Gerakan Deklarasi 2019 Ganti Presiden dalam Tinjauan Hukum dan Ketatanegaraan

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Pasca pembatalan rencana deklarasi 2019 ganti Presiden yang diinisiasi oleh Bunda Neno Warisman di Riau, publik prihatin. Kejadian ini, semakin menegaskan kondisi negara sedang absen dalam menjaga hak konstitusional warga negara untuk menjalankan kemerdekaan menyatakan pendapat dimuka umum.

Situasi ini diperparah, ketika gerakan yang mengatasnamakan ormas tertentu memaksakan kehendak menolak sekaligus menuntut pembubaran gerakan deklarasi 2019 ganti Presiden di Surabaya. Bahkan, di Surabaya tidak saja terjadi penolakan gerakan ganti Presiden, tetapi sampai pada aktivitas persekusi (perburuan) anggota masyarakat yang hendak menjalankan aktivitas beribadah (sholat) di masjid, yang tegas dijamin konstitusi khususnya sebagaimana diatur dalam pasal 29 UUD 1945.

Celakanya, situasi ini diperparah dengan adanya anasir liar yang menuding secara sepihak gerakan 2019 ganti Presiden dianggap memecah belah, menimbulkan kebencian dan SARA, pada saat yang sama diam seribu bahasa melihat tindakan radikal dan intoleran yang dipertontonkan oleh ormas tertentu yang memaksakan kehendak membubarkan kegiatan masyarakat yang memiliki aspirasi 2019 ganti Presiden sebagaimana dijamin konstitusi.

Karena itu, perlu kajian hukum dan ketatanegaraan yang membuat simpulan hukum untuk memberikan predikat atas adanya gerakan rakyat yang menginginkan 2019 ganti Presiden. Predikat hukum ini, menjadi dasar dan pijakan sikap dan tindakan hukum bagi aparat penyelenggara negara dan para penegak hukum agar dapat menjamin hak setiap warga negara untuk menjalankan hak konstitusional untuk beserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

Predikat hukum ini juga penting, agar tidak ada oknum penegak hukum
atau ormas yang berdalih berdasarkan logika kamtibmas dan penyebaran kebencian pada pihak tertentu, kemudian menghalangi apalagi sampai membubarkan kegiatan Penyelenggaraan kebebasan berpendapat dimuka umum yang dijamin undang undang.

GANTI PRESIDEN ADALAH GANTI OKNUM BUKAN STRUKTUR KETATANEGARAAN

Gerakan 2019 ganti Presiden dimaksudkan untuk mengganti jabatan Presiden oleh anak bangsa yang diyakini lebih kapabel, lebih amanah, jujur dan bertanggung jawab serta dapat menjalankan tugas tugas pemerintahan dan pengelolaan tata kenegaraan agar menjadi lebih baik. Bukan mengganti struktur dan nomenklatur Presiden menjadi perdana menteri dalam sistem parlementer atau menjadi Raja dalam sistem kerajaan.

Konstitusi tegas menyebut negara berbentuk Republik dengan dikepalai oleh seorang Presiden. Presiden, selain berfungsi sebagai kepala negara juga menjalankan tugas kepala pemerintahan. Bahkan, sistem presidensial memberi mandat penuh kepada Presiden untuk menjalankan kekuasaan eksekutif secara mandiri dan otoritatif.

“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik” (pasal 1 ayat 1 UUD 45).

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang Undang Dasar”. (Pasal 4 ayat 1 UUD 45).

Karenanya, gerakan ganti presiden yang dilakukan menjelang Pilpres 2019 adalah gerakan yang harus dipahami sebagai aspirasi untuk mengganti pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan dengan orang lain yang dipandang lebih cakap dan amanah. Gerakan ini sah dan legal, sebab jabatan Presiden bukan seumur hidup, tetapi dibatasi 5 (lima) tahun sebagaimana dijelaskan konstitusi.

“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. (Pasal 7 UUD 45).

Dalam dinamakan politik menjelang Pilpres 2019, gerakan 2019 ganti Presiden dimaksudkan untuk mengganti posisi Pak Jokowi selaku pejabat Presiden saat ini, dengan cara yang sah dan legal melalui pemungutan suara dalam ajang Pilpres 2018. Meskipun Pak Jokowi dapat dipilih kembali untuk satu kali periode jabatan (lima tahun), adalah sah dan legal jika ada gerakan rakyat yang menyampaikan aspirasi agar Pak Jokowi tidak terpilih lagi sebagai Presiden dan digantikan oleh Presiden lainnya. Dalam konteks itulah secara hukum memaknai gerakan 2019 ganti Presiden, yakni gerakan yang menyampaikan aspirasi untuk mengganti posisi pemegang jabatan Presiden melalu mekanisme yang diatur konstitusi (Pilpres) dan bukan mengubah struktur dan nomenklatur negara dan pemerintahan.

Lagipula, mekanisme untuk mengubah struktur Presiden, wewenang, hubungan kelembagaan dengan lembaga yudikatif dan legislatif, secara konstitusi diatur melalui mekanisme sidang umum MPR RI dengan agenda amandemen konstitusi. Jika dalam amandemen konstitusi disepakati merubah bentuk dan corak kekuasaan eksekutif, dari presidensial menuju parlementer, bahkan mengubah negara kesatuan menjadi Serikat, sepanjang ditempuh secara konstitusi adalah sah dan legal menurut hukum.

Sejarah negara dan bangsa, menunjukan bahwa bangsa ini pernah mengalami masa pemerintahan Republik Serikat, pernah menetapkan kekuasaan sentralistik, dan perubahan kembali menuju negara kesatuan dengan konsep desentralisasi kekuasaan ditempuh melalui jalur konstitusi. Satu-satunya cara-cara perubahan struktur dan bentuk negara yang melanggar konstitusi adalah kudeta PKI yang hendak mengubah negara Pancasila menjadi negara komunis melakukan cara pemberontakan.

Namun, jika gerakan ganti Presiden ini digaungkan setelah Pilpres 2019, setelah dilantiknya Presiden terpilih melalui mekanisme Pilpres sebagaimana diatur konstitusi, barulah gerakan ini bisa dituding gerakan makar dan memiliki agenda untuk merubah struktur dan bentuk negara. Karenanya, tudingan gerakan 2019 adalah gerakan makar yang bertujuan mengganti struktur dan nomenklatur lembaga negara pada saat menjelang Pilpres 2019 adalah tudingan yang tidak berdasar hukum.

Tudingan makar ini, lebih condong sebagai gerakan politik picisan yang menunjukkan ketidakmampuan menyerap dan beradaptasi dengan perbedaan aspirasi ditengah rakyat, kemudian menebar fitnah dan ancaman agar rakyat meninggalkan aktivitas menjalankan hak konstitusional berupa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.

ALAT NEGARA HARUS MELAYANI RAKYAT BUKAN MELAYANI PENGUASA

Aparat penegak hukum harus menjalankan fungsi sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat. Dalam konteks penegakan hukum, tindakan yang diambil lembaga kepolisian adalah memberikan jaminan keamanan dan kenyamanan kepada segenap elemen raKyat yang hendak menjalankan hak konstitusi.

Gerakan 2019 ganti Presiden adalah representasi aspirasi rakyat yang ingin diaktualisasikan dalam bentuk penyampaian pendapat dimuka umum. Fungsi kepolisian adalah melindungi dan mengamankan kegiatan. Jika ada aspirasi berbeda, kepolisian wajib memediasi dan melindungi aspirasi setiap warga negara -meskipun memiliki aspirasi berbeda- dengan menjamin keseluruhan kegiatan dapat berjalan dengan baik.

Kepolisian tidak boleh mengambil tindakan, dengan berdalih ada komponen masyarakat yang tidak setuju gerakan 2019 ganti Presiden, kemudian mengambil tindakan membubarkan kegiatan deklarasi 2019 ganti Presiden dengan dalih adanya potensi gangguan kamtibmas. Sebaliknya, kepolisian wajib melayani, melindungi dan mengayomi semua pihak.

Cara paling tepat yang bisa dilakukan oleh kepolisian adalah memediasi pihak yang tidak setuju dan menyarankan pihak yang tidak setuju 2019 ganti Presiden dengan melakukan kegiatan lain sesuai aspirasi yang dikehendaki-nya. Bagi yang tidak setuju gerakan 2019 Ganti Presiden, bisa disarankan untuk membuat gerakan lain seperti gerakan dukung Jokowi sampai mati, pejah gesang nderek Jokowi, pokoknya sekali Jokowi tetap Jokowi, biar utang menumpuk asal presidennya Jokowi, biar sengsara asal Jokowi, atau gerakan lain yang semisal untuk menandingi gerakan 2019 ganti Presiden, dengan catatan satu dengan yang lain tidak saling mengganggu dan saling membubarkan.

Dalam ketentuan pasal 1 ayat (1) UU No. 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum ditegaskan :

“Bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia”.

Karenanya tindakan menghalangi bahkan hingga membubarkan kegiatan masyarakat dalam rangka Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum berupa aspirasi 2019 Ganti Presiden, selain melanggar hukum juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Terlebih lagi, setiap tindakan yang dilakukan untuk menghalangi hak warga negara untuk Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dapat dipidana :

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menghalang-halangi hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum yang telah memenuhi ketentuan Undang-undang ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun”. (Pasal 18 UU No. 9/1998).

Adapun prosedur pelaksanaan hak Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum cukup memberitahu pihak kepolisian, tidak memerlukan izin. Sebab, hak Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum adalah hak konstitusi, bagaimana mungkin warga negara hendak menjalankan hak yang dijamin konstitusi harus ijin polisi ?

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam pasal 10 UU No. 9/1998 :

“Penyampaian pendapat di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada Polri”.

Esensi pasal ini adalah bahwa menjalankan hak konstitusi tidak perlu izin, tetapi cukup pemberitahuan. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar kepolisian bisa melakukan serangkaian tindakan yang bisa menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum ini berjalan tertib tanpa gangguan pihak lainnya. Itulah, tugas dan fungsi kepolisian yang melayani, melindungi dan mengayomi masyarakat untuk melaksanakan hak konstitusi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Setelah mendalami realitas dan fakta hukum sebagaimana kami jelaskan, maka kami berkesimpulan :

Pertama, gerakan 2019 Ganti Presiden secara hukum dan konstitusi adalah gerakan yang sah dan legal, dilindungi oleh hukum dan perundangan serta dijamin sebagai salah satu Hak Asasi Manusia.

Kedua, gerakan 2019 ganti Presiden adalah salah satu ekspresi dan aspirasi menyampaikan pendapat dimuka umum yang dijamin undang undang, sebagai sebuah kemerdekaan konstitusi yang pelaksanaannya cukup memberikan pemberitahuan dan tidak membutuhkan izin dari pihak kepolisian.

Ketiga, gerakan 2019 ganti Presiden tidak bisa dan tidak boleh dibatalkan atau dibubarkan oleh pihak manapun baik oleh aparat penegak hukum apalagi ormas, karena hal ini bertentangan dengan konstitusi.

Keempat, setiap pihak yang mencoba mengambil tindakan baik mengatasnamakan ormas atau institusi lainnya, baik dengan menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan yang menghalangi hak untuk menjalankan kemerdekaan menyatakan pendapat dimuka umum, adalah pelanggaran hukum dan merupakan tindak pidana yang dapat diancam dan diberi sanksi pidana. [mc]

*Ahmad Khozinudin, S.H., Ketua LBH PELITA UMAT.