Clear, Ya. Jokowi Akui Kedigdayaan Tekanan Media Sosial

Nusantarakini.com, Jakarta –

Jika suatu rezim baik-baik saja dan dipercaya oleh masyarakat luas, maka tekanan media sosial kemungkinan tidak akan terjadi. Kalau pun ada yang merekayasa tekanan lewat saluran media sosial, rakyat sendiri yang akan membentengi suatu rezim yang dipercaya.

Tetapi lain halnya jika sebaliknya. Ketika media mainstream dirasakan oleh rakyat bertindak layaknya humas bayaran dari suatu rezim, maka jangan pernah menyangsikan, bahwa rakyat akan aktif menyalurkan tekanan mereka kepada rezim melalui media sosial. Sebab, media mainstream telah berhenti menjadi penyalur suara rakyat. Tinggal media sosiallah secara sporadis digunakan oleh rakyat untuk menyatakan pendapatnya sekaligus kritik mereka.

Begitulah tampaknya yang berlangsung akhir-akhir ini di Indonesia. Tentu sungguh disayangkan jika pemerintahan Jokowi memandang media sosial sebagai pengganggu ketenangan rezim, apalagi sudah muncul gelagat untuk memandang media sosial sebagai musuh potensial bagi pemerintah. Itulah yang terungkap saat Jokowi berceramah di Universitas Padjajaran pada 11 September 2017 baru-baru ini.

Jokowi bilang, bahwa media sosial sangat kejam. Ini pernyataan yang tidak pada tempatnya. Media sosial itu hanya saluran. Tidak mungkin kejam. Yang kejam–kalaupun itu benar–hanya orang per orang yang mengungkapkan pikirannya, namun tidak diinginkan oleh yang bersangkutan. Jadi jangan disalahkan media sosialnya. Sampai-sampai saluran seperti telegram ditutup. Kalau begini, yang kejam siapa?

Selain itu, Jokowi juga secara mengagetkan mengakui ampuhnya media sosial sebagai alat penekan bagi rakyat. Dia bilang, media mainstream dapat dikontrol, tapi tidak media sosial.

Ini tentu suatu pengakuan yang patut disyukuri. Berarti dari sudut kepentingan rakyat dalam mengimbangi dominasi media mainstream atas tafsir suatu realitas atau data, media sosial dapat juga diandalkan. (gft)