Nasional

Isu komunisme Merebak, Kenapa Luhut Yang Harus Tanggung Jawab?

Nusantarakini.com.- Isu komunis yang bangkit kembali, sudah berulangkali mencuat. Pada tahun 2000, isu yang sangat peka ini sempat menjadi polemik hangat. Pasalnya Presiden Gus Dur mewacanakan akan mencabut Tap MPR yang berisi pelarangan atas ajaran komunisme dan leninisme. Setelah itu kembali redup.

Pada tahun 2004 di masa penghujung jabatan Presiden Megawati, kembali isu komunisme membetot perhatian publik. Sebabnya, Pemerintahan Megawati mengeluarkan kebijakan menjamin hak bagi setiap warga untuk dicalonkan sebagai legislatif, termasuk keturunan dan eks PKI.

Dalam beberapa tahun kemudian, isu komunis kembali tenggelam dengan naiknya Jenderal SBY ke tampuk kekuasaan. Namun pada tahun 2010 isu ini kembali lagi menghangat isu. Saat itu, Kasad Jenderal Agustadi Sasongko mengingatkan untuk senantiasa waspada terhadap bangkitnya PKI. Tanda-tandanya menurut dia terasa sistematis. Hal itu dia sampaikan saat menggelar tahlilan bersama masyarakat di monumen Pancasila sakti.

Setelah beberapa waktu isu komunisme tenggelam lagi. Pada 2014 di saat Pilpres, isu komunisme bangkit kembali. Ditengarai oleh salah satu pihak peserta Pilpres bahwa kekuatan eks PKI mendompleng pada pihak lawan yang bersangkutan.

Akan terapi, baru di tahun 2016 inilah isu komunisme mencuat demikian panasnya. Isu ini dimulai oleh inisiatif pemerintah yang bermaksud menyelesaikan persoalan HAM atas para korban tragedi tahun 1965. Kegiatan penyelesaian tersebut dimulai dengan menggelar Simposium Tragedi 65 yang berlangsung selama dua hari, 18-19 April 2016 di Hotel Aryaduta Jakarta.

Ternyata Simposium yang difasilitasi oleh Kemenkopolhukam pimpinan Luhut Binsar Panjaitan tersebut bukannya memuluskan penyelesaian, malahan mengundang masalah baru. Reaksi-reaksi penolakan dari berbagai unsur masyarakat bermunculan.

Saat Simposium tersebut dilangsungkan, sekelompok demonstran mengatasnamakan Front Pancasila melancarkan protes di depan hotel Aryaduta. Beberapa orang demonstran ditahan oleh polisi. Para demonstran tidak puas dengan acara tersebut yang mereka anggap sebagai bentuk tindakan fasilitasi berkembangnya komunisme di Indonesia.

Rupanya tidak cukup dengan reaksi tersebut, beberapa purnawirawan TNI mencoba mengagendakan Simposium melawan simposium yang difasilitasi oleh Luhut Panjaitan tersebut.

Efek reaksi lanjutan yang lebih dalam dari simposium tersebut ialah timbulnya sikap pro kontra dari internal pemerintah sendiri. Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu menunjukkan sikap ketidaksetujuannya atas terjadinya Simposium Tragedi 65 tersebut. Dia tidak setuju jika pemerintah harus minta maaf kepada PKI dan menggali kuburan para korban dari pihak PKI. Menurutnya hal itu akan memancing konfrontasi horizontal di dalam masyarakat. Akhirnya muncul penilaian bahwa tengah terjadi ketidakkompakan di tubuh pemerintahan Jokowi.

Pada saat bersamaan, penyitaan atribut-atribut yang disangkakan sebagai atribut komunisme disita oleh aparat keamanan, termasuk buku-buku. Walhasil isu komunisme semakin meresahkan masyarakat.

Melihat efek domino yang makin tidak terkendali dari simposium yang difasilitasi oleh Menkopolhukam Luhut Panjaitan tersebut, tepat waktunya bagi dia untuk mengambil tanggung jawab. Sebab orang cuma tahu, Luhut yang memulai, maka dia pula yang harus menyudahi keresahan isu PKI. Atau dia mencoba mengeksploitasi keresahan akan isu yang peka ini? Siapa yang tahu. (sed)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top