Mantra Jokowi dan Shahrukh Khan

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Sewaktu kecil, saya adalah penggemar film Bollywood. Sekarang masih sih. Dulu, aktor yang paling saya idolakan adalah Amitabh Bachchan. Ini aktor paling legendaris, terutama di era 80-90an. Dia adalah “pemain watak”. Selain jago bertarung dan selalu menang menghajar penjahat (kita semua tahu, setelah lakon menang biasanya polisi baru datang), Amitabh Bachchan juga merupakan “pemain watak”. Semua penonton dibuat terhipnotis dengan kemampuan seni perannya.

Dulu saya sempat berfikir, tidak akan ada lagi aktor yang mampu “menggantikan” (replacing) posisinya di hati para pecinta film Bollywood. Hingga akhirnya keluarlah aktor yang bernama Shahrukh Khan. Melalui film Kuch Kuch Hota Hai (1998), aktor muda ini sukses besar mengambil hati pemirsanya, terutama di akhir 90an dan awal 2000an. Sebagaimana Amitabh Bachchan, Shahrukh Khan juga merupakah “pemain watak” (tonton film Mohabbatein, Khabi kushi khabi gham atau Veer Zaara). Meski karakter keduanya berbeda 180 derajat, dimana yang satu tampak “cool” sementara yang satunya lagi “petakilan”, buat saya pribadi dan mungkin juga di mata para pecinta film Bollywood yang lain, Shahrukh Khan adalah “successor” dari Amitabh Bachchan.

Pasca Shahrukh Khan, saya pun berfikir (kembali): mungkin tidak akan ada aktor lain yang bisa menggantikannya. Menjadi pemain watak dengan kualitas seni peran yang begitu menghipnotis, tentu sangatlah berat. Biar Shahrukh Khan saja! Tapi, rupanya dugaan saya salah telak setelah muncul seorang aktor yang lebih muda bernama Hrithik roshan. Hari ini, tidak ada loyalis film India yang tidak mengenal nama itu. Dan bagi saya, Hrithik roshan adalah “successor” dari Shahrukh Khan.

Saya tidak tahu, mantra apa yang dimiliki oleh masing-masing aktor tersebut, hingga saat mereka berkibat di era-nya, nyaris semua orang berfikir: “tokoh ini tidak akan ada penggantinya”.

Siapa yang mengira, bahwa setelah hadirnya figur yang begitu diidolakan, akan selalu muncul figur yang menggantikannya? Dan tentu saja, successor dari figur sebelumnya memiliki kualitas, kelayakan serta likeness (level kesukaan) yang kurang-lebih setara.

Successor Presiden

Sebagai anak muda Gen Y (milenial), saya mungkin tidak merasakan hidup di era Soekarno. Namun, berdasarkan cerita dan literatur yang saya baca, di zaman-nya Soekarno seumpama “dewa” yang memiliki semilyar pesona. Pada waktu itu orang berfikir: orang sehebat ini kenapa tidak kita jadikan sebagai presiden seumur hidup saja? Barangkali, di era tahun 40-60an, masyarakat Indonesia tidak memiliki satu diksi nama pun yang dinilai dapat mengganti posisinya.

Hingga muncul-lah “the smiling general” Soeharto. Sejak saat itu, orang kemudian menyadari, bahwa bangsa ini rupanya sudah memiliki adaptability (kemampuan beradaptasi), yang salah satu indikatornya dilihat dari adanya stok dan kemampuan untuk melakukan regenerasi kepemimpinan. Sejak Indonesia dipimpin oleh Soeharto, seolah sosok ini juga begitu kuat dan berdaya pikat. Sehingga “mantra-nya” mampu melanggengkan posisinya selama 32 tahun.

Pasca Reformasi, rupanya stok pemimpin nasional terus bermunculan. Tidak hanya satu, namun cukup banyak. Ada Habibie, Amien Rais, Gus Dur, Megawati, Yusril, dan lainnya. Hingga terjadilah gonta-ganti presiden sampai tahun 2004. Di Pemilu demokratis pertama pasca Reformasi, muncul sosok SBY dengan mantra yang dimilikinya: kesan wibawa dan daya pikat komunikasi. Terbukti, beliau terpilih selama 2 periode.

Di Pemilu 2014, Jokowi menggantikan SBY. Jokowi, sebagai seorang Presiden, beliau juga memiliki mantra tersendiri: citra sederhana, orisinil, egaliter dan merakyat.

Mantra Jokowi

Setiap figur, entah seorang aktor besar maupun seorang Presiden, memiliki mantra yang menjadi kekuatannya dalam memikat hati idolanya. Mantra ini mampu menghipnotis persepsi publik. Sehingga publik terbuai dan secara tidak sadar membangun asumsi sendiri bahwa tidak ada alternatif figur yang dapat menggantikannya.

Kekuatan sebuah mantra adalah saat ia dapat memberikan “jampi-jampi” yang dapat mengontrol dan menentukan sudut pandang seseorang. Objek mantra tersebut (sebagaimana seorang gadis yang terkena ilmu pelet) masih memiliki kesadaran atas siapa dirinya, serta dapat menyebutkan nama orang-orang di sekitarnya. Ia masih tampak normal dan waras. Namun, sudut pandang-nya terhadap figur tertentu diubah dan dikendalikan, misalnya terhadap sesosok pria yang sebelumnya dibenci, setelah dipelet menjadi dicintai.

Mantra bertugas membentuk dan mengendalikan sudut pandang dan persepsi. Sehingga apa yang ada di dalam kepala objeknya sesungguhnya tidaklah lebih dari sebuah ilusi. Dalam bahasa Martin Heidegger, apa yang ada dalam fikiran seseorang tidak selalu memiliki representasinya dalam realitas (empiris). Sehingga asumsi yang keluar dari persepsi tersebut bisa jadi adalah preudo-reality, bahkan hyper-reality.

Dalam konteks Presiden Jokowi, bagaimana mantra tersebut bekerja? Ia bekerja dengan menggunakan sebuah instrumen berupa “story” (cerita). Dalam literatur marketing, “story telling” adalah metode yang paling efektif untuk mengikat, bahkan memerangkap, konsumen untuk tetap “stay” terhadap sebuah brand. Seperti halnya para pecinta film Shahrukh Khan, mereka tidak dapat lepas dari cerita yang ditontonnya. Emosinya bekerja, entah marah, geram, sebel, sedih, senang, lucu, semuanya sudah campur aduk menjadi satu. Perasaan pemirsa terlibat dalam cerita.

Sebagaimana Shahrukh Khan, agaknya Jokowi memiliki potensi menjadi seorang “pemain watak” yang luar biasa. Ia mampu membuat publik terpesona dengan penampilan dan gaya bicaranya, dan menjadikan fikiran publik masuk (involved) dalam “story” yang dipresentasikannya. Bahkan di saat publik merasa ketar-ketir akan terjadinya krisis ekonomi, Jokowi masih bisa menampilkan “jokes” santai tanpa dosa di depan para awak wartawan (kita tahu jokes tersebut menjadi video viral).

Story yang ada kemudian ditransformasi menjadi narasi yang ditaburkan ke benak publik, sehingga sudah mulai ada sebagian dari publik yang berkata: Siapa yang bisa menggantikan Jokowi? Saat pihak oposisi membuat tagar “2019Ganti Presiden”, respon yang kerapkali muncul adalah: “terus siapa yang bisa ganti?”, “okelah kalau mau ganti, tapi siapa penggantinya?”, dan semacamnya.

Padahal, fakta sejarah membuktikan bahwa bangsa Indonesia sesungguhnya telah memiliki kemampuan untuk melakukan regenerasi kepemimpinan nasional. Namun, narasi yang sedang digencarkan hari ini menjadi sebaliknya: seolah tidak ada tokoh yang mampu menggantikan Jokowi sebagai presiden. Publik seolah dibawa ke dalam sebuah “dunia” dimana satu-satunya presiden yang layak adalah Jokowi.

Agaknya mantra yang ditiupkan cukup berhasil “meng-entertain” emosi publik dengan melibatkan mereka ke dalam story yang dimainkan sang presiden. Apakah ini baik atau buruk? Biarkan publik yang menilai diri mereka sendiri. [mc]

*Ikhsan Kurnia, Penulis, Pengkaji Business and Political Branding.