Budaya

Sedekah Laut, Keluhan Goenawan Mohamad dan Dugaan Praktik Syirik

Nusantarakini.com, Jakarta –

Sedekah laut. Yogyakarta. Opini kota intoleran. Oleh massa bercadar. Dalih syirik. Terjadi pengrusakan. Gelombang kecaman pengrusakan sedekah laut. Gelombang simpati upacara sedekah laut. Polisi tahan 9 orang terduga. PB NU ikut berkomentar. Aksi pengrusakan acara itu masih misteri. Motifnya apa, dan caranya apa sudah benar dan murnikah?

Itulah sederet pernak-pernik pikiran saat menilai kasus sedekah laut yang tiba-tiba bikin dahi mengernyit.

Memang judulnya sudah aneh. Laut kok dikasi sedekah. Apa laut termasuk fakir miskin? Kata sebagian orang. Sesajen untuk laut, mungkin jauh lebih familiar.

Apa memang sengaja, untuk memancing benturan dua kutub pikiran: mainstream pemurnian agama vs mainstream sinkretisme agama. Lalu isu ini jadi titik tolak untuk debat agama vs tradisi; lokalitas vs aqidah. Entahlah, mau diolah apa ini barang debatan. Apakah hendak digiring menjadi penyingkiran pengaruh Islam dalam budaya sekaligus pengentalan tradisi “pra Islam”, dalam taktik budaya halus untuk menaklukkan visi Islam terhadap alam, Tuhan dan manusia.

Pendeknya, terbaca kasus ini suatu yang lain daripada yang lain.

Memang cara mendekati kasus Sedekah Laut ini oleh orang yang bercadar tersebut tidaklah sesuai dengan kaidah yang benar. Masak main hantam langsung. Sepatutnya, diberi dulu pengertian. Atau malah diajak dialog dulu.

Ini memang kasus budaya dan invensi budaya. Agaknya sedekah laut ini pun inovasi baru budaya marketing pariwisata. Ini mungkin tujuannya untuk menarik orang berwisata ke Bantul. Maka ketika didekati dengan sentimen non marketing, perkara bisa kemana-mana.

Sekarang, sudahlah. Mbok ya kalau mau menarik para wisatawan, jangan pula pakai kata sedekah laut. Itu bisa mengedukasi orang lupa sasaran sedekah yang seharusnya dan niat yang sebenarnya, yaitu menolong fakir miskin dan untuk pengabdian kepada Allah Sang Pencipta laut itu.

Bolehlah misalnya dibuat judulnya, makan hasil bumi di pantai ramai-ramai untuk peningkatan gizi dan kegembiraan. Ini kok sedekah laut.

Jika semacam itu yang dilakukan, tentu Pak Goenawan Mohamad tidak sewot sampai bilang Tuhannya tidak cemburuan.

Padahal Sang Maha Kuasa itu memang cemburu jika ada tandingan atau syirik yang dibuat-buat secara sengaja oleh hamba-hamba-Nya. Kalau Allah tidak pencemburu, Dia tidak akan turunkan aturan beragama lewat Al-Qur’an. Tentu cemburu di sini maksudnya ialah Allah tidak berkenan disyirikkan. Karena menserikatkan Allah itu akan merugikan manusia itu sendiri sebagai hamba, sebagai makhluk ciptaan. Ruginya ialah, membuat sia-sia saja amal yang diperbuat ditinjau dari segi bahwa hidup bukanlah untuk main-main tanpa arti ibadah.

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni perbuatan menserikatkan dengan-Nya.

 

 

~ Kyai Kampung

 

 

Terpopuler

To Top