Nusantarakini.com, Jakarta –
Demokrasi Barat/Liberal menitikberatkan dan mengutamakan sistem pemilihan umum secara terbuka. One man one vote, satu orang satu suara. Selalu membanggakan serta menganggap lebih demokratis, karena setiap warga ikut serta memilih pimpinannya sendiri. Namun tanpa disadari biaya pengeluaran pemilu sangat besar dan tidak efisien.
Disamping biaya yang besar sangat membebani anggaran belanja negara, juga kental dengan politik indentitas, SARA, penggiringan opini baik/buruk, pencitraan. Bahkan sering terjadi saling memfitnah, sehingga membuat masyarakat menjadi gaduh. Semuanya tidak bisa dihindari karena sistem pemilihan langsung yang dianggap paling demokratis.
Padahal dalam kenyataan hidup masyarakat di dunia ini, bahkan termasuk di Amerika, lebih banyak orang yang tidak peduli siapa yang menang dalam Pemilu. Apalagi pada negara yang luas dan banyak penduduk yang masih hidup dalam kemiskinan. Mereka lebih fokus urusan perut dan biaya hidup. Lagi pula mungkinkah mengenal seseorang dengan baik hanya melalui propaganda di masa kampaye yang hanya beberapa bulan. Tentu saja tidak mungkin.
Trias politika yang dibanggakan dan dianggap sebagai prinsip dasar demokrasi Barat. Tidak lebih dari pembagian kekuasaan untuk mempertahankan kepentingan kelas borjuis saja.
Pembagian kekuasaan pemerintah dalam 3 bagian, eksekutif,legislatif dan yudikatif. Bukan jaminan kekuasaan ditangan rakyat. Bahkan sebaliknya hanya mempersulit pembentukan mekanisme pengawasan masyarakat atas kekuasaan negara.
Justru trias politika dengan pembatasan kekuasaan itu, malah terjadi tarik menarik kepentingan satu dengan lainnya. Sehingga membuatnya sangat tidak efektif dalam menangani kebutuhan perkembangan sosial dan untuk kepentingan rakyat banyak.
Demokrasi barat juga mengunakan prinsip multi partai. Sebenarnya makin banyak partai politik di masyarakat, bukan berarti semakin demokrasi. Tapi justru menunjukan masyarakatnya belum bersatu, masih terpecah-pecah dan akhirnya disatukan dengan berbagai kepentingan yang berbeda.
Dan sangat tergantung yang bisa dan mampu mengeluarkan dana yang besar. Jadi siapa yang mendapat dukungan kuat dari oligarkis dan Konglomerat, maka kesempatan menangnya akan semakin besar. Sehingga nantinya setelah terpilih harus balas budi maka terjadilah persekongkolan oligarki dan pejabat yang sangat tidak sehat. Karena lebih mengutamakan kepentingan oligarki daripada rakyat banyak dan seringkali sangat mengecewakan rakyat pemilihnya.
Kenapa saat pandemi covid-19 menyerang Amerika dan terkesan presiden Donald Trump sepertinya tidak mampu menanggulanginya? Tidak ada protokol kesehatan yang diterapkan, apakah itu sejenis PSBB-nya model Indonesia atau lockdown. Karena Trump mementingkan kaum oligarki yang menyokongnya.
Disamping itu sistem presidensial yang dianut bangsa Indonesia terdapat berbagai kelemahan struktural dan institusional. Sejak reformasi, jatuhnya orde baru, bangsa Indonesia terjebak pada kohobitasi sistem presidensial yang tersandera oleh koalisi multi partai parlementer. Sehingga presiden dan kabinetnya tidak berfungsi efektif untuk menjalankan programnya, karena memerlukan konsensus eksekutif dan legislatif. Presiden terpilih yang memperoleh dukungan dari rakyat pemilih (VOTERS) langsung 51%, sedangkan diparlemen hanya menguasai kursi 25%. Sehingga harus berkoalisi dengan partai lain yang menuntut imbalan politik, ini yang membuat kinerja kabinet tersendat dan terganggu.
Sedangkan hanya untuk memenuhi 25% sebagai batas ambang pencalonan presiden, presidential threshold, partai yang memiliki capres seringkali kali harus berkoalisi dengan partai lain. Tentunya dengan berbagai macam syarat dan imbalan, sehingga sangat boros dan tidak efisien.
Jadi apakah tujuan dari para founding father kita mendirikan NKRI untuk menjadi negara paling demokrasi di dunia, tentu tidak. Para founding father bertujuan mendirikan NKRI yang maju, modern, masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Demokrasi hanya sarana atau kendaraan untuk mencapai tujuan. Kalau kendaraannya rusak atau mogok, sehingga tidak bisa mencapai tujuan, tidak ada salahnya diganti dengan yang lebih baik dan efisien untuk mencapai tujuan tersebut. [mi]
*Chandra Suwono, Pengamat Sosial dan Politik.