Guncangan Ganda Pandemi

Nusantarakini.com, Jakarta –Ketika pandemi “Flu Spanyol” melanda dunia seabad yang lalu, tak banyak orang tahu bagaimana wabah itu bekerja dan seberapa bahaya dia bagi umat manusia. Pada 1918, dunia lebih sibuk menghadapi dampak Perang Dunia Pertama. Propaganda perang rupanya jauh lebih gencar ketimbang kampanye kesehatan.

Demikianlah dunia pada 1918-1919 mencatat wabah influenza itu telah merenggut sekitar 50-100 juta jiwa. Angka itu adalah perkiraan kasar mengingat belum semua negara menyelenggarakan sensus penduduk. Jumlah warga bumi pada masa itu ditaksir sekitar 1,7 milyar jiwa. Wabah itu kelak menjadi “pandemi yang terlupakan”.

Di Hindia Belanda misalnya, menurut sejarawan Ravando Lie, penyakit flu itu mendapat nama beragam. Mengutip Harian Sin Po dan Pewarta Soerabaia, pandemi disebut sebagai “Penjakit Aneh”, “Penjakit Rahasia”, dan “Pilek Spanje”. Salah kaprah juga pernah terjadi, dengan menyebut flu sebagai Flu Rusia, sebuah wabah yang di negeri beruang kutub sebetulnya telah berakhir pada 1890. Baik Sin Po maupun Pewarta Soerabaia nantinya kembali menggunakan nama Flu Spanyol, sebuah istilah yang lazim digunakan di seluruh dunia masa itu.

Asal usul nama Flu Spanyol juga menarik dicermati dan menggambarkan betapa simpang siur informasi perihal wabah di zaman itu. Tak ada teori dan bukti ilmiah yang menyebut virus berasal dari Spanyol. Lie menyebutkan, dengan mengutip Gina Kolata dalam “Flu: The Story of the Great Influenza Pandemic of 1918 and the Search for the Virus that Caused It”, nama Flu Spanyol diduga berawal karena gencarnya media Spanyol mewartakan wabah itu ke seluruh dunia. Warga Spanyol sendiri menyebut wabah itu sebagai “Flu Perancis”.

Ketidakjelasan membuat munculnya aneka asumsi yang keliru. Misalnya, Sinar Hindia, menyalahkan perang di Eropa sebagai sebab dari cuaca buruk dan musim kemarau panjang, dan karenanya wabah mudah menyebar di Hindia. Tapi pandangan itu dibantah oleh De Sumatra Post. Koran itu menyebutnya hanya sebagai “Penjakit Rakjat” dengan asal usul asli dari Hindia dan tidak menular. Tentu saja De Sumatra Post salah, dan terpaksa balik badan meminta seluruh koran lain di Hindia Belanda membuat rubrik singkat untuk mewartakan bahaya penyakit ini.

Kematian akibat wabah tampaknya menghantui Hindia Belanda, terutama Jawa. Pewarta Soerabaia menyebutkan hingga akhir 1918, data warga yang meninggal sekitar 1,5 juta jiwa dan mayoritas dari mereka adalah korban Flu Spanyol. Menurut statistik Koloniaal Verslag, flu tercatat sebagai penyebab kematian tertinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Besarnya jumlah korban, kata Pierre van der Eng, seorang peneliti dari Australian National University (2020), membuat publik marah, dan koran terbitan Batavia (Jakarta) Bataviaasch Nieuwsblad memuat artikel kritis pada Agustus 1919 dengan judul ‘Suara-suara dari Kubur’.

Dua Disruptor

Kita tahu wabah Covid-19 yang melanda dunia pada awal 2020 berada dalam skala dan masa yang berbeda dengan Flu Spanyol. Kemajuan teknologi informasi di Abad 21, menyajikan perubahan luar biasa kehidupan manusia secara global. Internet telah mengguyahkan tata arus informasi lama, dan kini semua orang menjadi konsumen sekaligus produsen informasi melalui media sosial.

Sebuah lembaga riset DataReportal, menyebutkan 4,57 miliar orang kini menggunakan internet, dan itu berarti lebih dari separuh penduduk planet Bumi. Dari jumlah itu, per April 2020, sekitar 3,8 miliar manusia setiap hari sibuk dengan akun media sosial mereka.

Inilah zaman di mana perusahaan teknologi digital merajai dan menentukan gerak informasi sekaligus ekonomi di dunia. Para titan teknologi seperti Facebook, Apple, Amazon, Netflix, dan Google (FAANG) kini menempati peringkat teratas di pasar bursa New York. Kedigdayaan media sosial itu ditopang oleh tiga infrastrukur penting, yaitu teknologi komunikasi (konektivitas), gudang data virtual (cloud), dan perangkat bergerak (mobile).

Nyaris seluruh kegiatan manusia kini tergantung pada teknologi itu. Mesin pencari Google misalnya, kini dipakai oleh lebih dari 90 persen pengguna internet. Jumlah akun pengikut Facebook saat ini bahkan melebihi penduduk China. Nilai kapitalisasi pasar dari lima besar raksasa digital itu melebihi ekonomi Perancis, yang bermakna penguasaan pasar para titan teknologi itu kini memang luar biasa.

Lansekap media tradisional terdesak oleh teknologi baru itu. Sejumlah media tradisional bahkan terpental, dan audiens mereka direbut oleh media sosial. Generasi baru lebih banyak menghabiskan waktu mereka di platform media sosial itu ketimbang membaca koran, menonton TV, atau mendengar radio.

Ketika pandemi Covid-19 menyebar, dunia pun terkejut, dan penyakit yang mengancam nyawa ini lalu membawa ketakutan luar biasa. Angka-angka kematian akibat virus korona naik tajam di setiap negara, dan bahkan melumpuhkan sistem kesehatan negara besar seperti Amerika, dan sejumlah negara di Eropa yang terkenal dengan standar kesehatan terbaik di atas bumi ini.

Dihantui oleh kepunahan massal, umat manusia melakukan sejumlah tindakan agar virus tak menyebar. Sementara menunggu perjuangan para ilmuwan menciptakan vaksin, protokol kesehatan diterapkan ketat di hampir semua negara di dunia. Virus korona menjungkirbalikkan semua tatanan sosial normal menjadi tidak normal. Pesawat berhenti terbang, sekolah, stadion, bioskop, mal dan hotel tutup, pengawasan perbatasan antar negara diperketat. Di seluruh dunia bergema anjuran “Stay Home, Stay Safe”.

Jika internet menjadi pengguncang bagi infrastruktur teknologi informasi lama, maka Covid-19 adalah agen disruptor bagi tatanan sosial yang selama ini acuh kepada isyarat alam. Dengan berdiam di rumah kini orang berpikir dan menemukan kembali apa yang hilang: waktu berkumpul dengan keluarga, kesempatan menikmati langit yang lebih bersih dari polusi, dan kembalinya kesadaran akan pentingnya kesehatan tubuh dibandingkan dengan apapun yang hendak dikejar di dunia ini. Pembatasan sosial telah membangkitkan nostalgia akan kehangatan komunitas, dan kerinduan kembali ke alam.

Infodemi

Perjumpaan dua “agen disruptor”: internet dan Covid-19, mendadak menjadi guncangan ganda yang memberikan dampak tak terbayangkan sebelumnya.

Pertama, tentu saja teknologi internet telah menyelamatkan manusia dari dampak buruk isolasi. Dengan media sosial, komunikasi masih terjaga meskipun virtual. Itu sebabnya penggunaan media sosial mendadak lebih tinggi dari masa sebelum pandemi. Data dari Digital 2020 Global Statshot menyebutkan Facebook adalah platform media sosial yang paling banyak dipakai per April 2020 lalu. Setelah itu diikuti oleh Youtube, WhatsApp, Facebook Messenger dan WeChat. Bahkan Twitter disebut mendapatkan lompatan besar pengguna selama kwartal pertama tahun ini.

Kedua, efek penggunaan teknologi dalam penyebaran informasi pandemi telah membawa problem baru. Adalah benar kita memerlukan informasi cepat dan terpercaya untuk menghadang penyebaran virus. Ada banyak jurnal kesehatan yang membuka akses mereka bagi publik untuk mendapat informasi penting seputar Covid-19.

Namun tak selalu kesadaran akan pentingnya informasi yang benar ini muncul. Publik tampaknya lebih miudah tersihir oleh informasi yang didapat melalui aplikasi media sosial di telepon seluler mereka.

Tantangan saat ini adalah mana informasi yang dapat dipercaya di tengah wabah? Sebelum pandemi menyebar, dunia telah merasakan sisi gelap media sosial yang digerakkan oleh para titan perusahaan teknologi itu. Disinformasi dan misinformasi menyebar dan menyesatkan serta meretakkan hubungan sosial dan politik di sejumlah negara.

Bahkan di saat pandemi, pertarungan informasi kerap terjadi dalam bingkai persaingan politik, dan sosial media adalah alat ampuh mereka untuk memengaruhi publik. Misalnya, satu kelompk menyerukan isolasi total, sementara lainnya menolak dengan alasan ekonomi. Isu lain misalnya apakah chloroquine cukup efektif bagi pasien Covid-19 ataukah obat lainnya. Ada ucapan sinting, misalnya, bahwa seandainya disinfektan bisa diinjeksi ke tubuh maka ia dapat mencegah infeksi virus. Entah bercanda atau tidak, ujaran Donald Trump di AS itu sempat membuat sejumlah pengikutnya patuh. Hasilnya, sebagian dari mereka terpaksa meninggalkan dunia fana ini.

Kita sekarang bukan hanya berhadapan dengan pandemi, tapi juga apa yang disebut WHO sebagai “infodemi”. Misinformasi dan disinformasi merajalela via media sosial. Banyak nasehat sesat soal bagaimana selamat dari ancaman virus, misalnya dengan menahan nafas sejenak, atau minum vitamin tertentu justru bisa mempercepat infeksi virus korona. Hoaks dan berita palsu menyebar karena sumber yang sah kurang memasok informasi, atau jawaban serba tak pasti atas wabah ini membangkitkan kepanikan dan kecemasan masif. Bahkan seruan dari pejabat tertinggi pun kadang dipandang remeh dan publik lebih terpengaruh oleh para “influencer” di media sosial.

Tentu saja tak seluruhnya media sosial bersalah atas situasi ini. Para perusahaan raksasa digital yang berdiam di Silicon Valley, AS, itu juga punya nilai moral yang menginginkan informasi mengalir lebih bebas, fair, dan demokratis. Moralitas itu telah membantu perlawanan sejumlah warga yang hidup di bawah rezim otoritarian di sejumlah negara, seperti pada momen gerakan Arab Spring dekade silam. Penggalangan solidaritas global atas tragedi dan bencana alam besar adalah contoh bagaimana media sosial masih sangat berguna bagi publik.

Secara praktis, pandemi menjadi momen bagus dalam membuat kerangka kerja bagi perusahaan teknologi media sosial agar memberi tempat lebih besar kepada sumber-sumber terpercaya. Informasi dari sumber meragukan tak boleh disebarkan sebelum dikaji dampaknya bagi publik. Hindari pesan bermuatan bias politik di seputar pandemi. Perlu kita ingat bahwa virus itu sendiri tak mengenal ras, agama, dan bahkan partai politik.

Pandemi “Flu Spanyol” pada 1918-1919 mengajarkan kita bahwa komunikasi yang buruk membuat korban wabah lebih banyak berjatuhan. Kini, kita punya teknologi ampuh dalam penyebaran informasi, sesuatu yang tak ada pada saat wabah flu mencengkeram dunia seabad lalu. Dalam menangani krisis kesehatan publik, saya kira, kebijakan komunikasi yang sehat harus menjadi bagian dari sebuah intervensi medis melawan pandemi.

(Sumber: Facebook Nezar Patria)