Nasional

Inilah Sisi Seramnya Hary Tanoe Yang Tidak Pernah Diungkap

Nusantarakini.com, Jakarta –

Dalam Catatan Tengah yang selalu terbit di facebook, Derek Manangka, jurnalis senior, mengungkapkan hal yang mengejutkan tentang hubungan Hary Tanoe dan kerajaan bisnisnya yang dulunya milik Bambang Trihatmodjo. Inilah catatannya.

“Coba kau lihat ini”, berkata  Jongkie Sugiarto sambil memperlihatkan sebuah ‘batu’ persegi berdiameter sekitar 15 cm. Yang diperlihatkannya sebuah batu prasasti yang menandai persemian gedung PT Bimantara Citra atau lasim dikenal Bimantara.

Bimantara sendiri merupakan perusahaan swasta yang didirikan oleh Bambang Trihatmodjo atau Bambang Tri. Bambang adalah salah seorang putera penguasa Orde Baru, Jenderal Besar Soeharto – Presiden ke-2 RI.

Sementara Jongkie, merupakan orang kepercayaan Bambang Tri.

Bambang antara lain dikenal sebagai pengusaha swasta yang berada dibalik berdirinya Rajawali Citra Televisi Indonesia  (RCTI), televisi swasta pertama Indonesia.

Bimantara berdiri tahun 1982, sedangkan RCTI tahun 1989.  Bimantara pernah masuk di pasar modal sebagai perusahan publik.

Bimantara dan RCTI lahir berkibar di era masa jayanya pemerintahan Orde Baru. Kedua perusahaan dianggap sebagai unit usaha yang patut ditiru kinerjanya.

Itu sebabnya kehadiran Bambang Tri sebagai  pendiri Bimantara dan RCTI, seakan menjadi salah satu simbol keberhasilan pengusaha swasta.

Sekalipun tidak dinyatakan secara eksplisit, tetapi pada tatanan tertentu Bambang Tri dianggap mewakili kalangan pengusaha pribumi. Yah, tidak pernah dinyatakan demikian, karena pada era itu penyebutan pribumi dan non-pribumi, secara resmi dilarang. Tujuannya untuk mencegah terjadinya polarisasi di masyarakat berdasarkan pembatas SARA.

Keterwakilan Bambang Tri dirasakan sebagai sebuah pergeseran dalam dunia bisnis swasta, sebab pada saat itu dominasi kalangan pengusaha non-pri dinilai relatif sudah demikian kuat.

Oleh sebab itu sekalipun ada semacam ketidak sukaan atau kecemburuan atas suksesnya seorang anak Presiden  di dunia bisnis, tetapi diam-diam keberhasilan Bambang Tri disambut baik.  Seakan ada yang  ikut mengibarkan bendera Bimantara dan RCTI setinggi mungkin,  walaupun yang mengibarkan bendera, bukanlah pemilik.

Jadi Bimantara dan RCTI menjadi semacam simbol kebangkitan konglomerat pribumi.

Simbol kebangkitan ini secara diam-diam memang tetap  mendapat kritikan. Terutama dari sejumlah kalangan yang hanya melihat Presiden Soeharto dan keluarganya secara hitam atau putih.

Presiden Soeharto  yang berkuasa 1966 – 1998, dianggap memberikan konsesi yang begitu banyak kepada kroni-kroninya yang kebanyakan non-pri.

Belum berhenti anggapan itu,  perlakuan istimewa Soeharto sudah beralih kepada anggota keluarganya, Bambang Tri.

Akhirnya  di kalangan masyarakat berkembang semacam persepsi yang sifatnya ambigiu.

Senang melihat Bambang Tri berhasil, tapi tidak suka dengan ayahnya sebagai Presiden yang memiliki kewenangan untuk berpihak.

Jongkie memperlihatkan prasasti Bimantara Citra, dalam rangka mengekspresikan kekecewaannya terhadap sikap Hary Tanoe.

Jongkie dan Hary Tanoe, sama-sama non-pri. Keduanya juga pemeluk agama Nasrani dan rajin ke gereja. Tapi banyak hal yang membedakan keduanya. Karakter mereka kontradiktif.

Jongkie seorang terbuka dan blak-blakan, Hary Tanoe tidak demikian.

Jongkie merupakan seorang pengabdi tulen kepada Bambang Tri, berdasarkan latar belakang profesional.

Di perusahaan milik Bambang Tri yang dijalankan Jongkie, rekrutmen karyawan yang dilakukannya secara multi ras, multi etnis dan multi keyakinan.

Sarjana teknik lulusan Jerman (sebelum Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu) itu merupakan seorang ahli mesin mobil. Khususnya mobil Mercedes.

Keahlian dalam bidang otomotif bercampur dengan kemitmen, loyalitas dan kejujurannya, membawa Jongkie dipercaya oleh keluarga Presiden Soeharto.

Kepercayaan ini meluas, menjadi kepercayaan negara, khususnya Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) dan Sekretariat Negara.

Sebab pada akhirnya Jongkie dipercaya negara untuk merawat semua kendaraan Mercedes yang digunakan Presiden Soeharto, termasuk pengganti Soeharto : Habibie, Gus Dur dan Megawati.

Penilaian baik tidaknya kondisi kendaraan yang digunakan Presiden, bukan ditentukan oleh Paspampres, tetapi oleh Jongkie.

Jeep Komando yang biasa digunakan untuk melakukan pemeriksaan defile,  boleh tidaknya dikendarai oleh Presiden dan Panglima ABRI atau TNI, ditentukan Jongkie Sugiarto.

Merawat kendaraan RI-1, sama artinya dengan menjaga keselamatan orang tua dan eyang dari semua anggota keluarga Cendana.

Dengan posisi tersebut, Jongkie tak ubahnya dengan seorang pengawal pribadi Pak Harto.

Dari sana kepercayaan dan empati seorang  Pak Harto sebagai Presiden, turun ke Jongkie. Hal mana kemudian ‘ditangkap’ oleh Bambang Tri sebagai anak Pak Harto.

Hanya saja Jongkie termasuk orang yang lebih suka berada di belakang layar. Tidak mau menonjol apalagi menjadi publik figur.

Hary Tanoe, sebaliknya seorang pengusaha baru yang tiba-tiba melejit ketenarannya, gara-gara mengakusisi Bimantara dan RCTI – paling sering gambarnya muncul di media sendiri.

Peran Jongkie lainnya – sebagai orang kepercayaan Bambang Tri, dialah yang menjadi mediator atas penjualan RCTI dan Bimantara.

Ibarat ‘mat comblang’ dalam perjodohan.  Jongkie-lah yang mempertemukan investor yang membeli Bimantara dan RCTI.  Setelah terjadi kesepakatan  antara investor dan Bambang Tri, dari sana baru investor tersebut menunjuk Hary Tanoe sebagai tenaga pelaksana di lapangan.

Bahwasanya ada investor yang menggelontorkan dana dan Hary Tanoe hanya sebagai pelaksana, sejauh ini ditutupi oleh Jongkie termasuk Bambang Tri.

Tidak diungkapnya oleh Jongkie,  siapa investor sesungguhnya,  semata-mata untuk sebuah “gesture” dalam bisnis yang berdasarkan kepercayaan total.

Sekaligus untuk memberi pembobotan kredibilitas dan akuntabilitas kepada Hary Tanoe.

Yang pasti menurut Jongkie antara investor dan Hary Tanoe serta investor sahabatnya, terdapat kesepakatan. Pada satu saat yang tidak begitu lama, ada saat, dimana Hary Tanoe wajib ‘mengembalikan’ RCTI kepada Bambang Tri.

Jadi secara implisit Jongkie Sugiarto paham apa yang “the dont” dan mana yang boleh dilakukan Hary Tanoe dalam mengelola RCTI dan Bimantara.

Namun inilah yang tidak terjadi.

Sepanjang yang dipahami Jongkie misalnya, tak ada niat sama sekali dari si investor yang membantu Hary Tanoe untuk menghapus jejak Bambang Tri sebagai pendiri Bimantara dan pelopor berdirinya RCTI.

Oleh karena itu ketika prasasti Bimantara dihancurkan  di era Hary Tanoe, Jongkie bereaksi.

Tindakan itu dianggapnya sebagai sebuah usaha menghilangkan jejak dan fakta sejarah.

Jongkie kuatir, imbas dari tindakan mengghancurkan prasasti tersebut, bisa lebih luas dan melebar. Bisa menyentuh hal-hal sensitif yang sejauh ini coba dirawat dan dijaganya.

Rasa kecewa dan marah Jongkie terhadap Hary Tanoe masih ditambah oleh tindakan-tindakan lainnya dari pengusaha asal Surabaya ini.

Di mata Jongkie, Hary Tanoe secara etika atau “gentleman”, pria sejati,  telah mengabaikan komitmen.

Bahwasanya secara legal tindakan Hary Tanoe mengabaikan komitmen itu, sah-sah saja. Tapi secara moral dan etis, itulah yang jadi persoalan.

Bagi Jongkie, moral dan etis, maknanya dalam kehidupan melebihi segala-galanya.

Yang pasti bagi Jongkie, tindakan bos baru Bimantara dan RCTI tersebut, semakin mempertegas bahwa Hary Tanoe bukanlah seorang “a friend in need and a friend indeed”.

Dalam kasus ini Jongkie akhirnya melihat  Hary Tanoe sebagai sosok yang tidak bisa dipegang komitmennya.

Setelah itu Jongkie melakukan “flashback”.

Pada tahun 2005, Jongkie dan saya diduetkan oleh Hary Tanoe sebagai direksi untuk mempersiapkan penerbitan harian “Seputar Indonesia” atau ‘SINDO’. Suratkabar ini diharapkan akan menjadi perluasan bisnis RCTI.

Jongkie sebagai Presiden Direktur sementara saya sebagai salah seorang Direktur.

Jongkie dipilih sebagai orang nomor satu di perusahaan media itu, antara lain karena dia orang kepercayaan Bambang Tri,  pendiri RCTI.

Saya dimasukkan sebagai  salah seorang Direktur antara lain karena saat itu saya menduduki posisi Pemimpin Redaksi RCTI .

Sebelum itu, di akhir 2004, ketika Hary Tanoe memutuskan untuk menerbitkam “Seputar Indonesia”, Presdir RCTI itu meminta masukan dari saya tentang untung ruginya RCTI memiliki suratkabar harian.  Saya beri kajian singkat dan dia paham.

Tapi proyek itu, di tengah jalan dibatalkan secara mendadak.  Sementara peran Jongkie dan saya, secara sepihak dihilangkan begitu saja.

Secara profesional ataupun kemanusiaan, Hary Tanoe  mempermalukan kami berdua. Caranya dengan melempar aib bahkan kotoran ke baju bersih kami.

Kami diam dan Hary Tanoe pura-pura tidak melakukan sesuatu yang tidak santun terhadap kami.

“Seputar Indonesia” akhirnya diam-diam diterbitkannya tanpa pemberitahuan kepada kami.

Termasuk calon karyawan yang sudah sempat kami test, ditelantarkan.

Sementara tim yang mengelola “Seputar Indonesia”, semuanya serba baru.

Peluncuran “Seputar Indonesia” dilakukan secara besar-besaran di Gedung Legiun Veteran, Plasa Semanggi. Antara lain ditandai dengan siaran langsung oleh RCTI.

Kami sebagai “pelopor” tidak diberi tahu apalagi diundang. Kami tidak kuat menonton acara peluncuran “Seputar Indonesia” itu. Sebab di sana ada semacam panggung sandiwara.

Kami tersinggung, tapi malu mengaku.  Ketersinggungan kami makin tak ada artinya, karena Hary Tanoe sudah berubah menjadi seorang figur terkemuka di dunia industri media. Hary Tanoe tak ubahnya dengan Ted Turner, pendiri CNN atau Ruppert Murdoch konglomerat media : cetak dan broadcasting yang menjadi “selebriti”.

Kami makin tersisih sedangkan Hary  Tanoe makin berkibar. Kekuasaan, khususnya di pemerintahan SBY, makin menempatkan Hary Tanoe sebagai pemilik media melebihi Jakob Oetama (Kompas Grup), Dahlan Iskan (Jawa Pos Grup) apalagi cuma Surya Paloh.

Pada satu periode, Hary Tanoe memperlihatkan kebolehannya melobi Istana.  Kemanapun Presiden SBY terbang, Hary Tanoe hampir selalu bersama Orang Nomor Satu di Indonesia itu.

Inilah yang kemudian menjadi semacam obat penawar rasa malu dan disisihkan oleh Hary Tanoe.

Karena  Jongkie dan saya tiba-tiba tersadar, berada di sekitar Istana, terlihat dekat dengan Presiden atau kekuasaan, ternyata merupakan tujuan dari segala agenda Hary Tanoe.

Sementara bagi kami, hal itu seperti ungkapan orang Prancis : “De Ja Vu” . Kami sudah lihat.

Atau kata orang Yunani – “Gegrapha”, kami sudah menulis !

Hanya memang, untuk sementara waktu kami seperti merasakan sebagai ‘Orang Soeharto’ yang sedang dibelakangi dengan bokong. Sebab yang berkuasa di Indonesia adalah orang-orang reformis.

Kenangan disingkirkan dari peran awal di “Seputar Indonesia” itu mengingatkan Jongkie atas apa yang dialami oleh Bambang Tri dalam kepemilikan Bimantara dan RCTI.

Bambang Tri juga disingkirkan dan jejak kakinya dihapus oleh Hary Tanoe.

Selama sekian tahun berteman, bekerja sama, baik langsung atau tidak, kami tidak terbiasa dengan budaya singkir menyingkir seperti itu.

~ By Derek Manangka

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top