Menggali Hikmah dari Islamophobia

Nusantarakini.com, Jamaica City –Beberapa waktu terakhir ini, baik dalam tulisan maupun ceramah, saya sampaikan beberapa peristiwa mutakhir di dunia Barat, termasuk di kota New York. Ketiganya mendapat perhatian besar dunia, termasuk tentunya perhatian Umat Islam.

Pertama, hasil suvey the Brookings Institute tgl 29 Desember 2022 yang menemukan bahwa terjadi kenaikan signifikan pandangan positif masyarakat Amerika kepada Islam. Dari hanya sekitar 57% di tahun 2016 lalu menjadi 78% di tahun 2022 lalu.

Kedua, pembacokan dua anggota NYPD (Polisi NY) oleh seorang Anak muda berumur 19 tahun, berkulit putih, dan mengaku Muallaf atau masuk Islam sekitar bulan Agustus tahun yang sama (2022). Tiba-tiba menjadi radikal dan seolah mewakili Islam dalam penyerangan kepada polisi New York itu.

Ketiga, pembakaran Al-Quran oleh seorang warga Swedia bernama Rasmus Paludan dan penyobekan serta menginjak-injak Al-Quran oleh seorang warga Belanda hampir pada waktu yang sama.

Dalam pembahasan saya sampaikan bahwa hasil survey “the Brookings Insitute” itu pasti menjadikan ada pihak-pihak yang semakin khawatir. Karena Islam ini diburuk-burukkan saja terus berkembang. Apalagi kalau memang masyarakat sudah melihatnya dengan pandangan positif. Tentu akan semakin bergeliat bangkit tak tertahankan.

Dan karenanya di malam tahun baru itu, di saat hampir semua mata dunia menuju ke Time Square NY, tempat di mana puluhan ribu manusia sedang berkumpul, terjadi kejahatan (evil) yang langsung dikaitkan dengan Islam yang namanya mulai membaik di mata masyarakat Amerika.

Pembakaran dan penyobekan Al-Quran di Eropa itu sesungguhnya mengkonfirmasi ketidak senangan dan kemarahan itu. Sehingga seorang imigran Denmark yang beralih warga negara Swedia diberikan kebebasan oleh pemerintah Swedia membakar Kitab Suci (Al-Quran).

Belajar dari Islamophobia

Islamophobia seperti yang sering disampaikan bukan barang baru. Bahkan sejalan dengan sejarah penciptaan manusia itu sendiri. Dari Adam vs Iblis, Nuh vs pembesar kaumnya, Ibrahim vs Namrud, Musa vs Fir’aun, Isa vs pembesar Yahudi, hingga ke Muhammad (SAW) vs Abu Jahal/Lahab.

Dan karenanya yang perlu kita lihat secara dekat adalah kenapa Allah membiarkan phobia itu bertahan? Tidakkah dengan mudah Allah yang membolak balik hati manusia untuk jatuh hati dengan Islam sehingga tidak lagi terjadi phobia itu?

Jawabannya adalah karena pasti ada hikmah dan pelajaran (‘ibrah) yang Allah siapkan untuk Umat ini ambil sebagai bekal dalam perjalanan hidupnya. Lebih spesifik lagi tentunya sebagai bekal dalam melanjutkan langkah-langkah dalam mengemban amanah dakwah, melanjutkan tugas kerisalahan para nabi dan rasul.

Di antara ‘ibar (pelajaran) itu adalah:

Satu, agar Umat ini membangun kesadaran penuh bahwa Islamophobia itu nyata. Bahkan menjadi sunnatullah dalam perjalanan Dakwah itu sendiri. Sekaligus menyadari bahwa Islamophobia itu bersifat terus menerus (continues) hingga akhir zaman. Realita ini digambarkan oleh Al-Quran di Surah As-shof ayat 8: “mereka berkeinginan memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka”. Di ayat ini Allah memakai kata “yuriiduun” (continues tense) menunjukkan bahwa hal itu akan terus berlanjut.

Dua, dengan peristiwa-peristiwa yang saya sebutkan tadi, dan banyak lagi peristiwa sebelumnya, kita disadarkan bahwa dunia memang tidak fair (unfair) dalam memperlakukan agama ini. Contoh terdekat adalah ketika terjadi pembacokan polisi di Time Square di malam tahun baru itu. Pada saat yang sama terjadi penembakan massal di negara bagian (State) Florida dan Georgia yang menyebabkan tiga orang meninggal dunia. Tapi hanya pelaku Time Square yang dikaitkan dengan agama yang diakuinya (Islam). Pelaku lainnya dianggap sekedar melakukan kejahatan biasa. Bahkan dianggap mengalami gangguan jiwa.

Tiga, melalui Islamophobia Umat ini diingatkan oleh Allah tentang tanggung jawabnya. Apakah Umat ini telah melakukan tanggung jawabnya sebagai penerus tanggung jawab risalah atau Dakwah? Terlebih lagi mereka yang memang ditakdirkan hidup di tengah-tengah non Muslim, termasuk di Amerika dan Eropa. Dengan realita Islamophobia ini Allah seolah mengatakan: “tanggung jawab kalian besar dan jauh ke depan”.

Empat, dengan Islamophobia khususnya dengan pembakaran atau pelecehan Al-Quran ini mengajarkan bahwa kita berada dalam situasi peperangan (state of war). Bukan peperangan fisik. Justeru peperangan yang lebih berbahaya. Yaitu peperangan idea. Idea itulah yang membentuk persepsi. Dan persepsi dengan dukungan semua perangkat modern (Al-Quran memakai kata: afwaah atau mulut-mulut) itulah yang menjadi kebenaran bagi manusia yang tidak memiliki prinsip kebenaran (agama) dalam hidupnya.

Lima, dengan peristiwa pembakaran atau penyobekan Al-Quran ini, kembali menguatkan keimanan Umat melalui realita di hadapan mata bahwa Al-Quran itu adalah mukjizat. Salah satu kemukjizatan Al-Quran adalah penjagaan Suci (Divine Protection) atau Al-hifzu al-Ilahi seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran itu sendiri (lihat Al-Hijr ayat 9).

Tentu banyak lagi hikmah atau pelajaran (‘ibrah) yang dapat kita petik dari berbagai tendensi phobia atau ketakutan yang tak berdasar kepada agama ini. Kalaulah sekiranya ragam peristiwa itu tak punya tujuan (purposeless) tentu Allah tidak akan membiarkannya.

Karenanya Umat Islam dalam menghadapi Islamophobia justeru semakin tersadarkan. Sadar akan Qudrah atau kemaha kuasaan Allah. Sekaligus sadar akan tanggung jawab keislaman untuk menghadapinya dengan sikap yang bijak dan berkarakter. InsyaAllah! [mc]

Jamaica City, 9 Pebruari 2023.

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.