Nasional

Salah Faham terhadap Islam. Simak Ulasannya

Nusantarakini.com, Jakarta –Tak disangka-sangka rezim Joko Widodo-Ma’ruf Amin mengembangkan sikap permusuhan terhadap kelompok Islam tertentu. Ma’ruf menyebut peradaban Islam terbelakang karena konservatisme yang dipeluk sebagian kaum Muslim. Mereka disebut anti iptek. Jokowi sendiri, setelah membubarkan HTI dan tidak lagi memperpanjang izin eksistensi FPI, menunjuk tiga kementerian untuk secara khusus mematikan gerakan mereka yang dicap sebagai radikal, anti-Pancasila, dan pro-khilafah.

Ulama-ulama yang di mata rezim masuk ke dalam katagori itu — yang mengambil sikap oposisi terhadap rezim — dikriminalisasi, ditelantarkan di luar negeri, dan dibuang ke Nusakambangan. Lalu, ada yang mengusulkan agar mata pelajaran agama dihapus dari kurikulum pendidikan sekolah. Kekacauan keamanan dan politik di Timur Tengah — terutama setelah munculnya al-Qaeda, ISIS, dan perang saudara di beberapa negara Arab — dijadikan bukti Islam sebagai agama primitif, barbar, dan antikemajuan. Maka lahirlah Islam Nusantara untuk mendisasosiasi diri dengan Islam di Timur Tengah. Saat ini, muncul RUU Haluan Ideologi Pancasila, yang salah satu tujuan tersembunyinya adalah mengebiri dan meminggirkan peran agama, terutama agama Islam.

Memang pasca kejatuhan Soeharto di mana kebebasan dibuka seluas-luasnya sebagai konsekuensi penerapan demokrasi, gelombang konservatisme Islam yang dulu dibungkam Orde Baru bermunculan. Kendati jumlahnya kecil, mereka cukup vokal dan menguasai majelis-majelis taklim di perkotaan.

Tapi tak seperti apa yang dikatakan Ma’ruf Amin, mereka sangat terdidik dan pengguna teknologi paling aktif. Sebaliknya, Islam washatiyah atau moderat yang dipeluk kaum Nahdliyyin — yang dipandang Ma’ruf sebagai jaminan kemajuan Islam — justru, menurut Ketua PBNU Said Aqil Siradj, merupakan komunitas Islam paling miskin di negeri ini.

Upaya menghapus kurikulum agama di sekolah, menjadikan Islam Timur Tengah sebagai kambing hitam keterbelakangan Umat Islam, dan persekusi terhadap sekelompok Muslim, menunjukkan adanya salah faham terhadap Islam. Bahkan, ada yang secara gegabah menuduh Islam sebagai agama anti-kemajuan.

Tentu saja ini pandangan yang salah besar. Di AS umat Islam merupakan komunitas teladan. Baru-baru ini Anthony Kapel “van” Jones — seorang pengacara, komentator, dan penulis — mengatakan kepada CNN tentang peran positif Muslim di AS. “Jika ada keluarga Muslim pindah ke lingkungan tempat tinggalmu, kamu akan menjadi orang paling bahagia karena kemungkinan anakmu salah gaul jauh berkurang.” Lebih jauh ia mengatakan, keluarga Muslim adalah teladan bagi masyarakat di AS, tingkat kejahatan di kalangan mereka paling rendah, mereka adalah wiraswastawan yang sukses, dan perempuan-perempuan di kakangan mereka mencapai tingkat pendidikan tertinggi.

Apa yang dikatakan Van Jones itu sama persis dengan kenyataan sosial dan budaya kaum Muslim etnis Hui di Cina. Mereka ini adalah keturunan Arab yang dibawa dari Timur Tengah ketika tentara Mongol pimpinan Hulagu menghancurkan Baghdad pada 1253. Sejarah menyatakan jumlah orang-orang Arab terdidik ini yang dibawa ke Cina untuk menjadi administrator pada Dinasti Yuan sekitar 100 ribu orang. Karena kawin-mawin dengan penduduk lokal, orang-orang Hui saat ini tak dapat dibedakan dari paras orang Han yang merupakan etnis mayoritas di Cina. Yang membedakan mereka adalah budaya. Orang Hui — karena kerja keras, jujur, dan disiplin — menjadi teladan orang-orang Han. Hal yang tak jauh berbeda adalah realitas sosial dan budaya kaum Muslim di India dan Inggris.

Kalau kemudian muncul Islam ekstrem di Timur Tengah seperti al-Qaeda dan ISIS, menurut Prof Graham E. Fuller — penulis buku “Dunia Tanpa Islam” — itu lebih disebabkan faktor eksternal. Menurut pakar sejarah dunia asal Kanada itu, etnis apa pun yang menghuni Timur Tengah dan apa pun agama yang mereka peluk, akan menjadi teroris. Memang semua etnis dan agama di Timur Tengah saat ini adalah pelaku kekerasan: Yahudi, Islam sekuler, Islam ultrakonservatif, Syiah, Sunni, Kristen maronit. Negara-negara Barat harus bertanggung jawab atas kerusakan Islam di Timur Tengah. Mulai dari kejahatan kolonial Barat menghancurkan lembaga-lembaga Islam tradisionil sehingga kaum Muslim kehilangan kesempatan untuk berkembang secara alami hingga hegemoni Barat atas kawasan panas itu.

Demi menjaga pasokan minyak dari Timur Tengah ke dunia global, Barat pimpinan AS mendukung rezim-rezim yang dikendalikan para tiran sekalipun bertentangan dengan moral dan prinsip demokrasi yang secara hipokrit dikhotbahkan Barat di mana-mana. Bukan hanya itu, mereka juga memasang Israel di jantung Timur Tengah untuk menjaga kepentingan mereka di kawasan itu. Ini membuat energi bangsa-bangsa di Timur Tengah terkuras dalam berurusan dengan Israel. Lebih jauh, Barat menjalankan politik devide at impera atau politik pecah belah untuk menguasai negara-negara di kawasan itu.

Al-Qaeda muncul setelah AS bersama tentara multinasional mendatangkan ratusan ribu tentara ke Arab Saudi untuk mengusir tentara Irak dari Kuwait. ISIS muncul setelah AS bersama NATO menginvasi Irak untuk mendongkel kekuasaan Sunni pimpinan Presiden Saddam Husain untuk digantikan dengan penguasa Syiah. Memang tak dapat dimungkiri bahwa baik al-Qaeda maupun ISIS mengklaim perjuangan mereka didasarkan pada ajaran Islam. Namun, tidak ada satu pun institusi resmi di dunia Islam yang membenarkan pandangan mereka. Toh para teroris itu mencomot begitu saja ayat-ayat Al-Qur’an lepas dari konteks untuk melegitimasi perjuangan mereka yang sebenarnya bersifat lokal dan duniawi. Mereka adalah orang-orang yang merasa kalah bersaing dengan Barat. Jumlah mereka di seluruh dunia hanya sekitar satu persen.

Maka terhambatnya perkembangan peradaban Islam tidak terkait dengan substansi ajaran Islam, tapi lebih pada faktor-faktor internal dan eksternal non-agama. Tuduhan Ma’ruf Amin bahwa kaum konservatif anti-iptek juga tidak benar. Buktinya, semua negara Arab di Teluk yang menganut konservatisme Islam merupakan negara paling maju di dunia Islam di bidang teknologi. Mungkin yang dimaksud Ma’ruf adalah ajaran Islam yang dianut Taliban di Afghanistan dan komponen minoritas Wahabi di Arab Saudi. Tapi mereka digolongkan ke dalam aliran ultrakonservatif yang jumlahnya sangat sedikit. Bahkan di Afghanistan sendiri, penganut ultrakonservatisme tidak signifikan.

Sekiranya substansi Islam adalah ajaran kekerasan dan primitif, tidak mungkin kaum Muslim bisa membangun peradaban yang demikian cemerlang selama beberapa abad. Tanpa kontribusi iptek dari pemikir Islam, tidak mungkin Eropa mengalami renaisans. Dalam Islam, orang disuruh menggunakan akal untuk memahami fenomena alam dan Tuhan. Bahkan, sebuah hadis terkenal menyatakan, tidak beragama orang yang tidak berakal. Kaum Muslim disuruh menuntut ilmu sejak dalam ayunan hingga ajal menjemput.

Kalau belakangan Islam kehilangan pamornya itu disebabkan kaum Muslim meninggalkan substansi Islam dan lebih terpaku pada simbol-simbol Islam. Dakwah Islam yang gencar dilakukan juga tidak menyentuh esensi api Islam. Karena pertimbangan komersial, media elektronik lebih banyak menampilkan mubaligh-mubaligh yang hanya jago beretorika tanpa pengetahuan agama yang cukup. Inilah yang menyebabkan tampilan simbol-simbol Islam marak tanpa diikuti implementasi ajaran Islam yang substantif.

Dus, untuk memajukan peradaban Islam, yang harus ditingkatkan selain materi, metode, dan proses pendidikan dakwah, juga memperluas pengajaran sejarah keberadaan dan kemajuan Islam. Di Turki, setelah diberlakukan sekularisme ekstrem ala Mustafa Kemal Attaturk selama 70 tahun, kini diajarkan kembali Islam. Simbol-simbol Islam pun diizinkan hadir di ruang publik. Sejarah Usmani, yang luas wilayah kekuasaannya tidak ada preseden sepanjang sejarahn, diajarkan kembali. Memang ketika Islam direduksi hanya sebagai pedoman moral dan sejarah kebesaran Khilafah Usmani ditiadakan, masyarakat Turki kehilangan identitas, mengalami dislokasi dan disorientasi, dan tidak membawa Turki ke mana-mana. Baru setelah pemerintah dikuasai partai Islam di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan sejak 2001, Turki mengalami kemajuan pesat.

Rezim Jokowi harus berpikir ulang dalam upaya menggusur pengaruh Islam di negeri ini. Negara-negara Islam di Asia Tengah bisa menjadi contoh lain tentang bagaimana jiwa sebuah bangsa hilang setelah agama dicabut dari masyarakat. Kalau Islam adalah penghalang kemajuan sebuah bangsa, mestinya negara-negara di Asia Tengah dan Albania di Eropa merupakan negara-negara paling maju di dunia Islam. Toh, agama telah dikikis habis dari peran sosial dan budaya masyarakatnya ketika mereka diperintah rezim komunis selama tujuh puluh lima tahun. Faktanya, mereka masih merupakan negara terbelakang di dunia Islam meskipun memiliki SDA yang melimpah. Di Thailand sendiri, rajanya membuka dialog dengan komunitas Muslim Pathani di Thailand Selatan untuk mencari penyelesaian terhadap ketidakadilan yang dirasakan kaum Muslim di sana. Padahal, mereka mengangkat senjata melawan pempus.

Di Indonesia, Islam juga menjadi perekat bangsa dan merupakan unsur substantif dalam menjaga NKRI. Bila Islam dicabut peran sosial, budaya, dan politiknya di masyarakat, maka bangsa ini akan bubar. Adalah tindakan tidak bertanggung jawab terhadap bangsa apabila Islam dicabut dari jiwa bangsa dan kaum Muslim dipersekusi. Kelompok -kelompok Islam seperti FPI adalah anak kandung pergolakan Islam di Indonesia sejak permulaan abad ke-20. Mereka akan hilang dengan sendirinya bila keadilan sosial telah dihadirkan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Upaya rezim untuk mempersekusi mereka bukan saja memperlihatkan ketidakfahaman rezim tentang Islam di negeri ini, tapi juga akan menciptakan perlawanan Islam yang semakin keras. Tidak masuk akal menuduh mereka anti-Pancasila. Mereka hanya beda tafsir tentang Pancasila dengan rezim. Dan itu sah saja mengingat Pancasila adalah ideologi terbuka. Membuka dialog dengan mereka seperti dilakukan raja Thailand akan merupakan tindakan yang bijaksana. [nik]

*Smith Alhadar, Institute for Democracy Education (Editor: Abdurrahman Syebubakar).

Terpopuler

To Top