Tragedi Indonesia

Nusantarakini.com, Jakarta –

Negara-negara berkembang seperti Indonesia mengalami persoalan yang mirip. Jumlah penduduknya berkembang cukup pesat. Kalau terkendali sekitar 2% setahun…kalau tidak, bisa lebih. Dengan 250 juta penduduk sekarang ini, dan 2% pertumbuhan, akan muncul 5 juta bayi-bayi baru.

Kalau kapasitas produksi susu bayi sudah maksimal,  berarti harus ada pabrik-pabrik susu baru, pabrik-pabrik makanan bayi baru, pabrik-pabrik pakaian bayi baru, rumah baru… Intinya, pabrik-pabrik sandang, papan dan pangan baru… Jadi investasi-investasi baru…dan itu sepanjang tahun dan sepanjang Indonesia masih ada.

Tidak hanya pertumbuhan penduduk, tapi juga tuntutan atau aspirasi baru. Dulu sudah punya motor,  sekarang mau mobil…dulu punya mobil satu,  sekarang ingin dua… Kalau permintaan (demand) atas sandang, papan dan pangan naik terus dan tidak diikuti oleh penyediaan (supply) yang cukup, maka terjadi inflasi pada pasar sandang, pangan dan papan (SPP). Harga-harga naik…daya beli berkurang…seolah-olah tambah miskin

Kalau produksi untuk penyediaan Sandang Papan, Pangan naik terus, maka sarana untuk produksi juga harus naik.  Maka kebutuhan Land, Labor dan Capital (LLC) pun harus naik. Tidak cuma itu, tapi modal/capital juga termasuk mesin, teknologi, listrik, air, bahan bakar, bahan baku/mentah, dll, juga harus naik. Kalau tidak cukup, selain penyediaan SPP berkurang, juga terjadi inflasi di pasar LLC. Kita punya banyak tanah, juga tenaga kerja, tapi tidak cukup modal. Akibatnya harga modal atau suku bunga naik.Termasuk pula pembangkit listrik. Indonesia tidak punya cukup itu semua,  sehingga harga mesin,  bahan baku dan listrik pun bisa naik…!

Kalau suku bunga naik, orang malas berinvestasi…khawatir bunga pinjamannya tak bisa dibayar dari hasil usaha.  Demikian juga kalau harga listrik dan lain-lain naik, orang takut rugi, takut bangkrut…maka tak jadi investasi. Bahkan pabrik yang sudah ada dan sudah berproduksi pun bisa bangkrut.

Di negara-negara maju, jumlah penduduk hampir konstan, bahkan ada yang menurun. Jadi persoalan mereka relatif lebih mudah. Apalagi mereka punya modal besar, pun bekerja efisien, sehingga suku bunga pun bisa murah. Investasi pun bisa berjalan memenuhi kebutuhan ekonomi.

Di Jerman ada kecenderungan penyusutan jumlah penduduk. Sehingga amat tepat ketika Angela Merkel memutuskan menerima sejuta pengungsi dari Timur Tengah dll. Tidak lain adalah untuk dilibatkan dalam proses produksi menghasilkan SPP.

Ketika Pak Widjojo dkk diutus ke Jenewa pada 1967, tujuannya tidak lain adalah untuk mencari dana/capital untuk investasi. Sayangnya beberapa hal penting tidak diperhatikan, a/l, berkaitan dengan sektor investasi. Ketika kita meminjam Dollar dari luar negeri, dan harus mengembalikannya dalam Dollar juga, sektor di mana kita pakai dana pinjamannya untuk investasi ternyata tidak bisa menghasilkan Dollar. Sebagai akibatnya kita mengalami kesulitan dalam mengembalikan pinjaman kita.

Kita juga memberi peluang Multinational Corporation/MNC berinvestasi di Sumberdaya Alam. Tapi, investasi itu hanya menggali bahan mentah, tidak mengolah bahan baku…. dan tidak ada transfer of technology untuk proses pengolahan yang kita perlukan. Akibatnya, SDA kita habis dan kita tidak tambah pandai dalam mengolah. Sebagai akibatnya, selama 30 tahun tidak ada kemajuan yang berarti bagi Indonesia, selain masih saja tergantung pada Asing. Kita tidak mampu mandiri.

Pak Widjojo juga tidak memperhatikan pentingnya pemerataan (equality,  equity), melainkan pertumbuhan (growth). Memang pertumbuhan hasil produksi (output,  GDP) sebagai akibat pertumbuhan investasi sangat penting, karena harus mampu mengejar/melebihi pertumbuhan jumlah dan aspirasi/tuntutan penduduk. Tapi pemerataan juga sangat penting. Dalam konsep pertumbuhan, kelompok mana yang tumbuh sulit diketahui. Sangat mungkin segelintir yang kaya saja yang tumbuh…bukan yang miskin yang bertambah kesejahteraannya. Dengan pertumbuhan bersama pemerataan (growth with equity), bisa tercapai efisiensi ekonomi yang tinggi. Bisa dibayangkan, kalau massa rakyat bisa bergerak dengan berderap bersama-sama, dibandingkan kalau hanya sebagian kecil bisa melaju sedang sebagian besar tertinggal di belakang.

Konsep pertumbuhan ini sampai sekarang masih terus dipertahankan. Pertentangan antara pertumbuhan dan pemerataan itu juga tergantung pada sektor investasinya. Kalau di kota, tentu yang dihasilkan adalah produk-produk manufaktur dengan nilai tambah yang jatuhnya ke tangan orang-orang kota. Sedang kalau di desa, orang desa yang menikmati. Karena itu, Bung Hatta sering mengatakan, jangan kota maju sendiri meninggalkan desa.

Efisiensi juga bisa dilihat dari seberapa besar kenaikan dana investasi bisa menghasilkan satu tambahan output produksi. Itu yang disebut dengan ICOR, Incremental Capital-Output Ratio, yaitu perbandingan antara jumlah dana ivestasi suatu tahun tertentu dibanding dengan jumlah produk yang dihasilkan pada tahun tersebut.

Prof. Soemitro pernah mengatakan penggunaan dana pinjaman/utang asing kita tidak dipakai dengan efisien, tapi boros, karena angka ICOR-nya terlalu tinggi, yaitu 3.5%… mestinya 2%. Beliau menuduh, sebagian utang asing kita menguap di tangan pemerintah. Maksudnya, dengan dana utang sebesar itu, mestinya GDP kita bisa lebih besar… Konon, angka ICOR kita sekarang adalah 6%…semakin boros!

 

~ Sri Bintang Pamungkas