bicaranya. Selanjutnya saya mengenal beliau ini adalah orang yang mampu mengingat semua momen, dan tak mudah lupa dengan nama yang pernah dikenalnya.
Dia menatapku dalam begitu, kesempatanku mengambil panggung batinku. Agak grogi ditatap begitu, saya mencoba menguasai situasi menceritakan keadaan BEM dan kegiatannya, dan tak lupa kertas andalanku, ya Proposal Kegiatan ku serahkan padanya. Berharap ada dana yang akan keluar dari kantongnya.
Beliau membaca sejenak, bolak balik proposal, tampaknya dia tidak tertarik pada kata pengantar (ah ini pasti orang praktisi batinku lagi). To do poin, langsung fokus pada acara dan dana. Beliau langsung mengeluarkan isi dompetnya. Sekilas saya mengintip, isi dompetnya ternyata pas-pasan banyak kertas gak berguna daripada gambar pahlawan. Tapi dengan begitu, dia masih menarik beberapa lembar, menyerahkan proposal itu lagi padaku.
“Saya buatkan kwitansi bang?”.
“Tidak usah.. dana itu buat kalian aja, tambah-tambah buat kalian cari dana” katanya singkat.
Beliau langsung menarik nafas panjang. Seperti mau memulai pidato. Saya terdiam pas di hadapannya, menunggu dia saja yang bicara. Benar saja, dia menasehatiku serius:
“Adinda, coba angkat tanganmu. Buka telapaknya, telentangkan mengadah ke atas”.
Aku ikuti saja perintahnya
“Nah.. Ini adalah posisi tangan meminta dek” katanya tegas, (dan aku terkejut, dia sedang mendikteku). Beliau melanjutkan lagi:
“Lalu sekarang, balik tanganmu telungkupkan, telapaknya di bawah.. Nah ini, posisi memberi dek”.
Nah sekarang, sejajarkan tanganmu seperti orang salaman…, Nah, ini tangan posisi kerjasama dek.”
Menarik nafas sejenak, Beliau melanjutkan nasehatnya lagi: “Orang yang paling lemah adalah telapak tangannya mengadah ke atas, orang kuat telapak tangannya mengadah ke bawah, jika kau tidak pada keduanya, maka posisikan tanganmu utk kerjasama,” sambil menggenggam tanganku erat seperti pertama kenalan tadi…
“Adinda, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi yang lain, biasakan posisi tanganmu telungkup atau setidaknya sejajar, hindari untuk mengadah, biarlah posisi itu hanya untuk Allah, padanya lah kau meminta dan berharap”.
Dia terus melanjutkan nasehatnya, tapi tak lagi mampu ku dengar.. aku lebih khusuk menertawakan diri, malu di depan senior legend ini. Nasehatnya ini membuatku terpukul hebat, sejak itu aku tak lagi buat proposal meminta uang, aku selalu menawarkan kerja sama, atau setidaknya kami jualan kaos souvenir atau sampai cuci mobil dosen untuk mendapatkan uang kegiatan.
Kata-kata itu masih berbekas hebat, seperti pahatan batu sampai sekarang. Setiap ada pengemis, oknun pejabat, oknum aparat yang mengadahkan tangan aku selalu ingat nasehat itu. Tak sedikit juga mereka saya nasehati demikian.
Terimakasih Kanda, atas nasehat itu, maka aku kini berusaha menciptakan lapangan kerja, agar tanganku tak lagi mengadah ke atas. Seperti katamu.
Dan ini juga alasanku menolak Omnibus law. Karena era ini menciptakan budak yang legal, bukan mendorong produktivitas dan kreatifitas. Kata memudahkan pemodal untuk memperkerjakan kita, bukan melindungi bibit yang tumbuh di bawah pohon besar, tapi memupuk pohon besar agar yang tumbuh hanya pohon beringin pak Airlangga, slogan kerja kerja di era ini terlanjur untuk menciptakan kerja, bukan kerja untuk menciptakan sesuatu. Lalu jika kita menyembah para pemodal, apa cerita ekonomi Pancasila akan bisa tumbuh di bawah pohon rindang?