Analisa

GANTI REZIM GANTI SISTEM: Sebuah Kaukus untuk Rekonsiliasi

Nusantarakini.com, Jakarta –

Senin siang tanggal 25 Mei 1998 itu Menteri Kehakiman Muladi didampingi oleh Bang Buyung Nasution dan Mas Bambang Widjojanto datang di Lapas Cipinang, khusus menemui aku.

Isteri dan beberapa anakku juga datang. Mereka sudah menunggu di PN Jakarta Selatan semenjak pagi, ternyata mobil tahanan dari Cipinang yang biasa membawaku untuk Sidang tidak datang. Isteriku bercerita, bahwa Sidang dalam Perkara Subversi itu akhirnya dibuka dan ditunda sampai waktu yang akan ditentukan. Dia juga mendengar dari beberapa Pembelaku, bahwa ada isyu aku dibebaskan hari itu dari Penjara. Karena itulah dia bergegas ke Cipinang.

Pak Muladi membawa Rancangan Keppres Nomor 80/1998 Presiden Habibie yang membebaskanku dari Cipinang. Aku kaget juga, karena aku baru menjalani hukuman setahun dan 20 hari dari dua tahun 10 bulan Vonis Hakim. Aku membaca rancangan Keppres itu, yang dibuat Akbar Tanjung, selaju Sekretaris Kabinet. Aku menolak rancangan Keppres itu, karena ada kata “pengampunan.”

“Saya menolak kata pengampunan dan saya tidak minta-minta diampuni,” kataku. Meskipun aku tegas, tentu penolakanku itu aku sampaikan dengan halus. Aku dan Muladi sering bertemu di Undip. Kami pernah bicara bersama tentang Pemisahan TNI dan Polri dalam suatu Seminar yang diselenggarakan para mahasiswa Undip. Tapi ketika Pak Muladi berusaha mendesakku menerima Keppres itu, aku minta isteriku membelikanku rantai dengan gembok untuk mengunci selku dari dalam, sekiranya aku dipaksa menerima Keppres itu. Aku minta rancangan Keppres itu diubah, juga dalam pertimbangannya harus memuat HAM dan khususnya Hak Akademis dan Menyampaikan Pendapat. Pak Muladi pulang dengan kesal, tapi berjanji mau memperbaiki. Bang Buyung dan Mas Bambang menyaksikan itu dengan penuh perhatian. Mereka adalah para Pembelaku, bersama Pak Assegaf, Luhut Pangaribuan dan lain-lain, baik dalam Perkara Penghinaan kepada Presiden di Jerman maupun Perkara Subversif.

Tengah malam Menteri Muladi serta juga Bang Buyung dan Mas Bambang datang lagi membawa Keppres yang sudah diperbaiki. Bang Buyung memberi isyarat kepadaku, bahwa semuanya sudah bagus, sesuai dengan Konstitusi dan mauku. Kata “pengampunan” sudah hilang, diganti dengan amnesti untuk Perkara Jerman yang sudah diputus, dan abolisi untuk Perkara Subversi yang masih menunggu Putusan Sela. Jam 2 pagi, aku keluar dari Penjara Cipinang.

Memang Pak Habibie menggunakan kewenangannya dalam Konstitusi Pasal 14. Entah lupa atau sengaja, aku tidak mendapatkan “rehabilitasi” dari Habibie, melainkan kemudian dari Benyamin Mangkudilaga dalam Putusan PT Tun-nya (1998) serta dari Majelis Hakim Peninjauan Kembali (PK, 2006).

Aku bersama sejumlah aktivis sempat berunjukrasa di sekitar rumah Pak Habibie, menolaknya menjadi Presiden RI, sekaligus mengucapkan terimakasih dan selamat berulang tahun pada 25 Juni 1998. Beberapa hari kemudian aku mendapat copy surat dari 15 Congressmen AS tertanggal 22 Mei 1998, yang, antara lain, pada butir pertama meminta Habibie agar aku dan sejumlah aktivis dikeluarkan dari tahanan (Tapol) dan penjara (Napol). Baru pada 2015 aku punya kesempatan bertandang ke rumah Pak Habibie dan menyinggung surat dari Congressmen AS itu, tapi beliau mengaku tidak pernah membacanya.

Mungkin ada ribuan aktivis dari Sabang sampai Merauke, mengalami penangkapan, penahanan, pengadilan dan pemenjaraan seperti yang aku alami, dari sejak Soekarno hingga sekarang. Bahkan tanpa diadili, seperti Hariman Siregar dan ratusan lainnya. Sutan Syahrir dan Buya Hamka adalah sedikit contoh di zaman Soekarno.

Hanya di zaman Habibie dan Gus Dur yang kiranya tidak ada tambahan Tapol dan Napol, khususnya yang menghina Presiden dan menghina Pemerintah. Pernah Pak Habibie menangkap 20 orang dari kami dengan tuduhan Makar, tapi hanya menahan 12 jam, lalu kami dilepas dengan dicegah ke luar negeri. Tapi yang ditembak mati di zaman Habibie mungkin lebih dari 30 orang, termasuk dalam Peristiwa Semanggi 1 dan 2, serta Pam-Swakarsa; tidak ada kelanjutan dari perkara-perkara itu sampai sekarang.

Dari ribuan Tapol dan Napol itu, meskipun semua oleh para Penyidik Polri dan Kejaksaan dianggap Kriminal karena “melanggar” pasal-pasal Pidana, hanya sebagian kecil saja yang berpredikat Ulama. Bahkan ketika Soeharto bersimaharajalela, tidak ada predikat Ulama dalam daftar Perkara Tanjung Priok ataupun Talangsari, kecuali tokoh mesjid dan pemuka agama. Jadi, ke mana saja para Ulama kita dalam Pergerakan dan Perjuangan melawan Kezaliman Penguasa?! Mereka hidup tenang di Pesantren-pesantren yang mereka pimpin, sambil menunggu hadiah dari kunjungan Presiden Soeharto dan Kerabat Istana, paling tidak menjelang Pemilu. Sisanya memberikan Doa Politik agar Pak Harto terpilih kembali dan terpilih kembali.

Barulah sesudah Peristiwa 9/11 ada istilah teroris dan radikalis. Tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia Islam. Indonesia juga dipaksa mengutip UU Anti Terorisme. Banyak yang terbunuh dan dibunuh dengan tuduhan Teroris, bahkan hanya Terduga Teroris. Pada hakekatnya mereka adalah Pemuda-pemuda Islam biasa yang memegang teguh Tali Allah dan menyeru kepada Keadilan. Tidak ada yang berpredikat Ulama, selain Abu Bakar Ba’asyir dan Habib Riziek Syihab. Aku pernah menengok mereka dan berfoto bersama di Rutan Salemba. Mungkin foto itu pula yang menyebabkan permintaan Visaku ke AS ditolak.

Kenapa Ulama-ulama Indonesia seperti apatis dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran?! Jawabannya yang mungkin hanya satu: Wilayah Kita Berbeda. Ulama punya wilayah Mensyiarkan Agama, sedang Aktivis punya wilayah Menata Negara. Kedua wilayah itu saling mempengaruhi, bahkan seperti menyatu, tidak bisa dipisahkan. Tapi bagi para pelakunya ada upaya membatasi diri. Tentulah seperti Ahli Agama tidak sama dengan Ahli Tata Negara. Kalau Ulama memilih berdakwah, Aktivis memilih berunjuk rasa. Contoh ekstrimnya, kalau Aktivis berpikir tentang Sidang Istimewa MPR untuk mencabut mandat Penguasa Zalim, maka Ulama memilih membangun Rekonsiliasi dengan kekuasaan, sekalipun zalim. Yang intinya tidak ingin berbenturan dengan pihak penguasa. Karena itu banyak Aktivis yang ditangkap dan dipenjara.

Dari sejak Soekarno dan Hatta berjuang untuk kemerdekaan di zaman Belanda semuanya juga berjalan seperti itu. Yang keluar dan masuk tahanan dan penjara serta dibuang-buang juga para Kaum Pergerakan. Tak terdengar cerita Belanda atau Jepang mengejar-ngejar Ulama. Hanya mendengar ketika Inggris dan Belanda mau kembali menjajah pasca Jepang kalah perang. Di Jawa Timur para Ulama ikut bergerak menghadapi mereka. Termasuk mereka yang tergabung dalam Tentara Pelajar dan Tentara Keamanan Rakyat serta mantan PETA/Pembela Tanah Air ternyata sebagian adalah juga para Kyai dan Tokoh Agama. Setelah TNI terbentuk dan kuat seperti sekarang, para Kyai dan Ulama kembali pada tugas dan fungsi mereka mensyiarkan agama.

Dalam Aksi Bela Islam 411 dan 212 mereka yang berstatus Ulama sangat jauh dibanding jutaan Pemuda dan Mahasiswa biasa, serta Ibu-ibu. Bukan Ahli Agama yang ikut turun membela Islam. Orang-orang macam kami juga tidak rela Islam dihina dan dinista orang macam Ahok. Kami.turun bukan karena dipanggil Habib dan para Ulama. Kontribusi para Ulama itu adalah dalam menentukan waktu untuk berkumpul; bukan pula karena hari Jumatnya.

Kami juga menolak kalau para Ulama dan Kyai harus mengalami nasib dikriminalisasi oleh Rezim yang jelas-jelas bersimpati membela Ahok. Bahkan termasuk orang-orang dan lembaga-lembaga Asing yang ikut-ikutan membela Penista Islam itu. Tetapi dalam kenyataannya, hampir semua yang ditangkap, ditahan, diadili dan dipenjara adalah para Pemuda, Mahasiswa dan Aktivis yang kritis; termasuk Ibu-ibu Rumah Tangga. Tapi kami juga tidak sudi berdamai dengan Rezim lewat Rekonsiliasi. Kami telah bertentangan dengan Rezim, bahkan Rezin-Rezim jahat sebelumnya, jauh hari sebelum Jokowi dan Ahok muncul ke permukaan.

Pertentangan kami lebih mengerucut ketika orang-orang Asing ini mengubah Konstitusi UUD45 Asli menjadi UUD PALSU. Justru UUD PALSU inilah yang digunakan untuk memunculkan Rezim Joko-Jeka yang kemudian bekerjasama dengan para Pengkhianat Domestik dan Penjajah Asing. Kami tidak sekedar membela Rakyat, Bangsa dan Negara, tapi juga Islam. Rezim ini tidak lebih dari beberapa puluh atau ratus orang saja; sedang kami berjuang untuk 260an juta nyawa yang mayoritas dan miskin adalah orang Islam.

Kalau sekedar masalah rindu dengan Habib silahkan saja; banyak caranya! Kalau mau menyelamatkan Habib dari Kriminalisasi Rezim, kami juga ikut membantu. Tapi hanya demi seorang Habib, lalu berdamai dengan Rezim, melalui program rekonsiliasi, silahkan berjalan sendiri. Soekarno dan Hatta pun tidak pernah meminta amnesti dan abolisi kepada para Penjajah. Mereka melawan penjajah dan alhamdulillah Indonesia merdeka!

Kami akan terus melawan Rezim yang tidak hanya bermaksud membikin kekacauan yang melemahkan Rakyat, Bangsa, Negara dan Islam, tapi juga membawa Asing untuk menjarah, menjajah dan menghancurkan Indonesia. Bagi kami tidak ada pilihan lain, Rezim harus dihentikan, dilawan, dimundurkan dan dijatuhkan. Kita cari pemimpin baru. Mari kita bekerja sama. Ulama, Pemuda, Mahasiswa dan Aktivis, serta Kaum Pergerakan, agar lebih mudah menghadapi Rezim. Tapi kalau mau berdamai, kami akan berjalan sendiri; sekalipun jumlah kami kecil. Sejarah akan mencatat!

Janganlah kesalahan mengira Habib mau pulang menambah kredibilitas umat Islam Indonesia menjadi bahan tertawaan…! Dan jangan lupa Abu Bakar Ba’asyir yang mungkin dalam keadaan sekarat! [mc]

*Sri-Bintang Pamungkas, Penasehat Musyawarah Rakyat Indonesia (MRI).

Terpopuler

To Top