PISPI: Stop Impor Beras, Bentuk Kelembagaan Pangan dan Investigasi Mafia Pangan! Ini Alasannya

Nusantarakini.com, Jakarta –

Berdasarkan informasi yang dihimpun Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI),  secara historis gejolak harga beras mulai dirasakan sejak November 2017 yang terus merangkak naik. Awal pekan Januari 2018 Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita langsung merespon dengan keputusan impor beras sebanyak 500 ribu ton dari Thailand dan Vietnam. Beras impor diperkirakan akan tiba di Indonesia pada akhir Januari mendatang. Menteri Perdagangan (Mendag) beralasan impor dilakukan demi mengamankan pasokan beras di pasar.

Berbeda dengan Mendag, Menteri Pertanian Amran Sulaiman justru menyampaikan persediaan beras cukup. Kementan mengklaim bahwa sepanjang tahun 2017 Indonesia telah memproduksi gabah sebanyak 80 juta ton. Dengan angka rendemen 63 persen maka didapat beras sekitar 50 juta ton atau surplus sekitar 10 – 20 juta ton. Belum lagi pada bulan Januari 2018 produksi beras bertambah sebanyak 2,8 juta ton, kemudian Februari yang merupakan masa awal panen raya sebesar 5,4 juta ton. Puncak panen raya beras akan terjadi pada bulan Maret yaitu sebesar 7,4 juta ton dan akan berlanjut hingga April sebesar 5,5 juta ton. Apabila di akumulasikan kebutuhan beras rumah tangga 2 – 2,5 juta ton perbulan ditambah kebutuhan industri, bisa dikatakan bahwa kita selalu mengalami surplus beras. Demikian pandangan dan pernyataan sikap Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) yang diterima redaksi Nusantarakini.com, yang dengan tegas menyatakan, “stop impor beras, bentuk kelembagaan pangan, dan investigasi mafia pangan!”

Ketua Dewan Pengawas PISPI Salman Dianda Anwar menyampaikan, PISPI berpandangan bahwa seharusnya persediaan beras tidak berkurang, terlebih Bulog masih memiliki persedian beras digudang sebesar 800-900 ribu ton untuk menstabilkan harga beras sampai pertengahan Februari ketika awal masa panen raya padi terjadi.

“Sehingga secara tegas PISPI menolak impor beras yang diputuskan Menteri Perdagangan, karena akan berdampak pada penurunan harga gabah dan beras petani disaat musim panen pada bulan Februari-April 2018,” tegas Salman kepada Nusantarakini.com, Jakarta, Kamis (18/1/2018).

Menurut Salman, jika impor masih tetap dilakukan, PISPI mengingatkan Presiden Jokowi untuk konsisten dan konsekuen dalam menjalankan janji-jani Nawa Cita. Sebagaimana pidato pada tanggal 9 Desember 2014 di UGM yang meyatakan “Saya sudah beri target kepada Menteri Pertanian, tiga tahun maksimal harus swasembada, tidak boleh lebih dari tiga tahun. Beras terutama dan selanjutnya gula, jagung, kedelai semuanya, lima tahun sudah ketemu semuanya. Saya sudah diberi hitung-hitungan, hati-hati. KALAU TIGA TAHUN TIDAK SWASEMBADA, SAYA GANTI MENTERINYA.  Yang dari Fakultas Pertanian bisa ngantri dulu kalau tidak swasembada, tapi saya meyakini bisa.”

Sementara itu Wakil Ketua Umum Badan Pengurus Pusat PISPI, Achmad Tjahja N menyampaikan, secara ideal PISPI berpandangan, Perum Bulog harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menstabilkan harga pangan. Saat ini, kata dia, Perum Bulog hanya dibawah koordinasi Menteri BUMN sehingga dikuatirkan Perum Bulog memiliki kewenangan terbatas yang tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik.

“Kami juga menilai beras yang harus tersedia di gudang Bulog paling tidak sebanyak 4 juta ton setiap tahun. Namun kenyataan dilapangan, Bulog dalam tiga tahun terakhir ini hanya mampu menyerap tidak lebih dari 3 juta ton setiap tahunnya,” ucap Tjahja.

Disisi lain, lanjut Tjahja, Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang digunakan Bulog untuk membeli GKP, GKG dan beras petani kalah bersaing dengan para tengkulak dan spekulan pangan, maka perlu diatur ulang regulasi yang menguatkan peran bulog bukan malah sebaliknya.

“Kemudian keterlibatan instansi lain (diluar Perum Bulog) dan program Kemensos dalam penyaluran Bantuan Sosial Rastra (Bansos Rastra) dan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sebenarnya justru melemahkan peran Bulog. Sampai saat ini penerima rastra tercatat sekitar 15.530.897 RTS atau setara dengan 2.5 jt ton beras. Subsidi Rastra yang sudah berjalan selama 19 tahun, mengalami perubahan sistem penyaluran dan mekanismenya,” bebernya.

“Program ini justru akan diserahkan kepada mekanisme pasar, karena pada tahun 2019 mendatang Bansos Rastra ditiadakan. Kemudian menjadi program BPNT 100 persen dengan pelaksana Himpunan Bank Negara (HIMBARA) yang bukan sebagai institusi yang berwenang dibidang pangan,” imbuh Tjahja.

Salman juga menambahkan, bahwa dengan perubahan itu, masyarakat hanya mendapatkan beras sebanyak 10 kg dari yang semula 15 kg, dan tentu 15 juta masyarakat akan berubah pola konsumsinya. Yang sebelumnya tidak perlu membeli beras, namun saat ini harus memenuhi kekurangan konsumsi sebesar 5-10 kg di akhir bulan November – Desember.

“Hal ini lah yang menjadi salah satu penyebab terjadi peningkatan permintaan beras di pasar,” ungkap Salman.

Menurut Salman, fungsi Bulog secara kelembagaan sesungguhnya sudah bisa diperkuat melalui mandat UU No 18 tahun 2012 tentang pangan yakni dengan membentuk kelembagaan pangan. Namun pemerintah sampai saat ini melanggar mandat UU Pangan karena sudah lebih dari lima tahun kelembagaan pangan belum juga dibentuk. Padahal menurut Pasal 151 UU Pangan, LEMBAGA PEMERINTAH YANG MENANGANI BIDANG PANGAN HARUS TELAH TERBENTUK PALING LAMBAT 3 (TIGA) TAHUN SEJAK UNDANG-UNDANG INI DIUNDANGKAN, yakni bulan November 2015.

“PISPI mengusulkan kelembagaan pangan tersebut dengan nama Badan Otoritas Pangan Nasional (BPON). BOPN merupakan lembaga tersendiri yang berkonsentrasi dan mampu mensinkronisasikan berbagai kebijakan pangan mulai dari pengadaan beras, satgas pangan, dan juga bertanggung jawab langsung kepada Presiden. PISPI mendorong agar BOPN segera dibentuk, yang akan memperkuat peran Bulog dan lembaga pangan terkait lainnya,” tutur Salman.

Terkait investigasi mafia pangan, Ketua Kajian Strategis PISPI, Pipink A Bisma mengatakan, kisruh beras saat ini mengungkap bahwa telah terjadi perbedaan dan mis-koordinasi dalam pemerintahan saat ini. Menurutnya, satu sisi Menteri Pertanian mengklaim bahwa Indonesia pada tahun 2017 surplus beras sehingga tidak perlu Impor; di sisi lain Menteri Perdagangan menyatakan bahwa stok beras menipis yang menyebabkan harga naik sehingga harus impor.

“Menunjuk kondisi tersebut PISPI mendorong agar Presiden Jokowi harus segera mengevaluasi Menteri-menteri terkait yang menimbulkan kegaduhan dimasyarakat. Untuk itu PISPI mendesak Presiden melakukan investigasi selain melaui Satgas Pangan terhahadap data pangan yang tidak valid dan adanya dugaan mafia pangan dalam keputusan impor beras,” beber Pipink memungkasi. [mc]