Nusantarakini.com, Jakarta –
Ada tanda-tanda yang cukup kuat PDIP sedang bersiap membuka pintu darurat (emergency exit).
Jika pesawat terpaksa harus crash landing, mendarat darurat. Mereka bisa segera lompat dengan selamat!
PDIP memang belum sepenuhnya bersiap melompat. Tapi mereka sudah membuat ancang-ancang. Tahapan menuju langkah tersebut telah dipersiapkan. Sedikit demi sedikit mulai dijalankan.
Dimulai dengan pernyataan dari Masinton Pasaribu. Anggota Komisi III DPR RI itu secara mengejutkan menyebut Perppu No. 1 Tahun 2020 merupakan kepentingan nyata oligarki.
Dan selanjutnya Arteria Dahlan juga menyuarakan hal serupa.
“Ini bukan Perppu. Ini sabotase konstitusi,” kecamnya dalam melalui cuitan di akun twitter-nya.
Masinton tidak menyebut secara spesifik siapa yang dia maksud dengan oligarki.
Sebagai pengusung utama, bahkan pemegang saham mayoritas pemerintahan Jokowi, publik memahami bila ada oligarki, maka PDIP adalah pilar dan bagian utama oligarki itu sendiri.
Siapa yang dimaksud dengan oligarki oleh PDIP semakin jelas ketika Arteria Dahlan menyatakan kekhawatirannya, Perppu akan menciptakan “presiden di atas presiden.”
Dan ini lembaga Yudikatif hakikatnya dimatikan fungsinya. Kata Artetia Dahlan.
“Ada ‘penguasa’ yang lebih berkuasa dari Presiden Joko Widodo,” ujar politisi PDIP itu dalam Rapat Kerja dengan Ketua KPK Firli Bahuri.
Arteria curiga ada yang coba memanfaatkan situasi pandemi untuk mengeruk keuangan negara melalui Perppu.
Dalam Perppu No. 1 Tahun 2020 pemerintah diberi kewenangan menggunakan dana sekitar Rp 405,1 Trilyun “tanpa ada pengawasan.”
Para pengguna juga tidak dapat dipidana bila terjadi salah penggunaannya.
Emangnya ini negara nenek loe.
Dengan dana sebesar itu Arteria curiga ada orang atau kelompok yang ingin menguasai Indonesia secara instan.
Tanpa kampanye, tanpa modal bisa menjadi Presiden Indonesia.
“Pak ketua kita harus jaga Jokowi agar tidak tersandera. Yang bawa mobil orang lain, kalau nabrak dia yang bertanggung jawab,” ujarnya mengingatkan Ketua KPK.
Soal penggunaan anggaran perang melawan Covid-19 ini sebelumnya sempat memunculkan polemik antara anggota DPR RI Adian Napitupulu dengan Meneg BUMN Erick Thohir.
Adian mempertanyakan siapa yang dimaksud Erick sebagai mafia alat kesehatan (alkes). Adian curiga jangan-jangan dia termasuk yang dituding Erick.
Erick sebelumnya menyatakan ketergantungan Indonesia pada alkes impor memberi peluang mafia beraksi. Mafia mendominasi impor alkes.
(PDIP ditinggalkan)
Berbagai pernyataan politisi muda PDIP di Senayan ini menunjukkan adanya gesekan dan perbedaan kepentingan antara PDIP dengan Jokowi.
Pertama, PDIP sebagai pemegang saham mayoritas Jokowi ternyata memang benar, tidak menjadi pengendali pemerintahan Jokowi.
Apalagi pernah terucap tidak ada beban di periode ke dua ini.
Yang jelas, ada orang atau kelompok yang menjadi pengendali pemerintahan Jokowi.
Soal ini sesungguhnya sudah ditangkap publik dengan melihat susunan kabinet kabinet Jokowi Jilid II.
PDIP tidak mendapat pos yang cukup penting dan basah.
Kasihan banget kamu PDIP.
Benar PDIP mendapat jatah kursi paling banyak. Dari 16 kursi jatah Parpol, PDIP menempatkan lima orang kadernya.
Mereka adalah Menseskab Pramono Anung, Yasonna Laoly (Menkum HAM), Tjahjo Kumolo (Menpan RB), Juliari Batubara (Mensos), dan Gusti Ayu Bintang Darmavati (Menteri PPPA) .
Kalau mau dilihat dari sisi kedekatan secara politis, PDIP juga mendapat pos Jaksa Agung. Posisi ini dijabat ST Burhanuddin adik kandung politisi PDIP TB Hasanuddin.
Posisi menteri utama atau yang juga dikenal sebagai Trium Virat : Menhan, Menlu dan Mendagri dijabat figur non PDIP.
Mereka lah yang akan mengambil alih kendali pemerintahan, bila Jokowi dan Ma’ruf Amien udzur dan berhalangan tetap. Mereka semua bukan kader PDIP.
PDIP ternyata juga gagal menyingkirkan dan menggantikan Luhut Binsar Panjaitan yang selama ini dianggap sebagai The Super Minister.
Budi Gunawan orang dekat Ketua Umum PDIP Megawati ternyata harus cukup puas dengan posisi lamanya sebagai Kepala BIN. Padahal Budi Gunawan berperan penting dan sangat berjasa atas kemenangan Jokowi di pilpres.
Jadi tidak tahu balas budi.
Budi Gunawan pula yang berhasil mempertemukan Jokowi dengan Prabowo Subianto. Luhut gagal berkali-kali membujuk Prabowo.
Kedua, PDIP tampaknya tidak dilibatkan, tidak kebagian bancakan dana Covid-19.
Bahkan dibandingkan seorang Stafsus milineal yang kebagian dana Pra Kerja Rp 5,6 Triliun pun mereka kalah.
Apa jasa PDIP kalah sama jasa stafsus milenial ?
PDIP malah mempertanyakan dari mana Jokowi memperoleh staf khusus yang katanya milenial itu.
Bukan hanya curiga, jangan-jangan sudah punya bukti, ada yang memanfaatkan dana Covid-19 untuk kampanye gratis.
Polemik antara Adian dengan Erick Thohir juga menyiratkan ada yang panen besar dan ada yang tidak kebagian dari pengadaan alkes.
Dengan memunculkan berbagai isu itu ke tengah publik, PDIP ingin memberi isyarat. ” Mereka tidak ikut bertanggung jawab bila terjadi apa-apa pada pemerintahan Jokowi “.
Mereka bisa cuci tangan dan melompat keluar dengan selamat melalui pintu darurat bila pemerintahan Jokowi harus crash landing.
Ya sebentar lagi terpaksa mendarat darurat dampak dari bencana pandemi.
Kapan mereka mau melompat? Kelihatannya tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
Tapi bisa jadi jika terjadi krisis moneter.
Berbagai pernyataan itu disampaikan oleh para politisi muda. Second layer, lapis kedua. Bukan para politisi senior. Belum jadi kebijakan resmi partai.
Ibarat pemain silat, mereka diperintahkan melancarkan pukulan jurus kembang. Belum menggunakan jurus mematikan.
Masih terbuka pintu-pintu negosiasi, tarik menarik, deal-deal politik memanfaatkan momentum pandemi.
PDIP tidak mungkin begitu saja melepas aset sangat besar seperti Jokowi. Kecuali jika terjadi krisis moneter.
Saya bilang, wes wayahe ganti lakon. [mc]
*Hersubeno Arief, Pengamat Sosial dan Politik.