Nusantarakini.com, New York –
Saat ini kita telah memasuki tahun baru Islam 1442 H. Penanggalan yang diinisiasi oleh Khalifah Kedua, Umar Ibnu Khatthab (RA). Umat tentunya bersuka cita dan merayakan tahun baru Islam tersebut.
Sayangnya banyak yang memahami secara sempit makna perayaan tersebut. Padahal seharusnya perayaan tahun baru itu sekaligus bermakna ekspresi kebanggaan terhadap salah satu “identitas kolektif” (collective identity) umat ini.
Penanggalan Islam dimulai dengan berpindahnya Rasulullah SAW dari Mekah ke Madinah. Perpindahan Rasulullah SAW ini yang dikenal dalam sejarah Islam sebagai Hijratur Rasul SAW. Sehingga dengan sendirinya tanggalan Islam dikenal dengan tahun Hijrah atau Hijriyah.
Tapi apa koneksi kedua peristiwa itu? Atau tegasnya, kenapa hijrah dalam Islam menjadi awal penanggalan Islam? Kenapa bukan kelahiran rasul? Atau kenapa bukan di saat awal turunnya wahyu kepada beliau?
Masing-masing orang tentunya punya alasan dalam merespon pertanyaan itu. Tapi bagi saya, jawaban yang terdekat adalah karena peristiwa hijrah adalah awal momentum kebangkitan kolektif umat. Bahkan tidak berlebihan jika Hijrah sesungguhnya adalah awal kebangkitan peradaban dunia (world civilization).
Maka sesunngguhnya hal yang paling tepat untuk disadari oleh Umat ini di saat memperingati tahun baru adalah bahwa Islam adalah semangat mewujudkan dunia yang berkemajuan sekaligus mewujudkan peradaban alternatif dunia.
Dengan masuknya tahun baru hijrah saat ini seharusnya menyadarkan kita kembali akan tanggung jawab kolektif (mas-uliyatul jama’iyah) untuk membangun kembali peradaban modern yang pernah diletakkan fondasi-fondasinya oleh para pendahulu kita.
Hijrah itu perubahan
Saya tidak bermaksud menjelaskan makna hijrah secara bahasa. Tapi sesungguhnya esensi dari Hijrah itu adalah pergerakan dan perubahan.
Dengan Hijrah berarti terjadi pergerakan sekaligus perubahan. Hijrah dari Mekah ke Madinah berarti berpindah atau tepatnya melakukan perubahan tempat.
Kata kunci dari peristiwa ini adalah melakukan perubahan dari situasi yang tidak atau kurang baik ke arah situasi yang baik atau lebih baik. Perubahan itu kemudian ditandai oleh pergerakan itu.
Jika kita melihat alam semesta semuanya memiliki pergerakan. Kelestarian segala sesuatu itu dengan pergerakan. Air menjadi bening ketika bergerak. Di saat stagnan akan terjadi pembusukan.
Maka dalam sejarahnya semua para nabi dan rasul melakukan Hijrah dalam bentuk yang berbeda. Ibrahim AS misalnya dari Babylon ke Jerusalem, lalu anaknya Ismail ke Mekah.
Hijrah para nabi itu menjadi sunnatullah dalam perjuangan mereka. Bahwa dengan pergerakan dan perubahan itu akhirnya kelestarian perjuangan dan kemenangan akan terwujud.
Pelajaran penting bagi Umat tentunya bahwa kelestarian dan kemenangan Umat ini ada pada pergerakan dan antisipasi perubahan. Hal inilah yang kemudian diingatkan oleh Allah SWT: “Sungguh Allah tidak merubah nasib sebuah kaum (bangsa) sehingga mereka merubah diri mereka sendiri”.
Dari Yatsrib ke Madinah
Kita mengenal dalam sejarah bahwa nama kota yang dituju oleh Rasulullah SAW di saat meninggalkan Mekah saat itu bernama Yatsrib. Di kota inilah menetap manusia-manusia yang secara relatif lebih maju secara dunia dan ilmu. Salah satu segmen penduduk kota Yatsrib saat itu adalah komunitas Yahudi. Mereka memang dikenal lebih maju secara ekonomi dan pengetahuan.
Setiba Rasulullah SAW di kota itu beliau rubah namanya dari Yatsrib menjadi kota Madinah. Dari nama yang sekedar nama menjadi nama yang memiliki makna dan konotasi yang positif dan agung.
Madinah secara literal berarti kota. Sedangkan merujuk kepada akar katanya berarti pusat peradaban. Sebuah kata yang seakar dengan kata “tamaddun” Yang berarti peradaban.
Kata Madinah yang juga melahirkan kata “madani” atau “civil” yang sangat relevan dengan kata “mujtama” atau masyarakat. Kedua kata itu kerap disatukan menjadi “mujtama’ madani” atau masyakat madani, yang lazimnya dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “civil society”.
Dengan memahami kata “madinah” secara tepat dapat disimpulkan bahwa perubahan nama dari Yatsrib ke Madinah itu sendiri menjadi indikator kuat bahwa salah tujuan terpenting dari Hijrah adalah mewujudkan tujuan kolektif Islam. Yaitu terbangunnya peradaban modern manusia yang kokoh.
Lalu apa hubungan antara peradaban dan kota? Kenapa kedua kata itu memiliki akar kata yang sama?
Jawabannya adalah karena di kota itulah berpusat kehidupan yang berperadaban. Dari hati, pemikiran, hingga karakter (akhlak) dan amal-amal (karya-karya) manusianya menunjukkan peradaban yang tinggi. Maka kota seharusnya menjadi tempat orang-orang yang beradab.
Membangun masjid
Setiba Rasul di kota itu hal pertama yang beliau lakukan adalah membangun masjid, bahkan sebelum mendapatkan tempat tinggal permanen untuk dirinya sendiri.
Pembangunan masjid itu sendiri menjadi sebuah simbolisasi penting bahwa peradaban dalam Islam itu tidak akan terlepas dari “ruku’ sujudnya” Umat ini. Tentu ruku’ sujud yang kita maksud adalah ketaatan penuh kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, ketaatan Umat itu bertujuan untuk terbangunnya peradaban. Sekaligus peradaban itu takkan terlepas dari ketaatan Umat.
Sekaligus pembangunan masjid di awal ketibaan Rasulullah di Madinah menyampaikan pesan tegas bahwa peradaban dalam Islam bukan sekedar gagah-gagahan. Tapi sekalihus tonggak ubudiyah atau pusat pengabdian kepada sang Pencipta langit dan bumi.
Bahwa di atas semangat ubudiyah itulah akan terbangun peradaban besar dalam kehidupan manusia. Dan ini pula Yang menjadi salah satu esensi hijrah itu sendiri.
———-
Dibangunnya masjid sebagai awal perjalanan membangun peradaban itu juga menunjukkan bahwa peradaban dalam Islam tidak akan bisa terpisahkan dari “koneksi samawi” (nilai-nilai ketuhanan). Bahwa peradaban dalam Islam tidak ditandai oleh gedung-gedung yang mencakar langit. Tidka pula oleh akumulasi keuangan di pusat-pusat bisnis dan perbankan.
Peradaban dalam Islam adalah pembangunan yang mengkombinasi (menyatukan) jasad, akan dan ruh, materi, Ilmu, dan spiritualitas.
Masjid adalah gedung yang penampakannya seperti gedung-gedung yang lain. Tapi masjid itu menjadi tempat di mana Asma Allah dikumandangkan (yudzkaru fiiha ismuLlah). Sehingga gedung yang sejatinya juga terbuat dari materi yang sama ternyata memiliki nilai (value) yang berbeda.
Dan di situ pulalah kekhasan peradaban Islam. Peradaban yang memiliki nilai atau makna yang agung. Bukan sekedar bernilai material duniawi. Tapi nilai samawi (heavenly value) yang berisifat luhur dan abadi.
Peradaban Islami inilah yang didambakan oleh kehidupan semua manusia normal. Manusia yang menginginkan “kebahagiaan” dan bukan sekedar “kesenangan”. Peradaban yang terkoneksi secara samawi akan membawa kesenangan (mataa’). Tapi hampa dari kebahagiaan (sa’adah).
Dan peradaban ini pulalah yang diimpikan oleh dunia modern yang hingga saat ini sekedar mempu menawarkan “kesenangan” (mataa’) dan bukan kebahagiaan (sa’adah).
Barangkali peradaban yang seperti inilah yang digambarkan dalam Al-qur’an: “baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafur” (negeri yang indah yang diridhoi oleh Tuhan yang Maha pengampun).
Atau lebih jelas lagi Allah menggambarkannya: “Kalau saja penduduk negeri itu beriman dan bertakwa akan Kami bukakan pintu-pintu barokah dari langit dan bumi”.
Ayat itu jelas dan tegas mengaitkan secara dekat dan tak terpisahkan antara keberkahan langit dna bumi. Dengan keberkahan langit terbuka, berkah-berkah bumi akan pula terbuka. Dan ini pula yang menjadi karakteristik utama peradaban Islam.
Rekonsiliasi internal
Hal kedua yang dilakukan oleh Rasulullah SAW setiba di Madinah adalah “at-taakhaa” atau membangun “ukhuwah imaniyah” antara muhajirin dan anshor. Sebuah kebijakan pemimpin (leadership policy) yang sangat krusial dalam membangun kesatuan umatnya.
Jika kita melihat Al-quran maupun hadits-hadits Rasulullah SAW akan didapati bahwa perintah bersatu dan ukhuwah menyusul setelah perintah takwa dan iman itu sendiri.
Perhatikan ayat: “wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian dengan takwa yang seungguhnya. Dan janganlah mati kecuali dalam keadaan Muslim”.
Ayat yang memerintahkan bertakwa ini dengan tegas dan segera disusul dengan perintah bersatu: “Dan berpeganglah kamu semua kepada tali agama Allah dan jangan berpecah belah…”.
Urgensi ukhuwah ini menjadikan Rasulullah SAW setiba di Madinah segera menindak lanjutinya. Khususnya antara dua kelompok yang baru saling berinteraksi yang sudah pasti ada rasa asing dan jarak.
Kedua kelompok, Muhajirun dan Anshor, ini memiliki alasan untuk merasa lebih dari yang lain. Muhajirun bisa merasa lebih karena kedekatan dengan Rasulullah sejak awal perjuangan. Sementara Anshor bisa merasa lebih karena merekalah sebagai “tuan rumah” di saat muhajirun diusir dari tanah kelahiran mereka.
Artinya, gesekan antara kedua kelompok ini bisa menjadi isu pribumi dan non pribumi. Seperti yang pernah terjadi antara native American Muslim dan imigran Muslim di AS.
Ternyata apa yang dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW tersebut memang terbukti di kemudian hari. Khususnya di saat akan diadakan pemilihan pemimpin pertama di kalangan komunitas Muslim. Sentimen kelompok (muhajir dan anshor) mencuat. Walau kemudian dapat dengan segera diredam sehingga tidak meluas dan meruncing.
Merujuk kepada apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di awal pindahnya beliau ke Madinah itu mengingatkan kita kembali tentang realita umat masa kini. Umat ini sedang tercabik-cabik oleh berbagaia paham dan isu, yang boleh jadi justeru menjadi bagian dari rancangan orang lain untuk merusak Islam dari dalam.
Oleh karenanya “rekonsiliasi internal” semua pihak di kalangan umat ini menjadi sebuah keharusan. Tentu harus dibangun sebuah kesadaran bahwa bagaimanapun juga perbedaan, bahkan dalam hal-hal yang fundamental sekalipun, ukhuwah dan persatuan menjadi sebuah Yang mendasar dalam proses kemenangan kolektif.
Perbedaan-perbedaan yang ada adalah bagian dari “sunnatullah” dalam pembentukan ummah wahidah (umat yg satu) ini. Jangan pernah bermimpi bahwa persatuan umat ini mengharuskan “keragaman” dalam pemikiran dan karya.
Saya biasanya mengekspresikan dalam bahasa Inggris: Unity, not Uniformity. Artinya yang diperlukan adalah kesatuan. Bukan menyeragamkan Umat ini. Karena memaksa untuk menyamakan segala hal dalam hidup adalah kemustahilan dan bertentangan dengan tabiat hidup itu sendiri.
Saya melihat rekonsiliasi internal umat diperlukan dalam segala skala eksistensinya. Rekonsiliasi dalam penafsiran keagamaan (religious interpretations), sikap politik (political choice), organisasi pergerakan (munazzhomat harakiyah), hingga kepada “ikhtilaf sya’biyah wa wathoniyah” (Keragaman bangsa dan negara). Semua itu adalah realita Umat yang tidak harus mencabik-cabik ukhuwah dan persatuan.
Dengan semakin membesarnya umat masa kini, termasuk berkembangnya Islam di negara-negara mayoritas non Muslim seperti Amerika, menjadikan umat semakin mengglobal dan permasalahannya juga semakin komplikasi.
Oleh karena itu upaya “rekonsiliasi imaniyah” untuk membangun ukhuwah Islamiyah menjadi salah satu “haajah asaasiyah al-mu’ashorah” (kebutuhan pokok masa kini). [mc]
(Bersambung)!
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.