Sejarah

Indonesia Menjelang Ajal, Yok Bercermin Ke Mekkah Pra Islam

Nusantarakini.com, Jakarta –

Salah satu fungsi sejarah ialah tempat bercermin atas keadaan zaman yang kita hadapi. Indonesia perlulah agaknya bercermin pada situasi Mekkah pra Islam berjaya di sana.

Rasanya, melihat corak sosial politik masyarakat Mekkah pada masa pra Islam itu, tampaklah banyak persamaan dengan Indonesia sekarang. Ini bukan hendak bermaksud mengejek Indonesia yang kita tegakkan ini. Tapi sekedar bercermin, supaya dapatlah kiranya pembaca mengambil iktibar.

Sekarang mari ke pokok persoalan. Siapa tahu pembaca dapat inspirasi. Bila kita Indonesia hari ini punya gedung parlemen tempat merundingkan dan memutuskan perkara sesuai kepentingan dan pendapat partai-partai, maka jangan terkejut, Mekkah dulu juga punya Darun Nadwah.

Darun Nadwah ini tempat dan forum diputuskannya perkara secara bergotong-royong. Baiklah kita uraikan sedikit di sini apa itu Darun Nadwah dan bagaimana gambaran peranannya.

Begitu kaum Musyrikun melihat betapa para shahabat Rasulullah telah berkemas-kemas untuk berhijrah dengan membawa dan menggiring keturunan dan anak-anak serta harta mereka menuju perlindungan kaum Aus dan Khazraj, maka terjadilah kegemparan di kalangan mereka yang menimbulkan ketidakstabilan dan perasaan bercampur sedih. Perasaan cemas yang selama ini belum pernah mereka alami, kini menghantui mereka. Bahaya nyata dan serius yang akan mengancam sendi-sendi paganis dan ekonomi mereka telah menampakkan wujudnya di hadapan mereka. Mereka mengetahui persis sosok Muhammad Saw yang memiliki pengaruh yang begitu besar plus gaya kepemimpinan (leadership) dan pengarahan yang sempurna. Demikian pula dengan tekad bulat, istiqamah serta pengorbanan diri di jalan Allah yang dimiliki oleh para shahabatnya. Belum lagi kekuatan dan ketangguhan yang dikenal dari suku Aus dan Khazraj dan para cendikiawan kedua suku yang memiliki naluri perdamaian dan keshalihan serta mampu mengajak untuk membuang rasa dendam diantara kedua belah pihak setelah selama bertahun-tahun lamanya mereka menelan pahitnya perang saudara.

Kaum Musyrikun juga mengetahui letak strategis kota Madinah untuk lalu-lintas jalur perdagangan yang melewati pinggir pantai Laut Merah dari arah Yaman hingga menuju kawasan Syam. Penduduk Mekkah sejak dari dulu melakukan transaksi dagang sebesar seperempat juta dinar emas per-tahunnya ke kawasan Syam. Jumlah ini di luar hasil bumi yang dimiliki oleh daerah Thaif dan daerah lainnya. Sebagai dimaklumi, bahwa perdagangan hanya berjalan bilamana stabilitas keamanan di jalur perdagangan tersebut terjamin.

Tidak asing lagi tentunya bilamana dakwah Islamiyah sudah berpusat di Yatsrib, maka hal ini akan sangat membahayakan sekali bagi kaum Quraisy, apalagi bila penduduknya berseteru dengan mereka.

Kaum Musyrikun telah merasakan betapa seriusnya bahaya yang akan mengancam kelangsungan sendi kekuasaan mereka. Karenanya, mereka membahas sarana yang paling manjur guna menghadang bahaya tersebut. Bahaya yang sumber utamanya tidak lain adalah pemangku panji Islam, Muhammad Saw.

Maka, pada hari Kamis, tanggal 26 Shafar 14 kenabian, yang bertepatan dengan bulan september 622 M – yakni setelah lebih kurang dua bulan setengah dari berlangsungnya Bai’at Kubro – parlemen Mekkah (Darun Nadwah) mengadakan pertemuan yang paling kritis dalam sejarahnya, tepatnya pada permulaan siang. Pertemuan ini dihadiri oleh semua perwakilan kabilah-kabilah Quraisy guna mempelajari langkah pasti yang dapat menjamin keberhasilan secara cepat di dalam menghabisi pemangku panji dakwah Islam tersebut dan memutus aliran cahayanya sehingga eksistensinya berakhir untuk selama-lamanya.

Diantara wajah-wajah terpandang yang mewakili kabilah-kabilah Quraisy yang hadir dalam pertemuan yang amat kritis itu adalah: Abu Jahal bin Hisyam, mewakili kabilah Bani MakhzumJubair bin Muth’imThu’aimah bin ‘Adiyal-Harits bin ‘Amir (ketiganya mewakili Bani Naufal bin ‘Abdi Manaf)Syaibah bin Rabi’ah‘Utbah bin Rabi’ahAbu Sufyan bin Harb (ketiganya mewakili Bani ‘Abd Syams bin ‘Abdi Manaf)an-Nadlar bin al-Harits, mewakili Bani ‘Abd ad-DarAbul Bukhturiy bin HisyamZam’ah bin al-AswadHakim bin Hizam (ketiganya mewakili Bani Asad bin ‘Abd al-‘Uzza)Nabih bin al-HajjajMunabbih bin al-Hajjaj (keduanya mewakili Bani SahmUmayyah bin Khalaf, mewakili Bani Jumah

Tatkala mereka telah berdatangan menuju Darun Nadwah sesuai janji yang telah ditentukan, datanglah Iblis menghadang mereka dalam rupa seorang tua yang berwibawa dan mengenakan pakaian yang tebal. Dia berdiri di depan pintu. Para hadirin itupun menegurnya, “Siapa gerakan bapak tua?.” Dia menjawab, “Orang tua, penduduk Najd yang telah mendengar perihal tujuan karenanya kalian bertemu. Dia datang bersama kalian untuk mendengar apa yang akan kalian katakan, barangkali saja pendapat dan nasehatnya berguna bagi kalian.” Mereka berkata, “Baiklah, silahkan masuk!.” Lalu diapun masuk bersama mereka.

Sidang Parlemen Dan Kesepakatan Terhadap Keputusan Keji Untuk Membunuh Nabi

Setelah pertemuan dilangsungkan, maka mulailah diajukan beberapa usulan dan solusi serta terjadilah perdebatan yang alot.

Dalam pada itu, Abul Aswad berkata, “Kita usir dia dari tengah-tengah kita dan membuangnya dari negeri ini. Kita tidak perlu peduli, kemana dia pergi dan apa yang kiranya terjadi terhadap dirinya. Dengan demikian, kita telah memperbaiki urusan kita dan mengembalikannya seperti kondisi semula.”

Si orang tua dari Najd menimpali, “Demi Allah, tidak demikian. Ini bukanlah pendapat yang tepat. Bukankah kalian sudah mengetahui betapa indah cara bicaranya, manisnya ucapannya dan betapa kemampuannya menguasai hati-hati manusia terhadap ajaran yang dibawanya? Demi Allah, andaikata kalian lakukan seperti yang diusulkan tadi, niscaya kalian tidak akan dapat menjamin bilamana dia singgah di suatu perkampungan Arab, lantas membawa mereka kepada kalian – setelah mereka tunduk terhadapnya- hingga dia mampu menginjak-injak kalian melalui mereka di negeri kalian ini, untuk kemudian memperlakukan kalian sesuka hatinya. Karenanya, rancanglah pendapat selain ini.”

Lalu Abul Bukhturiy berkata, “Kurung dia di dalam kerangkeng besi, kunci pintunya lalu kalian tunggu apa yang akan dialaminya sebagaimana para penyair sebelumnya seperti Zuhair dan an-Nabighah dan orang-orang dulu selain mereka mati dengan cara ini, sehingga dia juga bisa merasakan apa yang pernah dirasakan oleh mereka itu.”

Si orang tua dari Najd mengomentari, “Demi Allah, tidak juga demikian. Ini bukanlah pendapat yang bagus. Demi Allah, andaikata kalian kurung dia sebagaimana yang kalian katakan, niscaya masalahnya akan mampu keluar dari balik jeruji yang kalian kunci ini berpindah kepada para shahabatnya. Sungguh, mereka pasti akan menyerang kalian, lantas merampasnya dari tangan kalian kemudian datang secara beramai-ramai kepada kalian hinga mengalahkan kalian dan rencana kalian. Karena itu, ini bukanlah pendapat yang tepat, coba pikirkan yang lainnya.”

Setelah parlemen menolak kedua pendapat tersebut, lalu diajukanlah usulan keji yang kemudian disepakati oleh semua anggota. Usulan ini dilontarkan oleh penjahat kelas kakap Mekkah, Abu Jahal bin Hisyam. Dia berkata, “Demi Allah, aku memiliki pendapat yang aku kira belum terpikirkan oleh kalian.”

Mereka bertanya-tanya kepadanya, “Apa gerangan pendapatmu itu, wahai Abul Hakam!.”

“Aku berpendapat bahwa kita harus memilih seorang pemuda yang gagah dan bernasab baik sebagai perantara kita, kemudian kita berikan kepada masing-masing mereka pedang terhunus, lalu mereka arahkan kepadanya, menebasnya secara serentak seakan tebasan satu orang untuk kemudian membunuhnya. Dengan begitu, kita bisa terbebas dari ancamannya. Sebab, bila mereka melakukan hal itu, berarti darahnya telah ditumpahkan oleh semua kabilah sehingga Bani ‘Abdi Manaf tidak akan mampu memerangi semua kabilah. Hasilnya, mereka terpaksa harus rela dengan pertimbangan akal sehat, lalu kitapun akan berbuat yang sama terhadap mereka.”

Si orang tua dari Najd tersebut menimpali lagi, “Pendapat yang tepat adalah pendapat orang ini (maksudnya, Abu Jahal-red.,). Inilah pendapat yang saya kita tidak ada lagi yang lebih tepat darinya.”

Akhirnya parlemen Mekkah pun menyetujui usulan yang keji ini secara sepakat, lalu masing-masing perwakilan kembali ke rumah masing-masing sembari bertekad bulat untuk melaksanakan keputusan tersebut secepatnya.”

Nah, bagaimana, pembaca? Begitulah parlemen kafir Quraysy peranannya. Saya akan uraikan lagi lebih rinci, bagian-bagian dari Darun Nadwah tersebut. Rupanya sekretariat Darun Nadwah itu terbagi-bagi juga. Saya cuma mengutip dari tulisan yang terekam di google.

(1) As-Siqoyah.

Adalah majelis yang mengurus urusan air minum, terutama untuk para jama’ah haji yang datang dari luar negeri. Majelis ini merupakan majelis terpenting karena urusan air ini bukan urusan mudah, terutama di wilayah Negara Mekkah yang tandus. Atas usaha majelis inilah telaga zam-zam yang terkenal itu ditemukan kembali, yang mulanya telah terbenam, lalu digali kembali dan diperbaikinya. Disamping itu, majelis ini berusaha membuat kolam-kolam yang terbuat dari kulit, lalu diletakkan di halaman Ka’bah yang mana airnya diambilkan dari perigi-perigi dari Bani Hasyim.

(2) Ar-Rifadoh.

Adalah majelis yang mengurus makanan terutama jamuan (logistik) bagi para jama’ah haji yang datang dari luar negeri. Adapun biaya untuk kepentingan ini dipungut setiap tahun dari segenap kepala suku bangsa Quraisy. Majelis ini diketuai oleh seseorang dari Bani Naufal, kemudian selanjutnya dipindahkan ke tangan seseorang dari Bani Hasyim.

(3) Al-Imroh.

Adalah majelis yang memelihara kehormatan Ka’bah di Masjidil Haram dan menjaga ketentramannya. Seseorang tidak diperkenankan mengeluarkan perkataan yang kotor dan tidak boleh meninggikan suara di dalam mesjid terutama di sekitar Ka’bah. Majelis ini diketuai oleh seorang dari Bani Hasyim juga.

(4) As-Sidanah.

Adalah majelis yang mengurus masalah keamanan rumah suci Ka’bah dan memegang kuncinya. Orang yang mengetuai majelis ini ialah orang yang dipandang lebih tinggi kedudukannya dan terhormat dari yang mengetuai majelis-majelis lainnya karena dialah yang berkuasa untuk membuka dan mengunci rumah suci itu, majelis ini dinamakan juga Al-Hijabah. Majelis ini diketuai oleh seseorang dari Bani Abdu Dar.

(5) An-Nadwah.

Adalah majelis yang mengurus masalah politik (ketatanegaraan; kedaulatan, kepemimpinan dan pemerintahan). Majelis ini setara dengan departemen atau kabinet menteri politik dan hukum di Indonesia. Majelis ini diketuai oleh seseorang dari Bani Abdu Dar juga.

(6) Al-Musyawaroh.

Adalah majelis yang berfungsi sebagai tempat untuk berkumpulnya segenap ketua dan pejabat Dinul Jahiliyah Mekkah (setara dengan MPR / DPR dalam Din RI). Majelis ini diketuai oleh seseorang dari Bani Asad.

(7) Al-Asynaq.

Adalah majelis yang mengurus tanggungan jiwa dan harta benda (asuransi jiwa dan harta), misalnya urusan membayar denda karena kesalahan membunuh orang. Majelis ini diketuai oleh seseorang dari Bani Taim.

(8) Al-Qubbah.

Adalah majelis yang mengurus genderang perang. Jika ketua majelis ini telah memukul genderang, maka segenap penduduk terutama kaum Quraisy (Warga Din Jahiliyah) Mekkah harus bersiap-siap untuk menyiapkan perlengkapan perang. Majelis ini diketuai oleh seseorang dari Bani Makhzum.

(9) Al-A’innah.

Majelis yang mengurus urusan pasukan berkuda dan kendaraan lainnya untuk keperluan perang. Majelis ini diketuai oleh seorang dari Bani Makhzum pula.

(10) As-Sifaroh.

Adalah majelis yang mengurusi masalah perwakilan negara yang berfungsi untuk membuat perdamaian dengan bangsa / golongan lain, baik dalam negeri maupun luar negeri. Majelis ini diketuai oleh seorang dari Bani Ady.

(11) Al-Aisar.

Adalah majelis yang mengurus masalah panah-panah suci yang digunakan untuk undian (Voting) yang dilakukan di depan berhala. Jika terjadi pertikaian atau persengketaan antar sesama warga Din Jahiliyah Mekkah (golongan Quraisy). Seperti perang saudara yang telah terjadi antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah, lalu diadakan undian dan suatu keputusan, maka urusan tersebut diserahkan kepada majelis ini. Majelis ini diketuai oleh seorang dari Bani Jamuh.

(12) Al-Amwalul Muhajjah.

Adalah majelis yang mengurus urusan harta yang dikumpulkan untuk kepentingan rumah suci dan berhala. Urusan ini serupa dengan pajak dalam di Indonesia. Majelis ini diketuai oleh seseorang dari Bani Saham.

(13) Al-Iqobah.

Adalah majelis yang mengurus urusan bendera Din Jahiliyah Mekkah yang akan dikeluarkan dan dikibarkan bila mereka hendak keluar pergi berperang. Apabila bendera itu telah keluar dan berkibar, maka segenap warga Din Jahiliyah Mekkah harus siap sedia untuk keluar pergi berperang melawan musuh demi keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Jahiliyah (Dinul Jahiliyah) Mekkah. Majelis ini diketuai oleh seorang dari Bani Umayyah.

(14) Al-Khizanah.

Adalah majelis yang mengurus masalah perbendaharaan dan keuangan Negara atau Din Jahiliyah Mekkah. Majelis ini diketuai oleh seorang dari Bani Saham.

(15) Al-Qiyadah.

Adalah majelis yang mengurus masalah komandan perang yakni masalah ketentaraan dan kepolisian. Majelis ini diketuai oleh seorang dari Bani Umayyah. Mereka berjuang di jalan thogut demi keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Jahiliyah (Din Jahiliyah) Mekkah – Arab Qs 4:76.

Demikian nama-nama majelis yang telah dibentuk oleh Pemerintah Negara (Din) Jahiliyah Mekkah di bawah kepemimpinan Qushoyy, Abdu Manaf, Hasyim, Abdul Mutholib (kakek Nabi SAW) serta berikutnya dilanjutkan oleh Abu Hakam Bin Hisyam (Abu Jahal), Abu Lahab dan terakhir oleh Abu Sofyan.

Nah, sebagaimana ditulis sebelumnya, Darun Nadwah adalah forum dari berbagai kekuatan politik di Mekkah berdasarkan garis darah. Ibaratnya partai-partailah kalau analognya sekarang. Lalu partai apa saja yang eksis di Mekkah jahiliyah itu?

Sebagaimana sejarah mencatat, Nabi pernah melobi kabilah-kabilah atau partai-partai di Mekkah itu dalam rangka urusan mengamankan misi dakwah. Mereka adalah Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, Muhârib bin Khasfah, Fazarah, Ghassân, Murrah, Hanifah, Sulaim, ‘Abs, Bani Nashr, Bani al-Bukâ’, Kindah, Kalb, al Harits bin Ka’ab, ‘Adzrah, dan Hadhârimah. Namun sayangnya tak seorang pun dari mereka yang menanggapi.

Sekarang apakah sebenarnya visi para kabilah Mekkah itu dalam berhadapan dengan gerakan revolusi yang dilancarkan oleh Nabi yang akhirnya dapat merevolusi Mekkah pada dua dasa warsa berikutnya. Mari cermati perkataan mereka berikut ini saat menghadapi Abu Thalib yang melindungi Nabi.

“Wahai Abu Thâlib! Kami menghargai usia, kebangsawanan, dan kedudukanmu. Kami juga telah memintamu untuk menghentikan kegiatan kemenakanmu itu, tapi engkau tidak melakukannya. Demi Allah! Kami tak mampu bersabar atas perbuatan mencela nenek moyang kami, membuyarkan impian kami, dan mencemooh tuhan-tuhan kami, hingga engkau mencegahnya sendiri atau kami yang akan membuat perhitungan dengannya dan denganmu sekaligus. Setelah itu, kita akan melihat siapa di antara kita yang akan binasa.”

Ancaman keras itu sempat membuat nyali Abu Thâlib ciut. Dia menemui Rasulullah saw. “Wahai kemenakanku! Kaummu telah mendatangiku dan mengatakan begini dan begitu. Karena itu, berdiamlah, demi kemaslahatanku dan dirimu sendiri. Janganlah engkau membebaniku dengan sesuatu yang tidak mampu aku lakukan!”

Nabi saw mengira bahwa hal itu pertanda pamannya telah mengucilkan dan tidak mampu lagi memberikan perlindungan bagi dirinya.

“Wahai pamanku! Demi Allah! Andaikata mereka letakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan agama ini, hingga Allah memenangkannya, atau aku binasa karenanya, aku tidak akan meninggalkan dakwah ini.”

Rasulullah saw lalu berdiri dan bersiap untuk pergi. Melihat itu, sang paman memanggil dan menghampiri beliau. Pergilah wahai kemenakanku! Katakanlah apa yang engkau suka. Demi Allah! Aku tidak akan pernah menyerahkanmu kepada siapa pun!” Abu Thâlib lalu merangkai bait syair:

Demi Allah!

Mereka semua tidak akan dapat menjamahmu, hingga aku terkubur berbantalkan tanah.

Berterangteranganlah

dengan urusanmu,

tiada cela bagimu

Bergembira dan bersukacitalah

dengan hal itu

Kaum Quraisy melihat Rasulullah saw masih terus melakukan aktivitasnya. Mereka pun mengetahui bahwa Abü Thâlib akan terus melindungi kemenakannya itu. Sebagai upaya untuk membujuk, mereka membawa ‘Imârah bin al-Waild bin al Mughirah kepada Abu Thâlib.

“Wahai Abi Thâlib! ini adalah seorang pemuda yang paling rupawan dan tampan di kalangan Quraisy. Ambillah dia, dan engkau dapat berbuat sesukamu terhadapnya, mengikatnya atau membelanya, engkau bisa menjadikannya anakmu. Namun, serahkan keponakanmu yang telah menentang agamamu, agama nenek moyangmu, dan memecah belah kaummu, kepada kami untuk kami bunuh. ini adalah barter yang adil di antara kita, satu orang untuk satu orang.”

Dengan tegas Abu Thâlib menolaknya. “Demi Allah! Tawaran kalian itu adalah sesuatu yang murahan! Apakah kalian ingin memberikan kepadaku anak kalian ini agar aku beri makan untuk kepentingan kalian, sementara aku memberikan anakku untuk kalian bunuh? Demi Allah! ini tidak akan pernah terjadi.”

“Demi Allah! Wahai Abü Thâlib! Kaummu telah berlaku adil terhadapmu dan berupaya untuk membebaskanmu dari hal yang tidak engkau sukai. Jadi, apa yang membuatmu tidak mau menerima sesuatu pun dari tawaran mereka?” kata al-Muth’ im bin ‘Adi bin Naufal bin ‘Abdu Manâf.

“Demi Allah! Kalian tidak berbuat adil terhadapku. Namun, kalian telah bersepakat menghinakanku dan memengaruhi kaum Quraisy untuk memusuhiku. Oleh sebab itu, lakukanlah apa yang ingin kalian lakukan!” jawab Abu Thâlib. (Ibnu Hisyam).

Di Makkah, Rasulullah saw hanya ditemani sebagian kaum Muslim yang tidak ikut ke Habasyah. Mereka adalah golongan terpandang sehingga mendapat perlindungan. Meski demikian, mereka tetap menyembunyikan keislaman dan menjauh dari pandangan orang-orang musyrik. Sedangkan, Rasulullah saw sendiri tetap melakukan shalat di depan mata orang-orang musyrik meski jiwanya terancam.

Suatu saat, ‘Utbah bin Abu Lahab mendatangi Rasulullah saw Di hadapan Nabi saw, Utbah berbicara dengan lantang. Aku mengingkari firman Allah. Demi bintang ketika terbenam. (QS. an-Najm [53]: 1).

Tak puas hanya dengan berbicara, ‘Utbah langsung menghampiri Nabi saw untuk merobek baju dan meludahi wajahnya. Nabi saw tak dapat berbuat banyak. Jiwa nabi Muhammad saw dalam bahaya. Kaum Quraisy yang sedang berkumpul di sana mengepung Nabi saw. Mereka bergerak mengelilingi Rasul sambil berteriak-teriak keras. Tiba-tiba salah satu di antara mereka bergerak maju mendekati Muhammad saw. Tangannya langsung memegang pakaian Nabi saw dan melilitkannya ke leher Rasul, serta menariknya dengan kencang. Nabi saw tercekik. Jiwa manusia agung itu di ujung tanduk. Kaum Quraisy semakin bersemangat melihat Nabi saw tak berdaya. Di saat kritis itulah Abu Bakar datang. Ia berlari kencang menghampiri Rasulullah saw. Abu Bakar segera melepaskan pakaian yang melilit leher Rasulullah saw. Abu Bakar tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia menangis melihat kondisi Nabi saw. Apakah kalian akan membunuh seseorang lantaran dia mengatakan, ‘Rabb ku adalah Allah’? (QS. Ghâfir [401: 28). Abu Bakar mengatakan itu kepada kaum Quraisy yang masih berkerumun. lbnu ‘Amr berkata, “Sungguh pemandangan itu merupakan perlakuan paling kasar yang pernah kulihat dilakukan oleh kaum Quraisy terhadap beliau.” (lbnu Hisyâm).

Di saat-saat genting itulah, pertolongan Allah datang. Nabi Muhammad saw selamat. Setelah lolos dari maut, beliau berdoa:

“Ya Allah! Kirimkanlah kepadanya seekor anjing dari anjing-anjing (ciptaan-Mu) untuk menerkamnya.”

Doa Nabi Akhir Zaman itu dikabulkan Allah. Suatu hari, ‘Utbah pergi bersama beberapa orang Quraisy ke suatu tempat dan singgah di az-Zarqa’, Syâm. Hari beranjak malam. Gulita memayungi ‘Utbah dan rekan-rekannya. Di sekeliling rombongan itu banyak anjing yang berkeliaran. ‘Utbah panik.

“Wahai saudaraku! Sungguh celaka! inilah, demi Allah, pemangsaku sebagaimana yang didoakan oleh Muhammad atasku. Dia membunuhku padahal sedang berada di Makkah, sedangkan aku di Syâm,” teriak ‘Utbah kepada rekan-rekannya dengan penuh ketakutan. Anjing-anjing itu terus mengelilingi ‘Utbah. Sejenak kemudian, mereka mendekati ‘Utbah yang sedang dicekam ketakutan luar biasa. Secepat kilat, anjing-anjing itu melompat ke arah ‘Utbah. ‘Utbah gelagapan dan tidak kuasa menghindar. Kepalanya dicengkeram kuat oleh anjing-anjing itu. Tidak lama, ‘Utbah pun mati. (al-Isti’ab wa al-Ishabab, wa Daldil an Nubuwwah, serta Mukhtashar Sirah, Syaikh ‘Abdullah).

Nah, kalau begitu gambarannya, bukankah masyarakat Mekkah bercorak republik dan demokratis? Malahan coraknya gotong-royong. Tapi ternyata mau republik atau tidak, demokrasi atau tidak, hal itu tidak menjamin beradabnya masyarakat Mekkah. Apalagi untuk menjadi masyarakat yang baik di hadapan Sang Pencipta.

 

~ Sed, dirangkum dari berbagai bacaan

 

Terpopuler

To Top