Nasional

Penampakan Feodalisme Inlander Jelang Asian Games

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Ada satu jenis penyakit mental yang belum sepenuhnya sirna dalam kesadaran Indonesia pasca kolonial. Penyakit itu ialah menyembah asing, mengangungkan asing, sampai lupa dengan kesengsaraan rakyat sendiri.

Sekarang penyakit ini tampak mulai kambuh. Lihatlah betapa sibuknya pemerintah pusat dan daerah mempersiapkan segala sesuatunya demi menyenangkan tamu asing pada Asian Games nanti itu. Jalan-jalan besar dibangun, dirapikan. Spanduk-spanduk sorak sorai ditebarkan di mana tempat. Gedung-gedung sarana dibangun secepat kilat. Semua itu dipersembahkan untuk kesenangan hati orang asing yang akan datang ke Jakarta dan Palembang.

Ada yang lucu. Dalam suasana kejar mengejar sebagai yang terbaik pelayan bagi asing itu, terjadi masalah di kali item. Ya kalinya memang item, bauk lagi. Oleh sang gubernur dicari cara untuk mengurangi efek bauk dari kali pembuangan kotoran dan limbah itu. Diatapilah kali dekat wisma atlit itu dengan waring supaya bauknya berkurang. Kontan hal itu ribut dan digunakan sebagai lelucon bully bagi Gubernur. Dibilanglah dia Gabener. Padahal dua-duanya niatnya sama menjadi yang terbaik pelayan bagi para tamu agung.

Kok begini sekarang, ya. Mengapa kepada asing para pihak itu berlomba mencari muka, padahal kepada rakyat berlomba membuang muka.

Kemarin nyata kejadian ada warga di Jakarta Timur terancam kelaparan. Rumahnya sudah dipasang papan “Rumah Dijual”. Ayahnya nganggur tak ada pemasukan. Neneknya masuk rumah sakit. Ibunya sudah mati. Terpaksa ngamen untuk makan. Saat ngamen digaruk Trantib.

Bocah semacam ini jamak hari-hari ini akibat keadaan ekonomi yang makin tak karuan. Sementara BPS, sumber andalan pemerintah dalam mendalilkan kebijakan, kerap omong kosong menggambarkan fakta dan data.

Hanya anak muda yang bisa diharapkan membalikkan situasi sekarang ini. Masalahnya pula anak muda banyak yang apatis dan cuek dengan keadaan.

Dulu ada seorang anak muda yang mengubah situasi. Dia juga berasal dari suatu golongan masyarakat yang mapan. Tapi takdir berkata lain. Namanya Tan Malaka.

Ketika masa remaja, Ibrahim jatuh cinta pada Syarifah Nawawi, gadis cantik kawan satu kelas semasa sekolah di Kweekschool, Bukittinggi. Namun cintanya kandas saat Ibrahim dihadapkan pada dua pilihan: menolak dinobatkan sebagai datuk atau menikah dengan gadis pilihan orangtuanya. Ibrahim pilih yang pertama.

Tak lama setelah penobatan, Ibrahim yang telah bergelar Datuk Tan Malaka melanjutkan sekolah ke Belanda. Berpisah dengan Syarifah Nawawi, pujaan hatinya. Lama tak berhubungan dengan Tan Malaka karena jarak, Syarifah dilamar oleh Bupati Cianjur RAA Wiranatakusumah yang telah beristri dua. Perkawinan mereka berakhir pada perceraian. Wiranatakusumah kawin lagi, lantas menceraikan Syarifah.

Joesoef Isak, mantan pemimpin redaksi koran Merdeka dan editor penerbit Hasta Mitra pernah mengisahkan sebuah anekdot tentang kandasnya hubungan cinta Tan Malaka itu. Kata Joesoef dalam sebuah wawancara pada 2008 lampau, kegagalan percintaannya itu jadi alasan kenapa Tan memilih untuk jadi komunis.

“Tan Malaka mendengar Syarifah dikawin Wiranatakusumah, lantas diceraikan begitu saja. Tan jadi dendam pada kaum feodal dan kemudian jadi komunis. Ini cerita yang beredar di kalangan masyarakat Bukittinggi,” ujar Joesoef Isak.

Sejak gagal menikahi Syarifah, Tan memang hidup sendiri. Hingga wafat tertembak di Jawa Timur.

 

 

~ Bang Kohler

Terpopuler

To Top