Nasional

Pandemi adalah Sebuah Portal?

Nusantarakini.com, Jakarta –Ini pandangan seorang novelis tentang bagaimana coronavirus mengancam India–dan apa yang harus dilakukan negara dan dunia.

Siapa yang bisa menggunakan istilah “sedang viral” sekarang tanpa sedikit gemetar? Siapa yang bisa melihat apa saja–pegangan pintu, kardus, sekantong sayuran–tanpa membayangkannya ada gumpalan-gumpalan zat yang tak terlihat, tidak mati dan tidak hidup, yang melekat dengan bantalan isap yang menunggu untuk hinggap pada paru-paru kita?

Siapa yang bisa berpikir mencium orang asing, melompat ke bus atau mengirim anak mereka ke sekolah tanpa rasa khawatir? Siapa yang bisa memikirkan kesenangan sehari-hari dan tidak mempertimbangkan risikonya? Siapa di antara kita yang bukan ahli epidemiologi, ahli virus, ahli statistik dan nabi? Ilmuwan atau dokter mana yang diam-diam tidak berdoa untuk lahirnya mukjizat? Paderi mana sekarang yang–setidaknya secara diam-diam–tidak patuh pada sains?

Dan bahkan ketika virus berkembang biak, siapa yang tidak bisa terhibur dengan kicau burung di kota-kota, tarian burung merak di persimpangan jalan dan keheningan di langit biru?

Jumlah kasus di seluruh dunia minggu ini merangkak lebih dari satu juta. Lebih dari 50.000 orang telah meninggal. Proyeksi menunjukkan jumlah itu akan terus membengkak hingga ratusan ribu, mungkin lebih. Virus ini telah bergerak bebas di sepanjang jalur perdagangan dan kota internasional, dan penyakit mengerikan dengan akibat yang ditimbulkannya ini telah mengurung manusia di negara mereka, kota mereka dan bahkan rumah mereka.

Tetapi tidak seperti arus modal, virus ini mencari proliferasi, bukan laba, dan karena itu, secara tidak sengaja, sampai batas tertentu, membalikkan arah arus. Ia telah mengejek kontrol imigrasi, biometrik, pengawasan digital dan berbagai jenis analisis data lainnya, dan menyerang paling keras–sejauh ini–di negara-negara terkaya dan terkuat di dunia, membuat mesin kapitalisme terhenti. Mungkin sementara, tetapi setidaknya cukup waktu bagi kita untuk memeriksa bagian-bagiannya, membuat penilaian dan memutuskan apakah kita perlu memperbaikinya, atau mencari mesin yang lebih baik.

Para pejabat yang menangani pandemi ini gemar berbicara tentang perang. Mereka bahkan tidak menggunakannya sebagai metafora, tetapi secara harfiah. Jika ini benar-benar perang, lalu siapa yang lebih siap daripada AS? Tetapi jika itu, bukan masker dan sarung tangan yang dibutuhkan oleh pasukan garis depan, tetapi senjata, bom pintar, penghancur bunker, kapal selam, jet tempur dan bom nuklir, apakah akan ada kekurangan?

Malam demi malam, dari belahan dunia, beberapa dari kita menonton briefing Gubernur New York dengan pesona yang sulit dijelaskan. Kita mengikuti statistik, dan mendengar kisah rumah sakit yang kewalahan di AS, tentang perawat yang dibayar terlalu rendah dan bekerja terlalu keras, dan harus mengenakan masker dari tempat sampah dan jas hujan tua, mempertaruhkan segalanya untuk membantu kepada orang sakit. Tentang negara-negara yang dipaksa menawar satu sama lain untuk alat ventilator, tentang dilema dokter mengenai pasien mana yang harus mendapatkan perawatan dan membiarkan yang lain meninggal. Dan kita lantas berpikir, “Ya Tuhan! Ini Amerika lho!”

Tragedi itu langsung, nyata, epik dan berlangsung di depan mata kita. Tapi ini bukan hal baru. Itu adalah puing-puing kereta yang telah meluncur selama bertahun-tahun. Siapa yang tidak ingat video “patient dumping”–seorang sakit, masih mengenakan piyama rumah sakit, telanjang bulat, secara diam-diam dibuang di sudut-sudut jalan? Pintu rumah sakit terlalu sering ditutup untuk warga AS yang kurang beruntung. Sama sekali tidak ada masalah bagaimana sakit mereka, atau bagaimana penderitaan mereka.

Setidaknya bukan sampai sekarang–karena sekarang, di era virus, penyakit orang miskin dapat memengaruhi kesehatan masyarakat yang kaya. Namun, bahkan sekarang, Bernie Sanders, senator yang tak henti berkampanye untuk perawatan kesehatan bagi semua, dianggap sebagai pencilan dalam upayanya naik ke Gedung Putih, bahkan oleh partainya sendiri.

Dan bagaimana dengan negara saya, negara miskin saya yang kaya, India, yang berada antara feodalisme dan fundamentalisme agama, kasta dan kapitalisme, yang diperintah oleh nasionalis Hindu sayap kanan?

Pada bulan Desember, ketika Cina berjuang melawan penyebaran virus di Wuhan, pemerintah India sedang menghadapi aksi massa oleh ratusan ribu warganya yang memprotes undang-undang kewarganegaraan anti-Muslim yang diskriminatif yang baru saja disahkan di parlemen.

Kasus pertama Covid-19 dilaporkan di India pada 30 Januari, hanya beberapa hari setelah tamu kehormatan yang ikut Parade Hari Republik kami, pemakan hutan Amazon dan penolak Covid Jair Bolsonaro, meninggalkan Delhi. Tetapi terlalu banyak hal yang dilakukan pada bulan Februari agar virus dapat ditampung dalam jadwal partai yang berkuasa. Ada kunjungan resmi Presiden Donald Trump yang dijadwalkan pada minggu terakhir bulan tersebut. Dia telah dijanjikan akan bertemu 1 juta orang di stadion olahraga di negara bagian Gujarat. Semua itu butuh uang, dan butuh banyak waktu.

Dan itu semua hilang. Karena kemudian ada hukuman yang dijatuhkan kepada Muslim Delhi, yang dituduh melakukan penghinaan. Gerombolan bersenjata vigilantes Hindu, yang didukung oleh polisi, menyerang Muslim di lingkungan kelas pekerja di Delhi timur laut. Rumah, toko, masjid dan sekolah dibakar. Umat Muslim yang diserang membalas balik. Lebih dari 50 orang, baik Muslim maupun beberapa Hindu, tewas.

Ribuan orang pindah ke kamp-kamp pengungsi di kuburan setempat. Mayat-mayat yang dimutilasi sedang ditarik keluar dari jaringan saluran yang kotor dan berbau busuk ketika pejabat pemerintah mengadakan pertemuan pertama mereka tentang Covid-19 dan saat itu kebanyakan orang India mulai mendengar tentang sesuatu yang disebut ‘hand sanitizer.’

Maret juga bulan sibuk. Dua minggu pertama dicurahkan untuk menggulingkan pemerintahan Kongres di negara bagian India tengah Madhya Pradesh dan memasang pemerintahan BJP sebagai gantinya. Pada 11 Maret Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa Covid-19 adalah pandemi. Dua hari kemudian, pada 13 Maret, kementerian kesehatan mengatakan bahwa korona “bukan darurat kesehatan”.

Akhirnya, pada 19 Maret, Perdana Menteri India berbicara kepada publik. Ia tidak melakukan banyak pekerjaan rumah. Dia meminjam buku pedoman itu dari Prancis dan Italia. Dia menyampaikan kepada kami tentang perlunya “penjarakan sosial” (mudah dipahami bagi masyarakat yang begitu kental dengan praktik kasta) dan menyerukan satu hari “jam malam rakyat” pada 22 Maret. Dia tidak mengatakan apa pun mengenai apa yang akan dilakukan pemerintahnya dalam krisis ini, tetapi ia meminta orang untuk keluar di balkon mereka, membunyikan bel dan memukul panci dan wajan mereka untuk memberi hormat kepada petugas kesehatan.

Dia tidak menyebutkan bahwa, sampai saat itu, India telah mengekspor alat pelindung dan peralatan pernapasan, alih-alih menyimpannya untuk petugas kesehatan dan rumah sakit India.

Tidak mengherankan, permintaan Narendra Modi disambut dengan sangat antusias. Ada pawai, tarian dan prosesi komunitas. Tidak banyak penjarakan sosial. Pada hari-hari berikutnya, para lelaki melompat ke tong kotoran sapi suci, dan para pendukung BJP mengadakan pesta minum air seni. Tidak mau kalah, banyak organisasi Muslim menyatakan bahwa Yang Mahakuasa adalah jawaban untuk virus dan menyerukan umat untuk berkumpul di masjid.

Pada 24 Maret, jam 8 malam, Modi muncul lagi di TV untuk mengumumkan bahwa, mulai tengah malam dan seterusnya, seluruh India akan dilokdon. Pasar akan ditutup. Semua sarana transportasi, umum maupun pribadi, akan dilarang.

Dia mengatakan dia mengambil keputusan ini bukan hanya sebagai perdana menteri, tetapi sebagai penatua keluarga kita. Siapa lagi yang bisa memutuskan, tanpa perlu berkonsultasi dengan pemerintah negara bagian yang harus menghadapi dampak keputusan ini, bahwa negara dengan penduduk 1,38 miliar harus dilokdon tanpa persiapan sama sekali dan dengan pemberitahuan empat jam? Metode-metodenya jelas memberi kesan bahwa perdana menteri India menganggap warga sebagai kekuatan yang tak menyenangkan yang perlu disergap, diberi terapi kejut, tetapi tidak pernah bisa dipercaya.

Maka terlokdonlah kami. Banyak profesional kesehatan dan ahli epidemiologi memuji langkah ini. Mungkin secara teori mereka benar. Tetapi tentu saja tidak ada dari mereka yang dapat mendukung kurangnya perencanaan atau kesiapan bencana yang mengubah lokdon terbesar dan paling menghukum di dunia ini menjadi kebalikan dari apa yang seharusnya dicapai.

Orang yang mencintai tontonan menciptakan ibu dari semua tontonan.

Sebagai suatu tontonan dunia yang mengerikan, India mengungkapkan dirinya dalam semua rasa malunya – ketidaksetaraan sosial dan ekonominya yang brutal dan struktural, ketidakpeduliannya terhadap penderitaan.

Lokdon bekerja seperti percobaan kimia yang tiba-tiba menyinari hal-hal tersembunyi. Ketika toko-toko, restoran, pabrik dan industri konstruksi ditutup, ketika orang-orang kaya dan kelas menengah mengurung diri mereka dalam koloni yang terjaga keamanannya, kota-kota dan kota-kota besar kami mulai mengusir warga kelas pekerja – pekerja migran mereka – seperti banyak akrual yang tidak diinginkan.

Banyak yang diusir oleh majikan dan tuan tanah mereka, jutaan orang miskin, lapar, haus, muda dan tua, pria, wanita, anak-anak, orang sakit, orang buta, orang difabel, di berbagai tempat, tanpa angkutan umum, memulai perjalanan pulang yang panjang ke kampung halaman mereka. Mereka berjalan kaki berhari-hari, menuju Badaun, Agra, Azamgarh, Aligarh, Lucknow, Gorakhpur – ratusan kilometer jauhnya. Beberapa meninggal dalam perjalanan.

Mereka tahu bahwa dengan pulang ke rumah itu berpotensi memperlambat kelaparan. Mungkin juga mereka tahu bahwa mereka akan membawa virus, dan akan menginfeksi anggota keluarga mereka, orang tua dan kakek-nenek mereka di rumah, tetapi mereka sangat membutuhkan sedikit kehangatan keluarga, perlindungan dan martabat, serta makanan, jika bukan cinta.

Ketika mereka berjalan, beberapa dipukuli secara brutal dan dihina oleh polisi, yang dengan ketat memberlakukan jam malam. Para pemuda dipaksa berjongkok dan melompat katak di jalan raya. Di luar kota Bareilly, satu rombongan digiring bersama dan disemprot dengan semprotan kimia.

Beberapa hari kemudian, khawatir bahwa orang yang mudik itu akan menyebarkan virus ke desa-desa, pemerintah menyegel perbatasan negara bahkan untuk pejalan kaki. Orang-orang yang telah berjalan berhari-hari dihentikan dan dipaksa untuk kembali ke kamp-kamp di kota-kota yang baru saja mereka tinggalkan.

Di kalangan orang yang sepuh, hal ini membangkitkan ingatan pada perpindahan penduduk tahun 1947, ketika India terpecah dan Pakistan lahir. Bedanya eksodus saat ini didorong oleh perpecahan kelas, bukan agama. Meski begitu, orang-orang ini bukan orang-orang termiskin di India. Mereka adalah orang-orang yang (setidaknya sampai sekarang) bekerja di kota dan memiliki rumah untuk kembali. Para pengangguran, para tunawisma dan orang-orang tanpa harapan tetap berada di tempat mereka berada, di kota-kota maupun di perdesaan, di mana kesesakan yang mendalam tumbuh jauh sebelum tragedi ini pecah. Sepanjang hari-hari yang mengerikan ini, Menteri Dalam Negeri Amit Shah tetap absen dari pandangan publik.

Ketika perjalanan dimulai di Delhi, saya menggunakan kartu pers dari sebuah majalah tempat saya sering menulis untuk mengemudi ke Ghazipur, di perbatasan antara Delhi dan Uttar Pradesh.

Adegannya demikian kitabiah. Atau mungkin juga tidak. Alkitab tidak mungkin mengetahui angka-angka seperti ini. Lokdon untuk menegakkan penjarakan fisik telah menghasilkan hal sebaliknya – tekanan fisik pada skala yang tidak terpikirkan. Ini benar bahkan di dalam kota-kota besar maupun kecil di India. Jalan-jalan utama mungkin kosong, tetapi orang miskin disegel ke tempat-tempat sempit di daerah dan gubuk yang kumuh.

Setiap orang yang berjalan yang saya ajak bicara khawatir tentang virus. Tapi itu kurang nyata, kurang hadir dalam kehidupan mereka daripada pengangguran, kelaparan dan kekerasan polisi. Dari semua orang yang saya ajak bicara hari itu, termasuk sekelompok penjahit Muslim yang baru beberapa minggu yang lalu selamat dari serangan anti-Muslim, ada seorang pria yang kata-katanya terutama mengganggu saya. Dia adalah seorang tukang kayu bernama Ramjeet, yang berencana untuk berjalan jauh ke Gorakhpur dekat perbatasan Nepal.

“Mungkin ketika Modiji memutuskan untuk melakukan ini, tidak ada yang memberitahunya tentang kami. Mungkin dia tidak tahu tentang kami,” katanya.

“Kami” di situ berarti sekitar 460 juta orang.

Pemerintah negara bagian di India (seperti di AS) telah menunjukkan lebih banyak hati dan pengertian dalam krisis. Serikat pekerja, warga negara dan kolektif lainnya mendistribusikan makanan dalam masa darurat ini. Sementara pemerintah pusat lamban dalam menanggapi permintaan dana dari mereka yang hampir putus asa. Ternyata Dana Bantuan Nasional perdana menteri tidak tersedia tunai. Alih-alih, uang dari simpatisan mengalir ke dana PM-CARES baru yang agak misterius. Makanan kotak dengan gambar wajah Modi sudah mulai muncul.

Selain itu, perdana menteri telah membagikan video-video yoga nidra-nya, di mana seorang Modi yang telah berubah dalam bentuk animasi mendemonstrasikan asana yoga untuk membantu orang mengatasi tekanan isolasi diri.

Narsisme sangat begitu meresahkan. Mungkin salah satu asana bisa menjadi asana-permintaan di mana Modi meminta Perdana Menteri Prancis untuk mengizinkan kita mengingkari kesepakatan jet tempur Rafale yang sangat menyusahkan dan menggunakan dana € 7,8 miliar untuk tindakan darurat yang sangat dibutuhkan untuk mendukung beberapa juta orang yang kelaparan. Tentunya orang Prancis itu akan memahami hal ini.

Ketika lokdon memasuki minggu kedua, rantai pasokan telah putus, obat-obatan dan persediaan penting lainnya hampir habis. Ribuan pengemudi truk masih terdampar di jalan raya, dengan sedikit makanan dan air. Tanaman yang berbuah, siap dipanen, perlahan membusuk.

Krisis ekonomi telah ada di hadapan. Krisis politik sedang berlangsung. Media arus utama telah memasukkan kisah Covid ke dalam kampanye anti-Muslim yang beracun. Sebuah organisasi bernama Jamaah Tabligh, yang mengadakan pertemuan di Delhi sebelum lokdon diumumkan, ternyata menjadi “penyebar super”. Hal itu digunakan untuk menstigmatisasi dan menjelekkan umat Islam. Nada keseluruhan menunjukkan bahwa Muslim menciptakan virus dan sengaja menyebarkannya sebagai bentuk jihad.

Krisis Covid masih akan berlangsung. Atau tidak. Kita tidak tahu. Jika dan ketika itu terjadi, kita bisa yakin akan menanganinya, dengan semua prasangka agama, kasta dan kelas yang ada lengkap di tempatnya.

Hari ini (2 April) di India, ada hampir 2.000 kasus yang dikonfirmasi dan 58 kematian. Ini pasti angka yang tidak bisa diandalkan, berdasarkan beberapa tes yang tidak meyakinkan. Pendapat ahli sangat bervariasi. Beberapa memprediksi jutaan kasus. Yang lain berpikir jumlahnya jauh lebih sedikit. Kita mungkin tidak pernah tahu kontur nyata dari krisis, bahkan ketika itu menimpa kita. Yang kita tahu adalah bahwa gelombang ke rumah sakit belum dimulai.

Rumah sakit dan klinik umum India – yang tidak mampu mengatasi hampir 1 juta anak yang meninggal karena diare, kekurangan gizi dan masalah kesehatan lainnya setiap tahun, dengan ratusan ribu pasien tuberkulosis (seperempat dari kasus dunia), dengan anemia yang luas dan populasi yang kurang gizi rentan terhadap sejumlah penyakit ringan yang terbukti berakibat fatal bagi mereka – pasti tidak akan mampu mengatasi krisis seperti yang dihadapi Eropa dan AS sekarang.

Semua layanan kesehatan sementara dikurangi karena rumah sakit telah dialihkan ke layanan virus. Pusat trauma dari Institut Ilmu Kedokteran India yang legendaris di Delhi ditutup, ratusan pasien kanker yang dikenal sebagai pengungsi kanker yang tinggal di jalan-jalan di luar rumah sakit besar diusir seperti sapi.

Orang akan jatuh sakit dan mati di rumah. Kita mungkin tidak pernah tahu kisah mereka. Mereka bahkan mungkin tidak akan menjadi statistik. Kita hanya dapat berharap bahwa penelitian yang mengatakan virus menyukai cuaca dingin adalah benar (meskipun peneliti lain telah meragukan hal ini). Tidak pernah ada orang yang merindukan secara irasional dan berlebihan pada musim panas India yang menghukum.

Apa yang terjadi pada kita? Itu virus, ya. Di dalam dan dari dirinya sendiri tidak ada penjelasan moral. Tetapi ini jelas lebih dari sekadar virus. Beberapa percaya itu adalah cara Tuhan membawa kita ke akal sehat kita. Lainnya yakin bahwa itu adalah konspirasi Tiongkok untuk mengambil alih dunia.

Apa pun itu, coronavirus telah membuat lutut lemas dan membuat dunia terhenti sebagai sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya. Pikiran kita masih berpacu bolak-balik, merindukan kembalinya ke “normalitas”, mencoba menjahit masa depan kita ke masa lalu kita dan menolak untuk mengakui kehancuran. Dan di tengah keputusasaan yang mengerikan ini, ia memberi kita kesempatan untuk memikirkan kembali mesin kiamat yang telah kita bangun untuk diri kita sendiri. Tidak ada yang lebih buruk dari kembali ke normalitas.

Secara historis, pandemi telah memaksa manusia untuk memutuskan masa lalu dan membayangkan dunia mereka kembali. Yang ini tidak berbeda. Ini adalah portal, gerbang antara satu dunia dan yang berikutnya.

Kita dapat memilih untuk berjalan melaluinya, menyeret bangkai prasangka dan kebencian kita, ketamakan kita, bank data kita dan ide-ide mati, sungai-sungai mati kita dan langit berasap di belakang kita. Atau kita bisa berjalan santai, dengan sedikit barang bawaan, siap membayangkan dunia lain. Dan siap berjuang untuk itu. [mc]

*Oleh Arundhati Roy, Penulis novel “The God is Small Thing”.

(Naskah asli dimuat di situs Financial Time, 4 April 2020, dan diterjemahkan oleh Halim HaDe).

Terpopuler

To Top