Oligarki Bekerja Memproduksi Perintah, Orang Awam Bekerja untuk Duit dari Oligarki

Nusantarakini.com, Jakarta –

Kaum oligarki sebenarnya tidak bekerja. Hanya mengeluarkan perintah demi perintah saja. Tapi orang ramai bekerja menaati perintah mereka demi uang. Yaahhh… begitulah.

Orang ramai di “kasta” awam, biasanya menilai seseorang dari status pekerjaan seseorang itu. Tapi elit Oligarki menilai dari seberapa banyak kekuatan dan kekuasaan seseorang untuk menciptakan sumber daya ekonomi politik yang tak ada habisnya. Misalnya, berapa hak kekayaan intelektual seseorang, berapa konsesi tanah seseorang, dan berapa ribu hingga juta orang berada dalam arahan dan diktenya sehingga wujud sebagai pasar potensial.

Umat Islam menyia-nyiakan wujud pasar potensial pada tubuhnya, sehingga dapat leluasa dinikmati oleh para oligarki dengan cara terus menerus mengkampanyekan pentingnya individualisme dan liberalisme sebagai syarat masyarakat dalam kangkangan oligarki.

Kerja sebenarnya hanyalah salah satu dari sekian sarana untuk peroleh duit. Kadang nggak kerja pun kita dapat duit dari sarana lain. Adapun duit adalah sarana untuk peroleh kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan hidup.

Dulu nggak ada alat tukar (duit), orang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dari lahan gratis hutan dari Allah yang berisi makanan baginya. Setelah ada kekuasaan atas masyarakat berupa negara, muncullah duit sebagai alat tukar untuk mengontrol ekonomi, transaksi dan memperoleh sumber penghasilan negara secara tak terbatas. Dengan adanya negara, hutan dan lahan jadi tidak gratis. Ujug-ujug ada pihak yang mengklaim bahwa itu hutan dan ladangnya. Begitu deh seterusnya.

Dengan timbulnya otot negara di hadapan manusia, definisi kerja pun jadi ganjil dan sepihak, sesuai rezim negara. Kerja yang tadinya berpengertian simpel, yaitu ngeluarin tenaga untuk dapat buah, sayur dan daging dst untuk hidup enak dan nyaman, jadi berubah: kerja adalah ngeluarin otak, tenaga, mental, emosi dan otot untuk ngedapatin duit yang sudah dicatu/dikuota oleh negara. Maka siapa yang kuat dan dekat dengan kekuasaan negara, maka otomatis musti kaya raya. Yah begitu deeh. Orang kuliah jauh-jauh dari pelosok, misinya untuk cari kerja. Cari kuota uang dari negara secara volatile.

Kebutuhan-kebutuhan adalah sarana untuk peroleh kebahagiaan. Kebahagiaan itu sarana untuk rasa dan sikap syukur. Sikap syukur itu sarana semangat untuk menolong orang yang lemah membutuhkan. Menolong orang itu sarana untuk mendapatkan pengakuan ridla dan senang dari Allah. Ridha Allah itu sarana untuk mendapatkan surga kelak setelah koit. Surga itu sarana untuk menikmati kebahagiaan abadi.

Lha itu orang-orangan maqamnya rendah sekali. Hanya mengartikan kerja sekedar dapat duit. Tapi mereka tak tahu hal itu, karena dia sekedar ikut-ikutan dengan kehidupan orang yang ramai.

Menginsyafkan orang semacam itu, tidak susah. Cukup dengan menunjukkan kekayaan material, tapi kita sendiri tidak terlalu suka dengan kekayaan itu. Asalkan anda sendiri memiliki kekayaan material secukupnya untuk membungkamnya. Setidaknya di hadapan orang-orangan semacam itu.

Ini merupakan output dari budaya sekolah dan pendidikan nasional yang tidak pernah terkoreksi, melihat pekerjaan hanya sarana satu-satunya untuk memperoleh kemakmuran. Padahal banyak cara untuk memperoleh syarat hidup yang layak, manakala seseorang bekerja metodik, intens dan penuh improvement untuk mendapatkan kekayaan.

 

 

~ Syahrul E Dasopang, Pembenci Oligarki