Konglomerat Makin Kaya, Pemerintah Terus Berhutang, Rakyat Makin Tercekik. Ini Penjelasannya

Nusantarakini.com, Jakarta –

Semua pasti paham. Konglomerat itu artinya orang yang kaya raya. Duit miliknya tak berseri. Untuk sementara ukuran saat ini, konglomerat berarti memiliki kekayaan puluhan sampai ratusan triliun rupiah.

Majalah “Forbes” Internasional edisi bulan lalu merilis sebanyak 150 orang terkaya di Indonesia. Kalau tidak salah baca,  yang masuk kategori agak “miskin” dari 150 orang itu, memiliki kekayaan di kisaran  Rp. 50,- triliunan.

Paham kan maksudnya. Miskin saja punya kekayaan triliunan rupiah.

Satu hal yang fenomenal, ketika hutang pemerintah, terus membengkak, jumlah harta kekayaan para konglomerat itu, ikut membesar. Dengan kata lain, terjadi sebuah paradox.

Paradoksnya adalah saat pemerintah tidak bisa tidur nyenyak karena beban hutang yang seperti gali lobang tutup lobang,  di sisi lain para konglomerat dengan tenangnya menghitung laba perusahaan yang mereka raih dari proyek yang difasilitasi pemerintah.

Adanya majalah “Forbes” yang memantau setiap pergerakan kekayaan orang-orang Indonesia, menjadi semacam pemicu. Orang-orang kaya tersebut justru tertantang menunjukan kemampuan mereka untuk terus naik peringkat. Minimal tidak turun peringkat.

Mereka, diam-diam  senang nama tercantum dalam daftar orang terkaya tetapi kalau sudah urusan berbagi, tunggu dulu.

Mereka kurang peduli dengan ketidak berhasilan proyek-proyek pemerintah. Yang penting bisnis mereka.

Untuk menyusun APBN sebesar Rp. 2.000,- triliun, pemerintah sampai harus memaksa rakyat, agar total angka itu, bisa terpenuhi. Tidak jarang untuk mencapai target itu, pemerintah memaksa mereka  yang berpenghasilan amburadul, karena kerjanya serabutan. Tidak cukup dengan itu, pemerintah harus meminta pinjamam (berhutang) ke luar negeri.

Di pihak lain, konglomerat yang terus mengais kekayaan, masih meminta keringanan pajak.

Secara matematika,  APBN yang berjumlah Rp. 2.000,- triliun , sebagai angka yang tidak sulit dipenuhi.  Pemerintah juga tidak seharusnya memperlakukan rakyat secara tidak adil. Yang miskin ditekan, yang kaya disayang-sayang.

Kalau ada kemauan politik, mau melakukan terobosan, jumlah ribuan triliunan rupiah untuk APBN  itu bisa saja ditutupi oleh beberapa konglomerat.

Hal yang menarik dari ciri para konglomerat dan orang-orang terkaya di Indonesia tersebut, cara mereka berbisnis. Mereka raat-rata sudah menekuni bisnis yang ada sejak era pemerintahan Orde Baru (1966 – 1998).

Tidak ada yang dari nol kemudian  jadi kaya mendadak, hanya karena pergantian rezim. Dari Orde Baru ke Orde Reformasi. Ini menunjukkan, kiat survival mereka dalam setiap rezim, sangat mujarab.

Dengan kata lain, sepanjang Indonesia diperintah oleh 6 Presiden (Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan Jokowi), sepanjang itu pula kehidupan mereka tetap dalam status sebagai orang kaya raya.

Fakta itu semakin menunjukan, sewaktu Indonesia berada dalam krisis, krisis itu tidak berlaku bagi para konglomerat.

Sewaktu negara bersiap-siap menggelar Pemilu, untuk mencari pemimpin dan politisi yang cocok menata negara, mereka pun ikut-ikutan sibuk.  Tapi kesibukan mereka kontras dengan rakyat jelata pada umumnya.  Bagaimana merancang agar hasil Pemilu sesuai kepentingan bisnis mereka.

Mereka bahkan bisa menentukan, apakah kondisi politik dan ekonomi kondusif atau tidak ketika Pemilu diselenggarakan. Dan seterusnya…..

Saya ingat peristiwa di bulan Maret 2014. Sebulan sebelum Pileg digelar dan empat bulan sebelum Pilpres diselenggarakan.

Sekitar 60 orang pengusaha yang mewakili konglomerat, berhasil mendesak PDIP untuk bertemu di markas besar partai berkepala banteng itu, di Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Tujuannya untuk meminta kepastian, yang sebenarnya menggiring agar PDIP mencalonkan Joko Widodo sebagai Presiden periode 2014 – 2019.

Dan entah karena desakan itu, PDIP akhirnya memang mengajukan Joko Widodo. Bekas walikota Solo ini pun terpilih, mengalahkan Prabowo Subianto.

Tapi coba cermati perilaku para pengusaha yang mendesak agar Jokowi dari PDIP bisa jadi Presieden. Apakah saat ini masih ada dukungan seperti itu ?

Jadi sangat “obvious”, kata orang Amerika, ketika terlihat Jokowi akan menjadi Presiden, mereka sudah bersiap seperti pendukung utama.

Selanjutnya begitu terlihat tanda-tanda Jokowi melemah pengaruhnya, mereka langsung pasang kuda-kuda. Satu kaki  berada di pihak Jokowi, satu kaki lagi di posisi calon yang kira-kira bisa menggantikan Jokowi.

Mereka, kalau diibaratkan dengan lelaki bujangan ataupun pria mata keranjang, mereka suka bermain mata dengan wanita lain.

Atau kalau dalam lomba balap, mereka suka mencuri jalan di tikungan. Atawa dalam istilah penghianatan, mereka suka menggunting di dalam lipatan.

Pendek kata mereka inilah yang disebut oleh orang-orang berbahasa Inggeris sebagai pihak yang selalu “keep their ears and eyes opened”.

Tujuan mereka sama : mempertahankan status quo pribadi.

Rezim boleh berganti tapi kedudukan mereka sebagai orang kaya, tidak boleh ada yang menggantikan.

Sikap ini sah-sah saja atau wajar. Karena masuk akal kalau orang sudah kaya, lalu takut berubah menjadi orang miskin.

Namun yang perlu jadi pemikiran, sudah saatnya rakyat dan bangsa ini merubah cara menghadapi para konglomerat.

Untuk apa ada konglomerat, tetapi negara makin terpuruk.

Mestinya konglomerat dan negara tumbuh dan kuat bersama. Jangan dibalik.

Jangan lagi terlalu perccaya bahwa di negara ini, mereka punya visi memperjuangkan kepentingan rakyat banyak dan membantu negara.

Dengan kekayaan yang ada mereka bisa punya dwi kewarga negaraan.  Apalagi di dunia saat ini banyak negara yang berani memberi kewarganegaraan berdasarkan transaksi.

Tidak percaya ? Bekas Perdana Menteri Thailand, Taksin, setelah ditolak di berbagai negara, akhirnya bisa memiliki kewarga negaraan di salah satu negara Balkan, Eropa Timur, bekas negara komunis.

Demikian pula jangan pernah percaya bahwa orang-orang terkaya ini loyalis. Loyalitas bagi mereka hanya sebuah idiom kuno. Kepada pemerintah mereka loyal, tetapi kalau diminta pemerintah untuk meringankan beban hutang, tunggu dulu. Wani Prio?

Simak apa yang dikatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada kuliah umum di Sekolah Tingghi Administrasi Negara (STAN) Senin 17 April 2017. Semestinya, pernyataan Menkeu ini, jadi bahan introspeksi.

Bahwa jumlah rasio hutang Indonesia saat ini sebesar  27 % dari GDP (gross domestic product) yang jumlahnya sekitar Rp.13.000 Triliun !

Dengan perhitungan seperti itu, kata bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut, maka setiap kepala dari 240 juta orang Indonesia punya beban hutang Rp.13,- juta

Brothers dan Sisters, jangan salah paham, itu hutang pemerintah, bukan hutang para konglomerat. Sementara dalam perhitungan yang sebenarnya, mungkin juga ada hutang swasta – baca konglomerat, di dalamnya. Tetapi hutang swasta dicatat sebagai tanggungan pemerintah.

Jika logika ini benar, maka keadilan sosial bagi semua rakyat, benar-benar sudah dihancurkan oleh para konglomerat, orang-orang terkaya.

Sebab pada saat jutaan rakyat miskin, tidak bisa mendapatkan kehidupan yang layak, para konglomerat ini menikmati hidup mereka dalam standar yang serba super berkelebihan.

Coba bandingkan kehidupan rakyat miskin, dengan kehidupan orang-orang terkaya: rumah mereka rata-rata  di pemukiman paling mahal di Jakarta. Di Singapura mereka masih punya apartemen, sementara  Mansion (rumah bsar) berada di Sydney (Australia) atau Beverly Hills, California (Amerika Serikat).

Berkendaraan mobil mewah keluaran terbaru, punya pesawat jet pribadi, helikopter dan kapal pesiar.

Kemana-mana pakai ajudan dan pengawal pribadi, serta tidak menjinjing tas. Di dalam dompet tak ada uang tunai. Yang ada berderet-deret kartu plastik.

Menelpon pejabat tinggi negara, kapan saja. Menu makanan hariannya : salad, buah segar, shushi shashimi dan yang tidak berkolesterol. Minuman, air putih, tak bergula atau anggur Prancis maupun Italy.

Last but not least, bertahun-tahun, menunggak atau mengemplang pajak. Ketika pemerintah mau menjaring mereka melalui program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty), bermacam-macam cara “ngeles” mereka lakukan kepada pemerintah.

Bayangkan, berapa besarnya kekayaan para konglomerat kalau ada yang membayar pajak dalam rangka Tax Amnesty sebesar 2%, nilainya bisa mencapai belasan triliun rupiah. Ini kan berarti uang satu orang si peserta program pengampunan pajak, di bank berratus-ratus triliun.

Hanya orang yang terlalu “nrimo” yang bisa mnengatakan, sudahlah gak usah cemburu. Atau kecemburuan sosial yang ada di masyarakat, tidak seharusnya terjadi.

Hanya orang yang tidak peka yang tidak sadar bahwa para konglomerat itu, telah memanfaatkan SARA. Telah memanipulasi esensi agar cara SARA  tidak digunakan untuk menyerang mereka.

Saya harap anda paham maksud saya. Yang dari tadi mengulang-ulang soal konglomerat atau meteka, tetapi tidak secara spesifik mengindentifikasi maksudnya.

Yang saya maksudkan di sini adalah orang-orang kaya Indonesia keturunan Tionghoa atau Cina.

Sesungguhnya yang menciptakan sensitifitas SARA, justru para orang Cina konglomerat itu sendiri. SARA,  karena hampir semua konglomerasi di Indonesia, ditempati oleh orang- orang Cina. Jumlahnya sedikit tapi pengaruhnya besar.

Yang saya sedihkan dan keluhkan, prilaku orang-orang minoritas ini berdampak negatif kepada kelompok minoritas lainnya. Tak terkecuali, karena minoritas itu disebabkan oleh latar belakang keturunan ataupun agama.

Secara subyektif, fenomena ini muncul dalam Pilkada DKI  2017.

Adanya kabar yang menyebutkan bahwa tiga dari “Sembilan Naga” (baca konglomerat), tidak mendukung Ahok yang satu etnis dengan mereka dan sebaliknya mendukung pasangan Anies – Sandiaga, yang juga beragama berbeda, bukanlah sebuah berita hangat.

Yang menganggap bahwa itu sebuah penghianatan terhadap Enam Naga lainnya, apalagi Ahok, sebuah kekeliruan besar.

Kalau ditarik ke ranah yang lebih besar, jangankan kepada seorang Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, orang Cina, kepada yang lebih tinggi lagi – Presiden, mereka mampu melakukannya secara tenang, dingin dan tanpa ekspresi.

Maaf teman-teman, masih ingin menulis tapi rasa kantuk sudah mulai menyerang. Kamsia.

~ Derek Manangka, Wartawan Senior

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *