Nusantarakini.com, Jakarta –
Korupsi telah mendarah daging dalam sejarah politik Indonesia. Di masa Orde Lama dan Orde Baru, praktik korupsi merajalela dengan pola tersentralisasi, melibatkan sekelompok kecil kroni dan jaringan pusat kekuasaan.
Menyusul jatuhnya Presiden Soeharto pada 1998, Indonesia gencar melakukan reformasi anti-korupsi, antara lain melalui reformasi politik dan sosial, kebebasan pers, transparansi fiskal, reformasi hukum, dan reformasi birokrasi.
Sejak 2001, sebagai bagian dari proses demokratisasi, kita menyaksikan berbagai upaya reformasi lebih lanjut. Ini termasuk pemilihan presiden secara langsung, pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta peluncuran “proyek” desentralisasi dengan pemilihan kepala daerah secara langsung.
KPK yang dibentuk pada 2002, diharapkan menjadi lembaga independen dengan kewenangan luar biasa untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, khususnya kasus korupsi besar (grand corruption). Lembaga anti rasuah ini juga diberikan tanggungjawab untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi dan pemantauan terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selanjutnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), presiden pertama yang terpilih secara langsung pada tahun 2004, meneruskan upaya pemberantasan korupsi dengan memperkuat kerangka hukum dan kelembagaan.
SBY memberikan penekanan khusus pada pentingnya independensi KPK dan karenanya membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor), sebuah pengadilan khusus di lingkungan peradilan umum yang didedikasikan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perakara tindak pidana korupsi (UU No. 46/2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).
Namun berbagai upaya reformasi tersebut terbukti tidak efektif untuk menekan praktek korupsi. Seiring proses demokratisasi dan desentralisasi, korupsi tetap menjadi masalah utama Indonesia di semua cabang pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Kendati skor Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Transparency International meningkat dua kali lipat, dari 20 poin pada 1998 menjadi 40 poin pada 2019, korupsi tetap marak, dan peringkat Indonesia masih jauh di bawah beberapa negara tetangga seperti Singapura, Brunei Darussalam dan Malaysia.
Indonesia tidak pernah sepi dari skandal korupsi besar yang melibatkan tokoh-tokoh penting di sekitar lingkaran kekuasaan. Sebut saja, skandal korupsi Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada masa pemerintahan Megawati, dengan kerugian negara mencapai Rp 4,6 triliun, dan skandal korupsi Bank Century di era pemerintahan SBY, membuat negara kehilangan Rp. 7,5 triliun. Skandal proyek KTP elektronik yang melibatkan pejabat tinggi pemerintahan, politisi di parlemen dan partai politik di masa SBY, diperkirakan menggelapkan Rp. 2,3 triliun dari proyek tersebut.
Presiden Jokowi, yang terpilih pada tahun 2014 dan saat ini memimpin Indonesia untuk periode kedua, pada awalnya cukup berhasil merekayasa citra sebagai figur yang bersih, bebas dari korupsi. Sebagian kalangan, termasuk para aktivis anti-korupsi dan pro-demokrasi, yang mudah terkecoh dengan proyek pencitraan, menaruh harapan besar di pundak Jokowi untuk memimpin perang melawan korupsi.
Tetapi, dalam hitungan bulan setelah terpilih pada 2014, citra dan harapan itu terbukti berbanding terbalik dengan kenyataan. Praktek korupsi tidak saja berlanjut, tetapi makin vulgar, luas dan ganas.
Sejumlah skandal korupsi tingkat tinggi (high-profile corruption) menyeruak ke ruang publik. Satu diantaranya, mega skandal PT Asuransi Jiwasraya, yang merugikan negara sebesar Rp 13,7 triliun, skandal korupsi terbesar dalam sejarah politik Indonesia, melibatkan elit politik dan taipan Benny Tjokro.
Dengan skala kerugian negara yang sangat besar, periode terjadinya skandal pada 2016-2018, dan aktor yang terlibat, yaitu mantan Direktur Keuangan PT. Jiwasraya, Hary Prasetyo yang juga Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden (KSP) 2018-2019, sulit menyangkal keterkaitan mega korupsi tersebut dengan pembiayaan petahana pada Pilpres 2019.
Lebih jauh, Presiden Jokowi berusaha menenggelamkan skandal Jiwasraya dengan berbagai cara. Termasuk memerintahkan seluruh anggota partai koalisi pemerintah untuk menolak pembentukan panitia khusus (pansus) di DPR yang akan melakukan pengusutan secara menyeluruh.
Kilas balik beberapa tahun sebelumnya. Dari 31 kasus korupsi kader partai politik antara 2014 dan 2017, 22 diantaranya berasal dari koalisi parpol pendukung Presiden Jokowi. Lebih lanjut, pada 2018, KPK menangkap 21 kepala daerah dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Hampir semuanya berasal dari parpol pendukung pemerintah: 8 kader PDIP, 5 Golkar, 2 Nasdem, 1 Perindo, dan 1 kader Partai Nasional Aceh (PNA). Sisanya dari parpol non koalisi, yaitu 2 kader PAN dan 1 Partai Berkarya (Syebubakar 2018).
Deretan kasus di atas bukan daftar lengkap skandal korupsi politik di era Jokowi. Masih banyak lagi kasus korupsi dan potensi korupsi yang menyelinap melalui berbagai proyek infrastruktur dan regulasi. Diantaranya, skandal suap anggota KPU oleh Harun Masiku yang keberadaannya hingga kini masih raib, mega proyek pemindahan ibukota negara, RUU Omnibus Law yang menindas hak-hak buruh, UU Minerba yang memanjakan korporasi dan mengancam lingkungan, dan UU “Korona” No.2/2020 yang membuka jalan korupsi politik.
Patut diduga, resistensi Presiden Jokowi untuk memimpin perang melawan korupsi disebabkan keterlibatan lingkaran politik dan koalisi partai pendukung pemerintah dalam berbagai tindak pidana korupsi. Presiden Jokowi sendiri terjerat lingkaran setan politik di bawah kendali oligarki politik dan oligarki ekonomi yang melahirkan dan mengitari kekuasaannya. Sehingga pilihan yang tersedia adalah membuka lahan korupsi bagi para oligark dan melumpuhkan KPK sekaligus.
Pada 2015, Presiden Jokowi membiarkan terjadinya pelumpuhan KPK melalui skenario kriminalisasi Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua Bambang Widjojanto. Selain itu, pemerintahan Jokowi enggan mengusut kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pada April 2017. Otak di balik penyerangan ini tidak ditemukan hingga kini. Sementara, pelaku lapangan, yang diduga hanya pemeran pengganti, dihukum ringan. Puncaknya, revisi UU No. 30/2002 tentang KPK pada akhir 2019 yang mengebiri kewenangan luar biasa dari lembaga anti korupsi ini sehingga tidak bisa lagi melaksanakan tugasnya secara efektif.
Makin maraknya korupsi politik di era Jokowi ternyata berbanding lurus dengan tingginya tingkat kecurangan pemilu, termasuk politik uang. Pada Pemilu 2014, sekitar sepertiga pemilih terpapar politik uang, menjadikan Indonesia peringkat ketiga tertinggi dalam praktik politik kotor ini. Hanya berada di belakang Uganda dan Benin, dua negara di kawasan Afrika (Muhtadi 2018, Aspinall dan Berencshot 2019).
Pada pemilu 2019, praktik politik uang tetap tinggi, bahkan meningkat dengan modus tersamar seperti sumbangan untuk rumah ibadah, klub sepak bola, renovasi sekolah atau jalan desa (Mietzner 2019, Bawaslu 2019). Selain politik uang, pemilu 2019 dikotori oleh capres petahana dengan mobilisasi anggota kabinet dan birokrasi di pusat dan daerah, persekusi dan kriminalisasi tokoh oposisi, pemanfaatan anggaran dan fasilitas negara, hingga sandra politik beberapa tokoh yang diduga bermasalah secara hukum, dan klaim bohong atas capaian kinerja.
Praktik politik uang yang sangat akut membuat politik elektoral makin padat modal, sehingga mendorong para politisi untuk mengumpulkan dana kampanye dari berbagai sumber, terutama dari para oligark. Akibatnya, para politisi menjadi sangat bergantung pada sponsor oligarki.
Ketika terpilih dan berkuasa, para politisi yang menebar politik uang mencari modal balik dan memberikan imbalan kepada sponsor oligarki melalui pembancakan perusahaan negara, jual beli proyek pemerintah, terutama proyek insfrastruktur fisik, serta manipulasi regulasi dan kebijakan.
Dus, tanpa adanya kemauan dan keberanian politik untuk membenahi sistem kepartaian dan kepemiluan, bangsa ini akan terus digerogoti korupsi politik, bahkan dalam skala yang lebih luas. Pada gilirannya, korupsi politik tidak memberikan ruang bagi perbaikan kualitas partai politik dan penguatan integritas pemilu.
Persoalannya, saat ini, negara membuka peluang dan memfasilitasi tumbuh suburnya politik koruptif dan korupsi politik sekaligus. Dalam hal ini, penyelenggara negara tidak hadir dengan solusi, tetapi menjadi bagian utama dari masalah bangsa.
Keadaan ini menuntut tanggung jawab moral dan intelektual segenap komponen bangsa untuk mengoreksi jalannya penyelenggaraan negara dan mendesak presiden untuk bertanggung jawab sesuai sumpah dan janji jabatannya demi menyelamatkan rakyat, bangsa dan negara Indonesia. [el]
*Abdurrahman Syebubakar, Ketua Dewan Pengurus Ide (Institute for Democracy Education.
___________________________________________
**Versi bahasa Indonesia tulisan saya bertajuk “Corruption in Jokowi’s Indonesia”, yang dimuat Harian Bangkok Post 4 September 2020, dengan beberapa penyesuaian dan paragraf tambahan.