Membangun Rumah Besar Papua: ‘An Unfinished’ Agenda

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Menarik menyimak diskusi singkat dalam sebuah grup WA Spirit of Papua dengan pelbagai perspektif, aneka spektrum, lintas generasi dan warna pandangan politik yang beragam.

Itulah Papua yang penuh warna dan menandakan kasih sayang anak-anak bangsa Papua untuk menyaksikan Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera di masa depan, sebagaimana visi yang diletakkan Gubernur Papua Lukas Enembe – Wakil Gubernur Papua Klemen Tinal.

Terlepas dari perbedaan politik soal integrasi Irian Barat ke Indonesia, namun adalah fakta bahwa pembangunan Irian Jaya/Papua mulai secara intensif dilakukan di awal tahun 1970-an. Bahkan Presiden Soekarno telah merintis Universitas Cenderawasih di pertengahan 1960-an yang telah menghasilkan tokoh-tokoh Papua seperti Barnabas Suebu, Jacobus Solossa, dan elit-elit pemerintahan Papua saat ini.

Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Lukas Enembe telah menekankan bahwa TITIK START Papua berbeda dengan daerah lainnya di Republik ini. Ditambah lagi dengan fakta geografis dan demografis-kultur yang membutuhkan daya adaptasi yang berbeda dengan daerah di luar Papua.

Dan, apa yang dikerjakan oleh Gubernur Lukas Enembe adalah kelanjutan yang telah diletakkan oleh Gubernur-Gubernur sebelumnya sejak pertengahan tahun 1960-an hingga era Gubernur Barnabas Suebu. Selain kelanjutan, tentu ada prioritas, perubahan strategi, dan leadership style yang berbeda antara satu Gubernur dengan Gubernur lainnya. Hal ini yang ditempuh oleh Gubernur Lukas Enembe dewasa ini.

Memotret Leadership Style dan Terobosan Gubernur Papua, 1960-an – 2017

Tadi ada sebuah pertanyaan, apa yang ditinggalkan oleh Gubernur demi Gubernur di atas Tanah ini? Leadership style dan strategi pembangunan yang dipilih (policy choices) dan ditempuh dari masing-masing Gubernur di atas Tanah ini tentu berbeda dari masa ke masa sesuai konteks dan tantangan yang dihadapi di era kepemimpinannya. Simak saja, era Gubernur Bonai dan Gubernur Frans Kaisepo yang memulai meletakkan kebijakan dasar Papua di tengah-tengah perang diplomasi dalam transisi pemerintahan menjelang 1969.

Gubernur Acub Zainal, era 1973 – 1975, dengan terobosannya meninggalkan warisan dan identitas kebanggaan orang Papua dengan Stadion Mandala dan Gedung Gubernur Dok II. Ia memberi perhatian dalam character building dan regional identity melalui PERSIPURA.

Tak lama memimpin, Jenderal Acub Zaenal diganti dengan Gubernur Soetran, era 1975 – 1981, yang memberikan perhatian ke pembangunan perdesaan dan pertanian sebagaimana pengalaman ia menjadi Bupati Trenggalek di Jawa Timur. Ini sejalan dengan era pertengahan 1970-an dimana Presiden Soeharto meluncurkan REPELITA yang mengusung ideologi trilogi: pertumbuhan-pemerataan-keamanan. Gubernur Soetran dikenal dengan program Cengkeh-nisasi.

Di era 1981-1982 Papua dipimpin oleh Gubernur Busiri Suryowinoto. Ia tak lama memimpin karena ia wafat tahun 1982. Ia seorang mantan Duta Besar Indonesia untuk PNG dan ia ditugaskan untuk mengelola isu keamanan di Papua yang menghangat di akhir tahun 1970-an.

Gagasan Gubernur Busiri adalah ia melahirkan ide 3 Skenario Pemekaran Irian Jaya menjadi 3 Provinsi di tahun 1981. Namun saat itu, Presiden Soeharto lebih memilih pemekaran Irian Jaya dari bawah dengan memekarkan jumlah kecamatan dan kabupaten.

Sepeninggal Gubernur Busiri, terpilih Izaac Hindom sebagai Gubernur di era 1982 – 1988. Dengan pilihan kebijakan yang ia tempuh, Gubernur Hindom disebut sebagai “Gubernur Transmigrasi”, karena ide-nya untuk memperbesar transmigran dalam konteks pengembangan kawasan dan pembukaan sentra-sentra pertanian sebagai penghasil pangan di Irian Jaya.

Dewasa ini kita menyaksikan pusat-pusat satuan permukiman transmigrasi telah menjadi cikal bakal kabupaten baru dan sentra ekonomi yang menggerakan ekonomi wilayah Papua. Di era Hindom, pemerintah gencar meluncurkan kebijakan Trans-IRIAN guna membuka isolasi wilayah dan kawasan ekonomi yang potensial.

Selanjutnya, di era Gubernur Barnabas Suebu, yang terpilih di usia 38 tahun, masa 1988 – 1993, dikenal sebagai Gubernur Kampung karena gagasan dan langkah TURKAM/TURDES (Turun Kampung) dengan kebijakan GERSATERA dan Kecamatan Fokus, serta pendekatan Gubernur Suebu yang memperkenalkan ide “integrasi makro sektoral dan mikro-spasial”. Artinya, memadukan pendekatan pengembangan sentra-sentra wilayah potensial dan pendekatan kampung yang terpadu. Ini adalah terobosan Barnabas Suebu.

Di era Gubernur Jacob Pattipi, 1993 – 1997, ia menata kerangka perencanaan wilayah dan memberikan prioritas dalam pembangunan sumber daya manusia. Jika Bas Suebu melekat dengan kebijakan Kecamatan Fokus, maka Gubernur Pattipi memperkenalkan Kecamatan Tipologi yang sebenarnya pengembangan dari konsep Kecamatan Fokus.

Di era Pattipi, pemekaran dibuat dari bawah sebagaimana lahirnya Kabupaten Mimika, yang asal muasalnya dari kebijakan Pengembangan Wilayah Timika Terpadu, Integrated Timika Development Programme (PWT2) di tahun 1996-1997.

“The Papuan Spring” pasca 1998

Kepemimpinan Gubernur Freddy Numberi berada di era transisi politik pasca kejatuhan Presiden Soeharto. Ia memimpin Papua pada masa 1997 – 1999 dimana ia terpilih sebagai Menteri I asal Irian Jaya di Kabinet Presiden Gus Dur. Dengan waktu yang singkat ia mengelola fenomena “the Papuan Spring”, dalam pandangan Indonesianist, Richard Chauvel, asal Victoria University, Australia.

Di era Numberi, ada Dialog 100 Tokoh Papua dengan Presiden BJ Habibie pada 26 Februari 1999. Sebulan pasca Dialog, Gubernur Numberi mengirim surat ke Presiden Habibie pada 26 Maret 1999 agar Irian Jaya dibagi menjadi 3 Provinsi. Konsep Numberi ini sebenarnya berasal ide awal yang telah dibuat oleh Gubernur Busiri pada awal tahun 1980-an. Dengan landasan surat ini, lahir UU No. 45/1999 tentang pembentukan 3 Provinsi, baik Irian Barat, Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Timur.

Sementara, Gubernur Jacobus Solossa, kita menjuluki ia sebagai “Gubernur Otonomi Khusus”. Ia memasang badan untuk mengajukan draft Otonomi Khusus yang Berpemerintahan Sendiri, yang akhirnya lahir UU 21/2001 ttg Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Di era Salossa, juga dikenalkan 11 Ruas Trans Papua.

Sedangkan di Era Gubernur Bas Suebu, ia kembali menekankan pendekatan infrastruktur wilayah dengan memadukan antara commodity-oriented infrastructure dan community-oriented infrastructure. Dan, gerakan RESPEK (Rencana Strategis Pembangunan Kampung) digalakka oleh Bas Suebu.

Di tengah konteks internasionalisasi isu Papua yang dinamis di era Papuan Spring, dan persoalan lokal Papua yang kompleks, Lukas Enembe, seorang Anak Honai, terpilih sebagai Gubernur Papua periode 2013 – 2018.

Ketika ia memulai memimpin, ia dihadapkan dengan sederet masalah, baik kesenjangan sosial ekonomi dan antarwilayah yang tinggi, pendapatan asli daerah (PAD) yang hanya sekitar Rp 300 Milyar/tahun, fiskal gap antara Provinsi dan Kabupaten/Kota dimana dana Otsus hanya berkontribusi kurang dari 10 persen dari struktur APBD setiap kabupaten dan isu UU Otsus yang tidak optimal bagi Papua maupun isu internasionalisasi masalah Papua di luar negeri. Hal ini hanya sederet persoalan yang dihadapi Lukas Enembe.

Apa yang dikerjakan Gubernur Enembe di tengah Realitas ini?

Pertama, Gubernur Enembe memperbaiki pola komunikasi antara jajaran eksekutif, legislatif dan MRP. Hal ini mutlak dilakukan karena pelbagai regulasi lahir dari pintu DPRP dan MRP.

Kedua, Gubernur Enembe memberi perhatian terhadap dokumen perencanaan daerah, baik substansi RPJMD 2013 – 2018, rencana 20 tahun (RPJPD) dan penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWP) yang tak kunjung selesai selama beberapa tahun.

Di dalam RPJMD, Gubernur Enembe melakukan terobosan dengan MENGAKOMODASI PENDEKATAN 5 WILAYAH ADAT (Saireri, Animha, Mamta/Tabi, Laa pago dan Mee pago) ke dalam dokumen perencanaan daerah secara resmi. Artinya, sisi sosiology-cultural manusia Papua dijadikan mainstream strategi dan kebijakan pembangunan.

Ketiga, hal ini kemudian diikuti oleh penataan struktur kelembagaan daerah (OPD) yang memasukkan bidang-bidang wilayah adat di Badan Percepatan Wilayah (sebelum dibubarkan sebagai dampak penerapan UU 23/2014 ttg Pemda).

Dan, pola diskusi kelompok Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah (Musrenbang) yang berbasis 5 wilayah adat, dimana sebelumnya dibagi ke kelompok infrastruktur, SDM, dan ekonomi. Ini menandakan Gubernur Enembe menekankan paradigma kewilayahan ketimbang paradigma ego-sektoral yang berorientasi kementerian.

Diikuti pula, perjuangan Pemda Papua untuk memasukkan ke dalam dokumen rencana nasional era Presiden Jokowi yakni RPJMN 2015-2019 yang memasukkan pendekatan 5 wilayah adat ke dalam desain perencanaan nasional.

Keempat, Gubernur Enembe menekankan desentralisasi fiskal yang lebih dekat ke pelayanan publik di level kabupaten/kota.

Hal itu ditandai dengan perubahan formula perhitungan alokasi Dana Otsus (bersumber dari 2 % dari DAU Nasional). Enembe membalikkan skenario alokasi menjadi 80 : 20, dimana 80 % dialokasikan ke Kabupaten/Kota dan 20 % ke Provinsi, dari sebelumnya formula 60 : 40.

Harapannya, Kabupaten/Kota adalah lebih dekat ke masyarakat, sehingga Kabupaten/Kota memiliki fiscal capacity di dalam menjawab kebutuhan rakyat di level grass root.

Kelima, menyadari lemahnya kapasitas fiskal, Gubernur Enembe menggenjot penerimaan daerah.

Hal yang dilakukan melalui intensifikasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sebelumnya hanya sekitar Rp 300-400 Milyar per tahun, namun dalam 3 tahun terakhir telah mencapai kurang lebih Rp 1 triliun per tahun. Walaupun, angka tersebut masih kecil dalam skala ekonomi Papua, namun hal ini menunjukkan keseriusan Gubernur Enembe di dalam memperbesar prinsip kemandirian daerah.

Keenam, Gubernur Enembe melanjutkan semangat character building of Papuan people yang pernah dibangun oleh Gubernur Acub Zaenal melalui identitas sepak bola.

Kini, melalui persaingan yang ketat antara Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Aceh, akhirnya Papua dapat terpilih sebagai Tuan Rumah PON XX di tahun 2020.

Hal ini adalah soal identitas orang Papua, kebanggaan dan jati diri orang Papua dalam ikatan kebangsaan. Ini juga soal strategi untuk mempercepat pemerataan ekonomi wilayah ke Tanah Papua dan lebih khusus ke 5 wilayah adat yang menjadi tuan rumah cabang-cabang olah raga.

Pelbagai negara mencontohkan bahwa perhelatan olah raga skala internasional atau nasional akan berpengaruh terhadap pergerakan ekonomi wilayah di suatu daerah/kawasan.

Ketujuh, Gubernur Enembe telah memperjuangkan hak-hak orang Papua di dalam Re-Negosiasi Kontrak Karya Freeport Indonesia.

Di pertengahan 2013 dan tahun 2014, Gubernur Enembe mendesak 17 poin Tuntutan Daerah ke Pemerintah Pusat dan pihak pimpinan Freeport Indonesia.

Ke-17-an poin itu antara lain kepemilikan saham daerah, perkecilan luas wilayah kontrak karya, aspek tenaga kerja orang asli Papua di semua level, pelibatan pengusaha asli Papua, aspek lingkungan hidup dan community development, perpindahan kantor pusat Freeport ke Papua dan optimalisasi Bank Papua sebagai penyedia jasa perbankan dalam operasional karyawan Freeport.

Selanjutnya, 17 poin ini yang kemudian digunakan oleh Pusat, dalam hal ini, Menteri ESDM di era Presiden SBY dan juga di era Presiden Joko Widodo di dalam membahas poin2 re-negosiasi menjadi 6 poin utama yang dibahas antara Indonesia – Freeport McMoran Inc.

Salah satu usaha perjuangan hampir 3 tahun ini, akhirnya Pemda Papua memenangkan tuntutan pajak daerah berupa pembayaran pajak air permukaan sejak 2011 – 2015 sekitar Rp 3,6 Triliun. Karena itu, pihak Freeport harus membayar ke Pemda Papua atas kewajiban pajak ini.

Kedelapan, dari sisi infrastruktur, Gubernur Enembe sepakat untuk membuat simbol landmark kemajuan infrastruktur di bibir Samudera Pacific dengan membangun Jembatan Holtekamp di Kota Jayapura.

Hal ini adalah bukan hanya soal fisik jembatan semata, namun Gubernur Enembe melihat sebagai identitas dan kebanggaan Daerah.

Proyek landmark ini diawali dengan penandatanganan antara Gubernur Enembe – Menteri PU – Walikota Jayapura di Kantor Presiden pada 2 Agustus 2013 di era Presiden SBY dan saat ini dilanjutkan oleh Presiden Joko Widodo.

Masih Ada Pekerjaan Rumah

Tentu saja, masih terdapat sejumlah langkah yang dilakukan oleh Gubernur Enembe. Dan, jika dilihat dengan seksama, Enembe melanjutkan fondasi yang telah diletakkan oleh para pendahulu Gubernur sebelum-sebelumnya.

Hal ini adalah makna keberlanjutan di dalam mengelola Papua. Itu dapat disebut bahwa pembangunan adalah agenda yang tidak pernah berhenti, an unfinished agenda.

Dengan kompleksitas yang dihadapi, tentu saja ada sejumlah pekerjaan rumah yang masih dihadapi oleh Gubernur Enembe saat ini, dan kiranya merupakan agenda yang harus diselesaikan ke depan.

Gubernur Papua adalah tidak sebagai aktor tunggal semata dalam mengelola pembangunan ini. Ada aktor-aktor lainnya baik pelbagai Kementerian yang masih memegang kewenangan dan budget; ada 28 Bupati dan 1 Walikota yang juga memiliki visi dan kebijakan tersendiri dan harus sejalan dengan kebijakan Gubernur; ada pula para BUMN dari Jakarta yang beroperasi di Tanah Papua untuk mencari keuntungan dan pelayanan sosial (PSO), maupun aktor negara lainnya sebagai mitra Gubernur, yakni TNI dan Polri yang menjadi bagian dari FORKOMPIMDA Papua.

Satu Hati, Satu Tujuan, Izakod Bekai, Izakod Kai, demikian istilah saudara-saudara Marind, masih sangat relevan hari – hari ini dan ke depan di dalam mengelola Papua Bangkit, Mandiri dan Sejahtera.

Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan bagi yang menjalaninya.

Jakarta, 30 Mei 2017

*Velix V. Wanggai, Mantan Stafsus Presiden Era SBY, asal Papua.

Sumber: Facebook [mr]