Survei LSI: Pilpres 2019, Akankah Jokowi Terpilih Kembali?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Seberapa besar peluang seorang presiden yang sedang memerintah (incumbent/pertahana) terpilih kembali, jika ia ikut bertarung dalam pilpres berikutnya?

Jika kita melihat data statistik Indonesia sejak pemilu langsung, jawabnya jelas. Baru tiga kali kita melaksanakan pilpres langsung: 2004, 2009, 2014. Namun baru dua kali, pertahana presiden bertarung kembali: Presiden Megawati di 2004. Dan presiden SBY di 2009.

Pada pemilu 2014, tak ada presiden yang bertarung. Presiden SBY sudah memangku jabatan dua periode. Konstitusi melarangnya. Pilpres 2014 terjadi tanpa kehadiran pertahana selaku peserta.

Di tahun 2004, pertahana presiden kalah. Di tahun 2009, pertahana presiden menang. Sejarah Indonesia menunjukkan angka. Sebesar 50 persen kemungkinan pertahana presiden terpilih kembali. Sebanyak itu pula, kemungkinan 50 persen pertahana dikalahkan.

Bagaimana di Amerika Serikat? Berdasarkan data 18 kali pemilu presiden terakhir yang pertahana maju kembali untuk periode kedua, prosentase juga ketat. Sebanyak 10 kali pertahana presiden menang. Sebanyak 8 kali pertahana presiden dikalahkan. Prosentase pertahana untuk menang dalam pilpres Amerika Serikat untuk kasus di atas sebesar 55 persen.

Berdasarkan dua kasus Indonesia dan Amerika, ini gambarannya. Sebesar 50-55 persen pertahana presiden akan menang. Namun sebesar 45-50 persen pula pertahana akan dikalahkan.

Apakah data statistik ini berita baik atau berita buruk buat Jokowi selaku pertahana, dan penantangnya?

LSI memberikan gambaran lebih detail berdasarkan survei nasional paling mutakhir. Ini lima isu paling hot untuk pilpres zaman now.

–000–

ISU PERTAMA: Jokowi Kuat Tapi Belum Aman

Survei LSI Denny JA, Januari 2018 menunjukan elektabilitas Jokowi saat ini 48.50 %. Elektabilitasnya masih dibawah 50 %. Dan ada dukungan sebesar 41.20 % yang menyebar kepada para kandidat capres lainnya.

Sebesar 41.20 % itu angka total atau gabungan dari dukungan pemilih terhadap sejumlah kandidat capres diluar Jokowi. Dan sebesar 10.30 % yang belum menentukan pilihan.

Demikianlah salah satu temuan survei nasional LSI Denny JA. Survei nasional ini survei nasional reguler LSI Denny JA. Responden sebanyak 1200 dipilih berdasarkan multi stage random sampling.

Wawancara tatap muka dengan responden dilakukan serentak di 34 propinsi. Waktu survei dari tanggal 7 sampai tanggal 14 Januari 2018. Survei dibiayai sendiri sebagai bagian layanan publik LSI Denny JA. Margin of error plus minus 2.9 persen.

Survei dilengkapi dengan riset kualitatif seperti FGD, media analisis, dan depth interview narasumber.

Mengapa disimpulkan Jokowi kuat tapi belum aman?

Saat ini elektabilitas Jokowi masih tertinggi  dibanding semua capres yang disimulasikan. Bahkan total dukungan semua capres diluar Jokowi jika digabung (41.20 %) masih dibawah Jokowi (48.50%).

Kepuasan terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden diatas 70 %. Sementara ada 21.30 % publik yang menyatakan kurang puas.

Dua variabel di atas membuat Jokowi kuat. Namun tiga variabel di bawah ini membuatnya belum aman.

Dalam jumlah besar, publik tak puas dengan kondisi ekonomi. Masalahnya, isu ekonomi adalah isu terpenting yang membuat pertahana terpilih atau dikalahkan.

Sebesar 52.6 % responden menyatakan harga-harga kebutuhan pokok makin memberatkan mereka. Sebesar 54.0 % menyatakan lapangan kerja sulit didapatkan. Dan sebesar 48.4 % responden menyatakan pengangguran semakin meningkat.

Jokowi rentan pula terhadap isu primordial. Kekuatan dan isu Islam politik diprediksikan akan mewarnai Pilpres 2019 seperti yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta, dalam kadar berbeda.

Islam politik itu terminologi untuk segmen pemilih yang percaya, yakin hakul yakin, politik tak bisa dipisahkan dari agama.

Untuk pemilih Indonesia, jumlah segmen Islam Politik cukup besar. Sebesar 40.7 % publik menyatakan tidak setuju agama dan politik dipisahkan. Sementara 32.5 % publik menyatakan agama dan politik harus dipisahkan.

Dari mereka yang menyatakan agama dan politik harus dipisahkan, mayoritas (58.6%) mendukung kembali Jokowi sebagai presiden.

Sementara mereka yang tidak setuju agama dan politik harus dipisahkan mayoritas mendukung capres lain diluar Jokowi (52.1 %). Walaupun Jokowi juga  masih memperoleh dukungan sebesar 40.8 % di segmen ini.

Islam politik versus bukan Islam politik ternyata punya prilaku politik berbeda terhadap memilih atau melawan Jokowi.

Merebak pula isu buruh negara asing. Terutama isu tenaga kerja yang berasal dari Cina. Di tengah sulitnya lapangan kerja dan tingginya pengangguran di berbagai daerah, isu tenaga kerja asing sangat sensitif.

Isu ini secara nasional memang belum populer karena belum banyak publik tahu. Survei menunjukan baru 38.9 % pemilih mendengar isu ini.

Dari mereka yang mendengar, 58.3 % menyatakan sangat tidak suka dengan isu itu. Hanya 13.5 % yang menyatakan suka.

Tiga isu ini akan menjadi tiga isu kunci yang menentukan kemenangan Jokowi dalam pilpres nanti. Jokowi akan makin kuat dan perkasa jika tiga isu ini dikelola dengan baik. Dan sebaliknya Jokowi akan melemah jika tiga isu ini terabaikan. Apalagi jika tiga isu itu digoreng, bulak balik, oleh lawan politik.

–000–

ISU KEDUA: Siapakah penantang terkuat Jokowi? Siapakah yang bisa mengalahkannya? Mereka yang bisa mengalahkan pertahana acapkali bukan karena semata daya tarik pertahana itu. Tapi dalam jumlah yang signifikan, ia dapatkan “bola muntah,” atau “umpan lambung,” segmen pemilih yang tak suka pertahana.

LSI Denny JA membagi penantang ke dalam 3 divisi. Pembaginya berdasarkan tingkat popularitas (tingkat pengenalan) masing-masing capres penantang Jokowi. Popularitas penting karena sebagai modal awal para tokoh untuk bertarung.

Divisi 1 untuk tokoh/capres yang popularitasnya diatas 90 %. Dari nama-nama yang akan bertarung hanya Prabowo Subianto yang masuk ke dalam Divisi 1. Popularitas Prabowo diangka 92.5 %.

Ternyata penantang divisi satu penghuninya hanya satu tokoh saja: Prabowo Subianto. Divisi satu sungguh tempat yang sepi dan sunyi.

Divisi 2 untuk tokoh/capres yang popularitasnya diantara 70-90 %. Tokoh yang masuk ke dalam divisi 2 ini hanya Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Popularitas Anies Baswedan sebesar 76.7 %. Dan Popularitas AHY sebesar 71.2 %.

Hiruk pikuk pilkada DKI menjadi panggung nasional bagi dua tokoh ini.

Divisi 3 untuk tokoh/capres yang popularitasnya di antara 55-70%. Tokoh yang memenuhi kriteria ini hanyalah Gatot Nurmantyo. Popularitas Gatot sebesar 56.5 %.

Sayangnya sejak pensiun, kiprah Gatot memudar. Padahal ibarat pentas, penonton masih rindu dan bertepuk tangan menanti atraksinya.

LSI Denny JA memprediksi 4 nama ini yang kemungkinan besar menjadi penantang Jokowi di Pilpres 2019 nanti.

–000–

ISU KETIGA: bagaimana dengan wakil presiden?

Ada 5 (lima) jenis bursa wapres di Pilpres 2019 nanti. Kelima jenis itu berasal dari panggung berbeda.

Ada wapres berlatar belakang militer. Hadir pula wapres berlatar belakang Islam. Tak tinggal wapres berlatar belakang partai politik. Ikut menyemarakkan wapres berlatar belakang gubernur provinsi strategis. Jangan lupa pula wapres berlatar belakang profesional.

Untuk wapres berlatar belakang militer, tiga nama ini paling menonjol. Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan popularitas sebesar 71.2 %. Gatot Nurmantyo dengan popularitas sebesar 56.5 %. Moeldoko dengan popularitas 18.0%.

Meskipun popularitas Moeldoko masih rendah, namun masuknya Moeldoko dalam kabinet Jokowi membuka peluang memainkan langkah gambit.

Dari bursa cawapres berlatar belakang Islam, ada 2 nama yang berpeluang dibanding tokoh yang lain. Kedua nama tersebut Muhaimin Iskandar (Cak Imin) popularitasnya sebesar 32.4 %. Cak Imin sudah pula mulai aktif melakukan sosialisasi sebagai cawapres.

Dan satu lagi, TGH M. Zainul Majdi (TGB), yang popularitasnya sebesar 13.9 %. Sungguhpun tingkat pengenalan Zainul Majdi masih rendah, namun tingkat kesukaan publik yang mengenalnya sangat tinggi, di atas 70 persen.

Jika saja cukup waktu bagi Zainul Majdi memperkenalkan diri, ia bisa menjelma darah Baru. Bagi yang mengenal, Zainul dipersepsikan sebagai gubernur muslim yang taat dan berhasil membangun daerahnya di NTB.

Dari bursa cawapres dari latar belakang partai politik, ada 2 (dua) nama yang muncul. Airlangga Hartarto, sebagai Ketua Umum partai Golkar dan Budi Gunawan. Budi Gunawan saat ini menjabat sebagai Kepala BIN. Sejarah membawanya melambung dengan simbol PDIP.

Sementara Airlangga Hartarto juga datang tak terduga. Sejarah pula yang membawanya menjadi ketum Golkar dalam “injury time,” dan momen menentukan.

Cawapres berlatar belakang partai hanya dimasukan PDIP dan Golkar, karena kedua partai ini punya kekuatan bargaining lebih besar di banding partai lain.

Dari bursa cawapres yang berasal dari provinsi strategis yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, hanya Anies Baswedan yang sementara ini muncul. Ketiga provinsi besar lain baru akan melakukan pemilihan kepala daerah Juni 2018 nanti.

Keempat daerah ini disebut strategis karena populasi pemilih besar. Keempat daerah ini juga punya daya tarik media.

Selesai pilkada 2018 nanti, gubernur baru yang terpilih di Jabar, Jateng dan Jatim potensial pula menjadi kandidat wapres yang seksi.

Bagaimana dengan panggung cawapres dari kalangan profesional? Tersedia 4 nama di sana. Ada 2 nama berasal dari kabinet kerja Jokowi: Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani.

Hadir pula dua nama di luar kabinet. Mereka tokoh pungusaha mewakili wilayah barat dan timur. Chairul Tanjung pengusaha sukses pemilik CT Corp. Aksa Mahmud, pengusaha sukses berasal dari Sulawesi Selatan, pemilik Bosowa Corp. Aksa Mahmud juga adalah iparnya Jusuf Kalla.

–000–

ISU KEEMPAT, jangan lupakan kabinet. Kurang lebih dua tahun menjelang berakhirnya Kabinet Kerja, kepuasaan terhadap kinerja kabinet cukup memuaskan.

Mereka yang puas (sangat puas dan cukup puas) terhadap kinerja kabinet sebesar 55.25 %.  Sedangkan mereka yang menyatakan kurang puas sebesar 25.66 % terhadap kinerja kabinet.

Survei juga menanyakan tentang kepuasaan publik terhadap kinerja masing-masing kementrian. Evaluasi publik terhadap kinerja masing-masing kementrian tentunya berbeda dengan evaluasi riil dan objektif yang dilakukan oleh lembaga yang kompeten.

Karena evaluasi publik terhadap kementrian lebih banyak dipengaruhi oleh opini dan informasi terkait program atau personal menterinya di media. Dari evaluasi tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan memperoleh peringkat tertinggi.

Sebesar 25.3 % menyatakan kinerja Susi Pudjiastuti paling memuaskan. Sebesar 20.5 % menyatakan kinerja Sri Mulyani paling memuaskan.

Di posisi ketiga, meskipun agak jauh dari dua nama sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang dinilai memuaskan, yaitu sebesar 11.5 %.

Kepuasan publik terhadap Airlangga terbantu dengan public expose sebagai ketua Umum Golkar.

Kementerian yang lain rata-rata kepuasaan bervariasi namun dibawah 10 %, jika ditotal dan digabung sebesar 22.5 %.

Yang populer di mata publik tentu belum tentu yang paling berprestasi jika diukur dengan KPI (Key Performance Index). Namun setidaknya tiga menteri itu berhasil dari sisi PR (Public Relations) pada opini publik.

–000–

ISU KELIMA: apa yang terjadi jika pilpres 2019 rematch pilpres 2014? Kembali Jokowi dan Prabowo berhadapan. Apa yang terjadi jika pilpres 2019 tarung ulang? The rematch of two big “titans?”

Jika ini terjadi, yang pasti Partai Gerindra akan sangat diuntungkan. Ini pertama kali pemilu nasional serentak. Dalam satu TPS dan satu momen, pemilih mencoblos capres dan partai dalam pemilu legislatif.

Besar kemungkinan mereka mencoblos capres (untuk pilpres) sejalan dengan mencoblos partai utama sang capres (untuk pileg).

Hadir menjadi kandidat terkuat penantang Jokowi, Prabowo otomatis melambungkan Partai Gerinda. Itu akan menjadi marketing strategis bagi Gerindra sendiri.

Tapi akankah pemerintahan baru kembali lambung dan linglung di masa paska pilpres 2019, sebagaimana paska pilpres 2014?

Perlu dipertimbangkan dalam pilpres 2019, satu inovasi yang disebut Coopetiton. Istilah ini mengacu pada competition dan cooperation: berkompetisi kemudian bekerja sama.

Agar terbentuk pemerintahan yang kuat, capres yang bertarung dalam pemilu dapat bekerjasama setelah selesai pemilu.

Dua capres utama bisa membentuk pemerintahan bersama. Yang menang mengajak yang kalah dalam pemerintahan baru. Ini akan mengurangi ketegangan pemerintahan baru seperti yang terjadi di tahun 2014.

Tapi apa iya akan terjadi Rematch of the Big Titans? Survei LSI Denny JA akan hadir berkala menjawabnya. Terus menganalisis hingga datang subuh menjelang pilpres 2019. [mc]

Feb 2018

*Denny JA

Sumber: https://t.co/OdoZf1fdRv